Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Kresek Hanya Rp200, Saya Pilih Beli Saja!

26 Februari 2016   20:39 Diperbarui: 4 Maret 2016   18:37 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="plastik"][/caption]

Salam Kompasianer, Saya sudah registrasi di Kompas beberapa tahun lalu, tapi inilah tulisan pertama Saya, panggil saja PARTA, semoga berkenan. :)

Penantian lama Saya akan campur tangan pemerintah dalam mengendalikan plastik akhirnya datang juga. Saya bukanlah seorang aktivis yang mati-matian hendak menyelamatkan bumi dari plastik. Saya bukanlah seorang aktivis militan yang sampai turun ke jalan dobrak pagar tuntut pengendalian plastik ke pemerintah. Saya hanya seorang yang memiliki sedikit kepedulian saja atas keprihatinan Saya akan limbah plastik. Apa yang selama ini Saya lakukan tak seberapa manfaatnya untuk bumi ini.

Semasa Saya "ngekos" di Ibukota dulu, makan selalu beli ke Warteg, tukang pecel ayam, ketoprak, nasi goreng dan teman-temannya. Seringnya kubawa pulang makanan ke tempat kos sembari menonton televisi. Plastik-plastik itu Saya lipat kembali, karet-karet kukumpulkan, dan uang receh kembalian kumasukkan ke botol bekas minuman. Setelah terkumpul cukup banyak, kubawa plastik-plastik itu dan kuserahkan kembali kepada mereka pelayan makanan untuk para rantau. Mereka rupanya cukup senang dengan mengucapkan terima kasih kepadaku, meskipun sedikit ada tanda tanya di benak mereka jika Aku mau menukar kresek-kresek itu dengan makanan. Aku hanya tersenyum simpul saja, dan merekapun mengerti. Lama-kelamaan, mereka paham atas kebiasaanku.

Ketika Aku belanja ke minimarket dan barang belanjaanku tak terlalu banyak, plastik itu selalu kukembalikan kepada kasir, meskipun kadang mereka merespon : "Pakai saja mas, daripada susah". Aku terlihat orang yang aneh ketika itu.

Sampah limbah dapur juga selalu kupisahkan, kubuat dua tempat yang berbeda. Sampah organik Saya masukkan ke dalam ember dan kucampur dengan EM4 (mikro bakteri) dan jadilah kompos. Sedangkan sampah plastik berupa botol-botol bekas, kumasukkan jadi satu ke dalam karung dan kuserahkan kepada pemulung. Sementara kantong plastik yang tak terpakai kujadikan satu untuk diambil oleh tukang sampah.

Hanya itu saja yang kulakukan, Saya merasa melakukannya sendiri dan seperti tak ada pengaruhnya terhadap bumi ini. Tapi hingga kini hal tersebut masih tetap kulakukan.

Masyarakat Kita Manja

Tak usah dipungkiri, masyarakat kita memang sangat manja, terutama dalam pemakaian plastik. Cobalah sekali-kali jalan ke pasar tradisional. Zaman kecil Saya dulu, banyak ditemukan pembungkus berupa daun pisang atau jati, dan cobalah lihat sekarang. Pembungkus tempe dari plastik, nasi kuning dari plastik, rames dari kertas plastik, bubur tepung juga dibungkus plastik, semua serba plastik. Setiap membeli sesuatu ke toko, selalu diberi kantong plastik meskipun mereka melihat kita sedang membawa kantong plastik dan cukup longgar. Begitu isi plastik dikeluarkan, mereka buang plastik-plastik itu tak terlintas benak di mereka akan dampaknya. Itu yang terjadi di masyarakat bawah.

Bagaimana di kalangan menengah? Kita lihat contohnya saja waktu kita senam bersama, disediakan bubur. Apa bungkusnya? gelas plastik, dan setelahnya? dibuang begitu saja. Kadang Saya merasa sayang melihat gelas-gelas itu yang tampak masih layak dibuang begitu saja. Bukan maksud Saya untuk menggunakan gelas-gelas itu lagi karena konon hanya bisa dipakai sekali saja. Lalu yang Saya sayangkan di mana kepedulian kita akan sampah-sampah itu. Di benak Saya, sebenarnya masih ada langkah yang dapat ditempuh, contohnya ketika kita memesan bubur itu agar jangan menggunakan plastik, daun jika memungkinkan atau gelas milik kita sendiri. Tapi alasan "ah...repot" mengalahkan segalanya.

Sementara di kalangan atas, pabrik-pabrik berlomba-lomba membuat kemasan mini alias sachet, mulai dari sampo hingga saos. Mungkin mereka bertujuan merebut pasar dengan menyasar masyarakat dengan daya beli yang rendah. Produk-produk manufaktur sebagian besar dikemas menggunakan plastik dengan berbagai desainnya dan terkadang kita harus menebusnya lebih mahal karena plastik pembungkusnya.

Indonesia adalah negara sangat subur di jagad raya ini, batang saja bisa menjadi tanaman. Air sangat melimpah, tapi herannya banyak sekali produk minuman air putih mulai dari merek lokal hingga produk dari perusahaan multinasional. Produk-produk itu begitu laris, hingga perusahaan sekelas Unilever turut ambil bagian dalam bisnis air putih ini. Itulah bukti nyata jika masyarakat kita MANJA.

Peran Masyarakat

Tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja, masyarakat sebagai pemroduksi sekaligus pengguna merupakan kunci utama. Lagi-lagi membutuhkan sebuah "kesadaran" yang sangat diraih dalam hal apapun. Membentuk kesadaran tersebut sangat sulit dan membutuhkan proses yang panjang, untuk mempercepatnya masyarakat kita harus disetir dan "ditakut-takuti". Pemegang setir adalah pihak pabrikan dan pemerintah. Pihak manufaktur cobalah untuk membuat design kemasan yang bersahabat dengan lingkungan. Tidak usah membuat berbagai macam varian kemasan, cukup tiga jenis saja : kemasan botol, refill dan sachet masing-masing satu ukuran. Misalkan, para pengusaha bersepakat untuk membuat desain tutup dengan uliran drat yang sama. Saya contohkan saja jika hal itu benar-benar dilakukan. Kemasan bekas air mineral, shampo, sabun dll dapat kita manfaatkan contohnya untuk penyemprot pakaian dan lain-lain. Perusahaan besar tidak perlu membuat botol dengan penyemprotnya, cukup menjual penyemprotnya saja. Sebenarnya masih banyak kreatifitas yang bisa dilakukan dan mereka tentu lebih ahli di bidang itu.

Peran Pemerintah

Berita cukup menggemberikan untuk kita, akhirnya pemerintah memberlakukan aturan mengenakan harga minimal Rp200 untuk kantong kresek. Langkash tersebut harapannya dapat meminimalisir penggunaan plastik. Tapi saya pesimis hal tersebut berdampak signifikan. Melihat kebiasaan masyarakat kita yang "manja", saya sangat yakin mereka akan lebih memilih menebusnya hanya dengan Rp200,- daripada repot-repot membawanya dari rumah. Pemerintah perlu melakukan kebijakan yang lebih ekstrim lagi dalam mengendalikan plastik ini.

Jika Saya Seorang Dirjen Pajak

Akhirnya Saya berandai-andai jika menjadi seorang Dirjen Pajak, tentunya bisa turut  memainkan peran ini dalam dunia plastik. Plastik akan saya kategorikan menjadi barang mewah. Saya kenakan PPnBM dengan tarif yang sangat tinggi. Kemasan berupa sachet juga layak dikenakan pajak yang tinggi sehingga kemasan sachet dijual bukan karena murahnya tapi karena kepraktisannya yang dikhususkan untuk hal-hal tertentu ketika sedang bepergian dan keadaan darurat. Pajak atas plastik itu kita pisahkan dan dikhususkan untuk rehabilitasi bumi yang rusak ini. Bagi masyarakat, di tengah keluhan mahalnya harga plastik, setidaknya dapat turut andil memperbarui alam ini.

 

Mari Kita Kendalikan Penggunaan Plastik Sekecil Apapun Langkah Kita !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun