Cease Fire : Kemenangan Absurd Hamas dalam Perang Gaza
Sebagian besar pejabat Hamas yang diajak bicara dalam beberapa minggu terakhir mengakui tujuan utama yang ditetapkan oleh gerakan tersebut setelah serangan 7 Oktober terhadap Israel belum tercapai.
Ini termasuk penghentian perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem, pendirian negara Arab-Palestina, pembebasan seluruh tahanan Arab-Palestina, dan pencabutan pengepungan terhadap Gaza.
Namun, mereka bersikeras kegagalan Israel untuk melenyapkan Hamas atau menyingkirkannya dari panggung politik merupakan suatu kemenangan.
"Israel berjanji untuk melenyapkan Hamas, tetapi sekarang mereka duduk di gedung yang sama dengan para pemimpin Hamas dan bernegosiasi dengan mereka," kata seorang pejabat senior Hamas kepada BBC belum lama ini melalui panggilan telepon sebelum gencatan senjata diumumkan.
Meskipun ditegaskan Gaza telah hancur, Israel telah membunuh puluhan ribu orang dan menghabisi sebagian besar pemimpin Hamas - bagaimana mereka menganggap ini sebuah kemenangan?
Pejabat senior Hamas tersebut menjawab: "Dari segi jumlah, Gaza telah membayar harga yang tak terbayangkan. Namun dari segi keuntungan dan kerugian, Israel gagal mematahkan keinginan rakyat Arab-Palestina, perlawanan, atau mengusir orang-orang keluar dari negara itu."
Ia menggambarkan serangan oleh Hamas, yang dicap sebagai organisasi teroris oleh Inggeris dan negara-negara lain, sebagai "pukulan militer dan keamanan terbesar" dalam sejarah Israel. "Tidak ada yang dapat mengubahnya."
Di Gaza, reaksi masyarakat beragam. Air mata dan kegembiraan bercampur aduk, mencerminkan rasa lega bahwa jumlah korban tewas akan segera berhenti meningkat dan ketakutan akan masa depan yang tidak menentu yang menanti 1,2 juta orang yang telah kehilangan rumah, sekolah, universitas, dan rumahsakit.
Perdebatan di Gaza sekitar 7 Oktober, ketika sekitar 1.200 orang Israel tewas dan 251 lainnya disandera, terus berlanjut sepanjang perang dan meningkat setelah gencatan senjata diumumkan.
Sebagian pihak membela Hamas, dengan mengklaim kelangsungan hidupnya saja sudah cukup untuk menyebutnya sebuah kemenangan, sedangkan sebagian lainnya mengkritik gerakan tersebut, dengan menyatakan harga yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dibayarkan oleh warga Arab-Palestina merupakan sebuah kekalahan.
Mohammed Imad al-Din, seorang tukang cukur di Gaza yang terpaksa mengungsi ke Khan Younis bersama isteri dan anak-anaknya bersama lebih dari satu juta orang lainnya, mengatakan kepada BBC: "Jika pembunuhan 46.000 orang, pengungsian dan penghancuran merupakan sebuah kemenangan, maka saya berharap para pemimpin Hamas dapat menjelaskan arti kekalahan. "Saya lega, tetapi jelas tidak senang karena masa depan tidak pasti," tukasnya.
Sementara itu, Saifjan Al-Shami, seorang dokter di Universitas Islam Gaza, mengatakan di Facebook dia "terkejut oleh warga Arab-Palestina mana pun, terutama warga Gaza, yang tidak mengakui kemenangan Hamas dan mencemooh mereka yang mengatakan kami menang.
"Ya, Gaza menang, dan Hamas menang. Hei, apakah Anda tahu kriteria kemenangan sebelum Anda berbicara? Anda harus mengintrospeksi diri, patriotisme, dan kesetiaan Anda kepada Gaza. Gaza menang meskipun dibenci oleh para pembenci."
Untuk saat ini masih terlalu dini untuk menilai apakah perang akan berakhir setelah tahap pertama perjanjian gencatan senjata.
Mayoritas warga Gaza merasa suara tembakan akan segera berakhir, tetapi suara penderitaan, penyesalan, dan kesakitan akan terus berlanjut hingga generasi mendatang.
Sungguh membingungkan cara membaca siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam perang Gaza itu dilihat dari cara berpikir kelompok terror ini. Apakah memang ideologi yang dicekokkan dunia Arab kepada mereka selama ini sudah menjadi semacam dogma mati yang tidak bisa lagi ditawar bahwa kami orang Arab adalah adalah anak sah Abraham yang berhak atas seluruh tanah Israel sekarang yang dulunya bernama Canaan. Lalu siapakah Israel. Ya, mereka adalah saudara tiri yang tak berhak atas tanah ini. Begitukah cara berpikir dogmatis mati dengan memenggal semua dalil historis tentang tanah tersebut.
Desktipsi di atas mencerminkan dilema kompleks dalam konflik Israel-Arab Palestina, di mana klaim kemenangan atau kekalahan dapat menjadi sangat subjektif, tergantung pada perspektif politik, ideologi, dan pengalaman langsung para pihak yang terlibat. Dalam hal ini, Hamas mengklaim keberhasilan hanya dengan bertahan hidup sebagai organisasi, sementara kenyataan di lapangan menunjukkan kehancuran besar-besaran di Gaza, termasuk kerugian manusia dan infrastruktur yang sangat signifikan.
Ideologi di mana sebagian orang Arab-Palestina meyakini bahwa tanah Israel saat ini seharusnya menjadi milik mutlak mereka sebagai warisan Abraham, memang memiliki akar sejarah dan teologis yang mendalam dalam konteks politik Timur Tengah. Namun, cara pandang seperti ini terkesan kuat mengesampingkan fakta sejarah yang lebih kompleks, termasuk keberadaan Israel sebagai negara yang diakui secara internasional, serta hak-hak sejarah dan agama yang juga dimiliki oleh bangsa Yahudi terhadap tanah tersebut.
Dogma ideologis tersebut dapat berkontribusi pada sikap "mati tawar" terhadap upaya perdamaian. Dalam kasus Hamas, pendekatan dogmatis ini faktanya diperkuat oleh dukungan ideologis dan finansial dari sebagian dunia Arab, yang menggunakan narasi keagamaan dan historis untuk mendukung klaim mereka. Namun, narasi ini justeru memenggal atau mengabaikan fakta historis yang menunjukkan keberadaan bangsa Yahudi di wilayah tersebut sejak zaman kuno, termasuk keberadaan Kerajaan Israel kuno di tanah yang kini menjadi pusat konflik.
Kritik terhadap pendekatan ini mencerminkan keprihatinan sikap dogmatis yang menghalangi proses perdamaian dan menciptakan siklus konflik tanpa akhir. Sementara itu, penduduk sipil di Gaza, seperti yang dikutip dalam laporan tersebut, adalah korban utama dari ideologi yang dipaksakan oleh pemimpin politik atau militan. Situasi ini memperlihatkan kebutuhan mendesak untuk mendekati konflik dengan cara yang pragmatis, menghormati hak-hak kedua belah pihak, dan mencari solusi yang berlandaskan keadilan serta kemanusiaan.
Saya pikir tak ada solusi untuk konflik ini, kecuali Trump dapat membujuk Arab Saudi, Qatar dkk untuk tidak lagi menarasikan two state solutions, karena itu adalah dogma mati ibarat membiarkan sebuah pembunuhan permanen sepanjang masa. Di sisi lain Israel hanya mempertahankan legacy dan eksistensinya di middle-east. Tak mungkin two state solutions jadi bagian dari politiknya. Masalahnya itu adalah legacy dari leluhurnya. Bertentangan secara diametral, narasi dunia Arab itu dibenarkan dunia barat hanya gegara minyak Arab ditumpahkan ke dunia barat.
Itu adalah semacam pesimisme terhadap kemungkinan solusi konflik Israel-Arab-Palestina melalui pendekatan two-state solution, yang memang telah lama menjadi narasi utama komunitas internasional, tetapi gagal mencapai realisasi konkret.
Beberapa poin penting yang dapat dipahami dari perspektif ini
Dogma "Two-State Solution" sebagai narasi tidak realistis
Pendekatan two-state solution selama ini dipandang sebagai "jalan tengah," tetapi dalam praktiknya menjadi utopis karena tidak memadai menjembatani klaim-klaim eksistensial kedua belah pihak. Bagi banyak pemimpin dunia Arab, ini adalah narasi politik untuk mengakomodasi tekanan internasional, tetapi pada tingkat akar rumput, banyak yang tidak sungguh-sungguh mendukung keberadaan Israel sebagai entitas permanen. Sebaliknya, bagi Israel, gagasan two-state dianggap sebagai ancaman eksistensial karena membuka jalan bagi penghapusan jangka panjang negara Yahudi itu sendiri.
Narasi Dunia Arab dan pengaruhnya
Dunia Arab sudah terbiasa menggunakan isu Arab-Palestina sebagai alat politik untuk memperkuat posisi mereka di kancah internasional, khususnya untuk meraih dukungan dari negara-negara Barat yang bergantung pada minyak Timur Tengah. Narasi ini dapat menjadi dogma mati yang memenggal upaya mencari jalan tengah. Dukungan keuangan dan ideologis dari negara-negara seperti Qatar dan Iran kepada Hamas, serta diplomasi simbolis dari negara-negara seperti Arab Saudi, telah memperpanjang konflik tanpa memberi solusi nyata.
Posisi Israel : Legacy dan Eksistensi
Bagi Israel, tanah yang mereka duduki adalah bagian dari warisan historis dan religius yang tak terpisahkan dari identitas nasional mereka. Dalam pandangan ini, tanah tersebut bukan sekadar aset geografis, tetapi juga simbol kelangsungan bangsa Yahudi setelah berabad-abad diaspora dan penganiayaan. Dari perspektif Israel, menyerahkan sebagian tanah itu untuk mendirikan negara Arab-Palestina tidak hanya merugikan keamanan fisik, tetapi juga mengkhianati warisan leluhur mereka.
Peran AS dan Donald Trump
Di bawah kepemimpinan Trump, ada upaya untuk menggeser pendekatan internasional dari two-state solution menjadi solusi pragmatis yang lebih condong ke one-state reality---di mana pengakuan terhadap kedaulatan Israel diprioritaskan, dan peran Arab-Palestina lebih bersifat administratif terbatas. Kesepakatan Abraham (Abraham Accords) yang dimotori oleh Trump berhasil membawa normalisasi hubungan antara Israel dengan beberapa negara Arab, tetapi gagal menyentuh akar konflik antara Israel dan Arab-Palestina.
Jika Trump atau pemimpin lain mampu membujuk negara-negara seperti Arab Saudi atau Qatar untuk menghentikan narasi two-state solution dan fokus pada pendekatan yang lebih pragmatis, mungkin ada peluang untuk mengurangi ketegangan. Namun, ini membutuhkan perubahan paradigma besar dalam politik dunia Arab dan penerimaan internasional terhadap status quo geopolitik di Timur Tengah.
Ketergantungan Barat pada minyak Arab
Ketergantungan Barat pada minyak Arab telah memberikan leverage politik kepada negara-negara Teluk untuk memaksakan narasi mereka, termasuk dukungan terhadap two-state solution. Namun, dengan transisi global menuju energi terbarukan, posisi strategis ini kemungkinan besar akan melemah, memberikan ruang bagi pendekatan yang lebih berimbang.
Tanpa perubahan signifikan dalam cara pandang dunia Arab dan internasional terhadap konflik ini, serta keberanian untuk meninggalkan narasi lama yang tidak lagi relevan, konflik ini akan terus menjadi lingkaran setan. Realitas di lapangan menunjukkan solusi pragmatis lebih diperlukan daripada dogma politik yang tidak berpijak pada realitas historis dan sosial.
Israel, sebagai negara, tampaknya hanya akan fokus mempertahankan eksistensinya, sementara dunia Arab perlu mengevaluasi pendekatan mereka jika ingin menghindari perpetuasi penderitaan rakyat Arab-Palestina.
Joyogrand, Malang, Fri', Jan' 17, 2025.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H