Setelah Pertamina mengumumkan kinerja semester pertama 2020, maka tidak hanya di media, di lini masa (medsos) dibanjiri komentar Netizen. Sayangnya komentar dan perbincangan netizen lebih didasari faktor emosional, yaitu keberadaan Ahok di Pertamina. Yang menghujat maupun membela, lebih didominasi faktor rivalitas sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 maupun PilPres 2019 yang lalu.
Tekad Ahok untuk meningkatkan kinerja Pertamina, dengan statemennya yang khas saat diangkat sebagai Komisaris Utama akhir tahun 2019 yang lalu, Â ternyata di paruh waktu 2020, justru kinerja Pertamina anjlok dan mencatatkan kerugian sekitar Rp 11 triliun. Sorotan publik tidak fokus ke Pertamina sebagai korporasi, tetapi justru kepada sosok Ahok.Â
Tentu hal ini kurang pas, karena Ahok adalah komisaris/pengawas dan bukan direksi. Memang Ahok tetap memiliki kontribusi terhadap penurunan kinerja Pertamina di 2020 ini, karena menunjukkan pengawasannya belum efektif.Â
Masih ada waktu Pak Ahok untuk mencambuk kinerja Pertamina disisa tahun 2020 ini, dan jebloknya kinerja Pertamina ini tentu harus diikuti dengan pengawasan yang lebih efektif, mengurangi statemen di media dan lebih fokus pada pembenahan internal Pertamina. Karena tidak cukup dengan popularitas dan modal politik yang kuat untuk membenahi Pertamina, maka Pak Ahok harus lebih intens mengawasi manajemen.
Biang kerok kerugian Pertamina yang disebut-sebut adalah harga minyak yang anjok dari US$ 65 dan sampai Juli 2020 berada dikisaran US$ 40 dollar.
 Dalam laporan keuangan Pertamina yang dipublikasikan dan dikutip oleh media, salah satu penyebab kerugian Pertamina adalah pendapatan yang turun 20%, "tepatnya 19,81% secara tahunan atau year on year (yoy) dari US$ 24,54 miliar pada semester I tahun lalu menjadi US$ 20,48 miliar",. Di sisi lain perusahaan berhasil menurunkan beban pokok penjualan dan beban langsung lainnya sebesar 14,14% yoy menjadi US$ 18,87 miliar dibanding sebelumnya sebesar Rp 21,98 miliar.Â
Sementara beban produksi hulu dan lifting naik tipis 2,29% yoy menjadi US$ 2,43 miliar dari US$ 2,38 miliar, serta beban dari aktivitas operasi lainnya naik 19,56% dari US$ 803,78 juta menjadi US$ 960,98 juta (dikutip dari katadata.co.id).
Tentu sedih melihat paparan keuangan Pertamina yang menunjukkan ketidakmampuan manajemen dalam mengantisipasi dan merencanakan serta mengeksekusi program sehingga Pertamina disemester 1 2020 rugi Rp 11 triliun.
Hal ini jelas, menunjukkan bahwa Pertamina sudah melupakan sejarah. Padahal seperti pesan Presiden Sukarno, "jangan sekali-sekali melupakan sejarah".Â
Pertamina yang berdiri sejak tahun 1971 dan telah berganti belasan kali Dirut maupun Direktur, telah mencatatkan kinerja yang terpuruk maupun cemerlang dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya.Â
Namun, sepertinya nahkoda yang sekarang tidak mau belajar ke Dirut-dirut yang dulu, akibatnya ketika dihantam persoalan yang sama, maka menjadi babak belur. Padahal yang terjadi saat ini pernah terjadi di waktu-waktu sebelumnya.