Mohon tunggu...
parman rudiansah
parman rudiansah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi membaca, tidak suka berisik, dan menulis puisi bagian caraku menafsir tabir

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Dua Puluh Empat

29 Agustus 2024   11:49 Diperbarui: 29 Agustus 2024   12:01 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

malam itu

aku dan ribuan manusia

menyeret melati yang disulap jadi biduan

akbar

ada undangan malam

hiasan Gerimis nyatanya menyayat

tapi

kerongkonganku bak pabrik beras

kakiku diselimuti semut

yang nyatanya tak kelihatan

bahkan tak ada

menghabiskan waktu

mereka bilang itu seronok

padahal kami sudah  ribuan tahun biasa saja

itulah yang disebut hiburan

bak di cafe

melati  mulai bergoyang

menguras panggung

merenggut kantong tebal

memanja yang ingin sombong

mereka itu tidak tahu

itu saja

entah yang mana aku tidak tahu

aku termasuk tenang saja 

atau aku yang tak sadar akhirnya

sampai tengah malam

itu dan sangat tidak suka 

baju besi itu memaksa kami berhenti

aku berikan lidah panjang dan melipat kemelut

kamu suka

mereka tidak 

si besi tua memaksa 

dan sampai sekarang 24.00

adalah budayanya

aku berbalik dan bersiul

keindahan itu milik beberapa banyak populasi

itulah yang kutahu

termasuk aku disisi yang lain

4 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun