Aku adalah luka berjalan.
Penjual kesedihan, penawar kebahagiaan.
Bukan tanpa sebab aku menangis.
Kilauan mataku memudar.
semua tampak bersalah.
Aku adalah tangis yang menggema.
Perasaan mengalir deras, laksana terjun tak bertuan.
Menabuhkan genderang perang, menayub tarian purba.
Bersolek dengan hati, tampil dalam orkes tua.
Aku adalah ramai yang sunyi.
Noda terpampang buih lautan.
Bersemi sendiri, lalu mati dengan iri.
Jantung berdebar, tak jarang terasa dalam alunan mitos purba.
Ini aku, merana tiada berkesudahan.Â
Puing-puing sisa meraba harapan.
Namun tiada harapan kuhampiri.
Sepanjang jalan aku temukan sepi.
Malam ini, Aku menangis terang-terangan.
Bibirmu berbisik, Terasa lebih bebas.
Yogyakarta, 23 Mei 2024.Â
(Langit memudar, Rindu terbuat, Kami adalah sejarah yang berjalan).