Ngelongok Wak Abu Coffee Simpang Gajayana Malang
Hujan terus mendera kota Malang beberapa hari ini. Tapi uniknya hujan dari angkasa Malang tak menyurutkan langkah anak-anak muda di kota ini untuk meluncur dari akomodasinya masing-masing. Senjata mereka hanya satu yaitu mantel hujan dan motor distart tak pernah rewel.
Itulah yang aku lihat di tongkrongan Amstirdam Coffee, Kopi Tuwo, Bos Coffee dan terakhir ya Wak Abu Coffee. Di kedai Wak Abu aku sempat bingung. Tapi nggak deng karena secara filologis, setahu saya Wak Abu itu biasanya nama Melayu jadul, dan the owner yang bernama Hamdyan Victoria. Ini pun aku kira nama yang tak asing bagi cengkok Melayu. Bisa jadi nama ini dari nama Hamdan. Itulah gender. Coba ingat Zulva Hamdan. Lalu Victoria. Itu jelas nama Anglo Sakson dari kata Victory atau kemenangan. Boleh jadi nama itu adalah sebuah kemenangan bagi sang ayah ketika itu. Apa narasi kemenangan itu baginya, entahlah.
Sebelum fokus kesitu. Tau sendirilah kota Malang. Minum kopi pagi setelah sarapan. Sungguh tak mudah. Kebanyakan caf meski bejibun, tapi buka paling cepat Pk 09.00 pagi keq Amstirdam Joyoagung raya dan Capella Bukit Tidar. Caf lainnya mereka buka seharian hingga dini hari. Tak heran telat buka bagi kaum Kopi pagi seperti saya.
Juga harus dimafhumi Kopi Pagi pun tak semua sama. Kita pasti kesulitan disini untuk cari kopi origine seperti Arabika atau Robusta. Yang ada kebanyakan Kopi hitam, dan kalau ditanya ada Arabika Ijen atau Arabika Gayo, atau ada Kopi Dampit. Jawabnya sungguh di luar dugaan : Nggak tahu Pak, tapi sepertinya ini Kopi Dampit. Ya ampun ..
Tapi begitu sore jelang malam, kita mudah menemui kedai kopi zaman now. Gayanya macam-macam, ada model vintage, model nyentrik, model orkay dst. Yang menyatukan mereka adalah para baristanya. Mereka professional dan tau memainkan coffee maker sesuai pesanan. Sekadar kudapan pun lengkap, dan satu-dua ada juga yang menyediakan makanan lengkap atau ala carte kata orang bule.
Gambaran tersebut di atas hanya untuk memperjelas bahwa sebagai kota pendidikan dengan ratusan ribu mahasiswa pendatang disini, maka caf-caf yang beberapa di antaranya adalah kopi pagi tadi baristanya bukannya tak professional, tapi pengenalan mereka terhadap kopi sementara ini cukup Kopi hitam, karena itu adalah slank gaul yang mereka layani sehari-hari yi komunitas mahasiswa sekota Malang. Tapi menu untuk mahasiswa lengkap disini, mulai minuman kekinian hingga makanan tradisional dan kekinian. Yang penting semuanya bisa terjangkau.
Kalau di kota Malang  soal percafean meski kelihatannya gaya warung-an, tapi dalam praktek rata-rata pengelolanya sudah tau harus bagaimana memoles diri agar bisa kompetitif dalam menjalankan bisnisnya. Tapi , karena katakanlah kota ini adalah salah satu pusat aglomerasi setelah Surabaya, maka tak heran kota ini juga ada keterkaitan dengan budaya percafean di daerah sekitarnya, misalnya Warkop Kopi hijau gaya Tulungagung ada di sini. Cirinya adalah lesehan tanpa perlu dipernak-pernik modern. Contoh lain adalah Warkop Lamongan seperti Bos Coffee di Joyosuko. Disini Akrim pemiliknya adalah seorang anak muda semester akhir di sebuah Universitas. Dia adalah seorang yang sangat guyub. Ia dibantu teman-temannya dari Lamongan dan menjalankan bisnis percafeannya secara gotongroyong khas guyub ala Lamongan. Kopi yang disajikan disini kopi blend yaitu Robusta 70% dan Arabika 30%. Masalahnya anak-anak yang ngopi disini tak suka rasa asam Arabika kata Akrim the owner Bos Coffee.