Kata Kafir beberapa hari ini populer di jagat media sosial. Pojok twitter dan facebook ramai membicarakan perihal kata kafir tersebut. Media online juga tak mau kalah meramaikan dengan berbagai ulasan berita yang menyinggung kata kafir ini.Â
Kepopuleran kata kafir ini tidak lepas dari hasil rekomendasi Munas Ulama NU yang melarang warganya memanggil orang di luar Islam dengan sebutan kafir. Non Musim menjadi panggilan yang dianjurkan kepada orang, warga, umat, atau masyarakat yang tidak beragama Islam.
Banyak yang gagal paham mengenai rekomendasi tersebut. Ada yang menghubungkan munculnya rekomendasi dengan kedekatan NU dengan salah satu Capres yang bertarung saat ini. Ada juga yang menyeret ke ranah aqidah, dengan menyatakan bahwa memanggil Non-Muslim sama juga menganggap mereka tidak kafir dan ahli surga.
Mengambil informasi dari sumber minimal akan menjadikan kita mengerti sudut pandang dari pembuat rekomendasi. Lebih lanjut akan dapat menghindarkan kita dari salah persepsi yang berujung pada ghibah dan buruk sangka.
Dikutip dari website NU online, Kyai Mahbub menjelaskan bahwa dalam konteks keyakinan, Non-Muslim tetap kafir. Kaitan waris, orang Islam tidak mewariskan dan menerima waris dari Non-Muslim. Demikian juga perihal pernikahan dan aturan agama lain, tetap mengacu pada syariat Islam.
"Dalam konteks aqidah, ya tetap seperti itu. Dalam soal waris dan soal lain, ya tetap. Dalam konteks keyakinan, ya mereka tetap kafir dengan segala konsekuensinya itu," kata Kiai Mahbub.
Selanjutnya dijelaskan dalam konteks sosial kemasyarakatan, seorang muslim tidak seharusnya memanggil orang yang beragama selain Islam dengan panggilan "Hai Kafir" karena sebutan tersebut sensitif. Rekomendasi Munas Ulama NU menganjurkan bagi warga NU untuk memanggil orang di luar Islam dengan sebutan Non-Muslim.
Dicuplik dari NU online, Ustadz Muntaha mengutip Kitab Al-Qunyah dalam Bab Al-Istihlal dan Raddul Mazhalim yang menyebut ungkapan,
"Andaikan seseorang berkata kepada Yahudi atau Majusi, 'Hai kafir', maka ia berdosa jika ucapan itu berat baginya (menyinggungnya)."
Konsekuensinya, pelakunya itu seharusnya ditakzir (diberi hukuman yang mendidik) karena melakukan tindakan yang membuatnya berdosa sebagaimana dikutip dari Kitab Al-Bahrur Raiq, juz V halaman 47).
Sebagai orang awam, saya pun tidak terlalu mempermasalahkan rekomendasi tersebut. Rekomendasi tersebut saya anggap wajar, apalagi dilakukan organisasi yang memiliki pengikut dalam jumlah banyak, seperti NU.