Mohon tunggu...
Paryono Yono
Paryono Yono Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk berbagi

Blog pribadi https://dolentera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gagal Paham dengan Larangan Panggilan Kafir

3 Maret 2019   14:41 Diperbarui: 3 Maret 2019   15:31 2108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita cermati, sebenarnya kita pun sudah biasa diperintahkan memilih panggilan kepada seseorang dengan ungkapan atau sebutan yang halus--- julukan yang tidak menyinggung.

Ketika menghadapi murid yang selalu tidak nyambung ketika diberi materi pelajaran kita tidak perlu menyebutnya dengan "Hei bodoh...., Hei Bebal..., Hei Idiot atau Hei Bloon". Kita hanya perlu menyampaikan "Kamu harus lebih rajin belajar agar lebih pintar" meski kenyataannya goblok dan di bawah standar.

Ketika memanggil orang yang cacat penglihatan tidak perlu memanggil " Hei Buta.... atau Hei picek". Demikian juga dengan orang yang berpendengaran kurang, tidak usah disebut "Hei budeg, pekak, bolot, bahkan ditambah kopo'en", meskipun panggilan tersebut menunjukkan realita. Kenyataan yang sebenarnya. Tanpa disebutkan pun sebenarnya mereka juga sudah tahu.

Dalam dunia pendidikan orang yang cacat biasa disebut orang yang berkebutuhan khusus, atau disabilitas. Panggilan tersebut tentunya tidak mengghilangkan realita yang ada. Orang buta tetap tidak melihat, orang yang tuli juga tetap tidak mendengar. Sebutan disabilitas atau orang yang berkebutuhan khusus hanya untuk menghaluskan agar mereka tidak tersinggung dan sakit hati.

Rekomendasi untuk memanggil Non-Muslim bagi orang yang tidak beragama Islam pun demikian. Tujuannya untuk memperhalus agar orang yang dipanggil tidak tersinggung dan sakit hati. Namun secara hakekat mereka tetap kafir karena mengingkari Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad sebagai utusan-Nya, sebagaimana definisi kafir Wikipedia. Sehingga jelas, yang dibahas di sini panggilan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, bukan anggapan secara keyakinan.

Bagi saya pribadi, meski tanpa perlu diperintah, direkomendasi, diberi instruksi, dan disuruh pun saya tidak akan memanggil "Hei Picek" untuk orang buta, "Hei Pincang", "Hei Buntung" untuk orang cacat, atau "Hei Kafir" untuk orang yang beragama selain Islam. Bagi saya itu tidak elok, tidak etis dan dapat menyakiti perasaan. Panggilan tersebut sensitif dan menjurus kepada kekerasan verbal---beda pendapat juga tidak apa-apa.

Dengan mengatakan umat Kristiani, umat Hindu, umat Budha atau lebih mudahnya Non-Muslim lebih enak didengar dan lebih kecil potensi menyinggung.

Sebagai sesama anak bangsa tentunya menjadi sangat penting merawat persatuan dan kesatuan. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang besar dengan beragam suku, bahasa dan agama. Sehingga rentan dengan perpecahan.

Salah satu merawat persatuan adalah dengan menumbuh kembangkan sikap saling menghargai. Hasil ijtihad Ulama NU dengan tidak menggunakan kata kafir dan menggunakan sebutan Non-Muslim bagi orang yang beragama selain Islam adalah usaha merawat persatuan dan kesatuan bangsa.

Akan lebih baik jika kita menghormati hasil rekomendasi tersebut. Silahkan bagi warga NU atau yang sejalan untuk menggunakan rekomendasi tersebut. Bagi yang tidak setuju, dipersilahkan juga melakukan apa yang diyakini, tanpa perlu berkomentar menyudutkan dan menghakimi, apalagi tanpa mencari sumber informasi. 

Sumber informasi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun