Kontroversi Penanganan Perkara
Praktik penegakan hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan negatif publik, dengan dibacakannya surat tuntutan pidana (requisitoir) Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang perkara penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, Jaksa Penuntut Umum menuntut kedua terdakwa 1 (satu) tahun pidana penjara, dengan alasan bahwa terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke wajah korban serta alasan-alasan yang meringankan lainnya yaitu terdakwa koperatif selama sidang dan mengakui perbuatannya.Â
Sikap JPU tersebut memicu akal sehat dan logika hukum masyarakat, karena tidak mencerminkan keadilan substantif bagi korban tindak pidana dan tidak mewujudkan filosofi dari hukum dan Negara hukum itu sendiri.
Penanganan perkara sudah ini dimulai dari tahun 2017 sejak perkara tersebut terjadi pada 11 April 2017. Pada akhir tahun 2019 pelaku di tangkap di mana pelaku adalah seorang anggota Polri aktif, penangkapan pelaku menuai kontroversi karena Tim kuasa hukum Novel Baswedan beranggapan bahwa pelaku menyerahkan diri bukan ditangkap.
Proses kemudian bergulir di sidang pengadilan setelah berkas perkara dilimpahkan Jaksa Penuntut Umum. Terdakwa di dakwa dengan jenis dakwaan subsidaritas yakni primair Pasal 355 ayat 1 (ancaman pidana maksimal 12 Tahun penjara) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan dakwaan subsidair Pasal 353 ayat 2 Â (ancaman pidana maksimal 7 Tahun penjara) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP kedua dakwaan tersebut merupakan dakwaan atas tindak pidana penganiayaan dihubungkan dengan penyertaan (deelneming).
Namun seiring berjalannya proses pembuktian JPU tidak bisa membuktikan dakwaan primair sehinggga pada surat tuntutan JPU menggunakan ancaman pidana yang ada pada dakwaan subsidair Pasal 353 ayat 2 (ancaman pidana maksimal 7 Tahun penjara) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang kesimpulannya jaksa hanya menuntut 1 Tahun pidana penjara pada terdakwa, berbeda dengan perkara-perkara yang sama sebelumnya dituntut rata-rata diatas 10 Tahun penjara.
Kekeliruan hukum berikutnya yang ada dalam penanganan perkara tersebut adalah tim kuasa hukum terdakwa yang berasal dari institusi Polri, pemberian bantuan hukum tersebut menyimpang dengan Peraturan Pemerintah NO. 3 Tahun 2003 yang mengatur bahwa institusi Polri dapat memberikan bantuan hukum kepada anggota aktif Polri yang melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan kepentingan tugas, lain halnya dengan terdakwa dalam kasus ini yang melakukan tindak pidana dengan motif sakit hati terhadap korban sehingga jelas tindak pidana tersebut dilakukan bukan atas kepentingan tugas sehingga tidak layak mendapatkan bantuan hukum dari institusi Polri.
Penanganan perkara tersebut juga dinilai tidak mampu mengali kebenaran materiil yang adalah tujuan dari hukum acara pidana, tuntutan JPU tidak sesuai dengan teori petanggungjawaban pidana yaitu actus reus (kejahatan yang dilakukan) dan mens rea (sikap batin pelaku).Â
Di mana terdakwa melakukanya perbuatan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu (actus reus) sehingga seharusnya dakwaan primair pasal 353 ayat 2 dapat dikenakan dan dengan adanya pengakuan kesengajaan dari terdakwa (mens rea), oleh karena itu, sebenarnya layak dikenakan pidana maksimal pada dakwaan primair dan hal yang memberatkan dimana korban ada juga aparat penegak hukum yang memiliki prestasi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta korban yang mengalami cacat permanen. Â
Tetapi mens rea dalam kasus ini dialihkan dengan dalil ketidaksengajaan, padahal jika di tinjau dalam KUHP, jenis perkara pada pasal 353 tidak masuk dalam ruang culpa (tidak sengaja).
Penerapan Asas Ultra Petita