Aku duduk di pojokan sambil mendengarkan wejangan Abah, orang yang sudah kuanggap orang tua sendiri.
"Orang harusnya tahu di hari nanti dia akan berhasil atau tidak, meskipun itu cukup ada di hati, tidak perlu diucapkan." ucap Abah.
Kemudian Abah mengibaratkan ketika anak di bangku sekolah.
"Anak yang rajin berangkat sekolah, nilai tugas dan ulangan di atas rata-rata, dan ketika tes akhir ia yakin bisa mengerjakan, anak tersebut pantas optimis lulus, meskipun belum ada pengumuman kelulusan. Keyakinan lulus cukup ada di hati, tidak perlu disampaikan karena tentu akan dianggap sombong. Kesuksesan juga seperti itu, tinggal bagaimana kita mengukur (indikasi-indikasinya)." Ucap Abah dengan lugas.
Pikiran ku pecah, seakan menemukan titik terang di jalan gelap. Ingatanku mengais-ngais kisah orang di sekitarku, mereka ku anggap berhasil mendampingi anak-anaknya pada kesuksesan.
Petani di desaku yang terpencil, seorang sopir pabrik, dan seorang janda, mereka semua tidak lulus SD, pendapatan tidak bisa dikatakan cukup untuk pendidikan anaknya, Â apalagi pada saat itu, untuk mendapat beasiswa tidak semudah sekarang, tetapi mereka dapat menghantarkan anak-anaknya menyelesaikan kuliahnya.
Saat ini anak-anak mereka sudah bekerja. Mereka menikmati hari tuanya, anak-anak mereka pun sangat mengerti kebutuhan orang tunya.
Bagiku mereka adalah contoh orang-orang hebat karena dapat membawa anak-anaknya jauh melebihi kondisi mereka, baik dari ekonomi, pendidikan, maupun pengalaman. Bahkan mungkin mereka lebih mampu mengajarkan etika kepada anak-anaknya, dibanding sebagian orang yang kukenal, padahal lebih berpendidikan. Anak-anaknya lulus perguruan tinggi, tetapi tidak ada rasa hormat kepada orang tua.
Cerita perjalanan mereka bertiga mengingatkanku akan surat Ar-Ra'd ayat 29, ayat yang sering Abah singgung.
"Orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik." bunyi ayat tersebut.
"Ooo, berarti harus melihat perjalananku kembali, aku mesti menata keimanan dan amal baik". Gumamku.
Meskipun mereka belum tentu tahu menahu mengenai ayat tersebut. Namun menurut kaca mataku, mereka telah melakukannya. Mereka memperbaiki keimanan dengan sholat dan puasanya. Tidak hanya sholat wajib melainkan juga sholat rawatib dan sholat sunah lain.
Mereka rajin berpuasa, tidak hanya puasa Romadhon, tetapi juga puasa senin-kamis dan puasa sunah di bulan-bulan tertentu. Mungkin mereka tidak tahu menahu kaitan hadits sholat dan  puasa sunah yang mereka kerjakan.
Apakah hadits tersebut dho'if atau tidak, mereka pun tidak terlalu memperdulikan. Bagi mereka yang penting melaksanakan pelajaran dari orang tua atau kyai/guru panutannya. Mereka yakin itu perintah Allah, dengan mengerjakan maka pertolongan Allah akan menaungi kehidupan keluarganya.
Mereka gemar melakukan kebaikan, terlihat dari rutinnya peran mereka ketika kerja bakti di masjid atau mushola. Ketika ada pengajian, selain hadir, mereka pun tidak berat mengulurkan tangan dengan memberikan apa yang mereka punya, tenaga atau makanan yang ada. Bahkan ada yang bersedia mengiris sebagian tanahnya untuk diwakafkan ke mushola.
Begitulah Allah. Jika Allah mau memberikan pelajaran kepada siapa, dan melalui apa/siapa maka semuanya akan terasa mudah. Tidak harus dari biografi tokoh dunia, orang kecil yang biasa diremehkan pun jika Allah berkehendak akan jadi pelajaran berharga.
Aku pun tersadar akan keberadaan titipan Allah yang ada di sampingku. Di pundakku, pemimpin keluarga, masa depannya digantungkan. Pelajaran dari ketiga orang tersebut menjadi modal untuk menata kehidupan anak-anak.
Melalui tangan, pikiran, hati, akan ku ukir kehidupan mereka. Tentunya aku pun tak lupa untuk mohon ijin dan bimbingan Allah, agar langkahku dimudahkan. Karena tanpa pertolongan-Nya, apapun yang kuusahakan akan sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H