BRICS, yang semakin terintegrasi secara ekonomi dan geopolitik, menawarkan alternatif bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi ketergantungan pada Barat. Namun, kedekatan BRICS dengan Rusia dan China, yang sering menjadi target kebijakan keras AS, dapat menjadi jebakan diplomatik bagi Indonesia.
Tantangan netralitas
AS di bawah Trump kemungkinan akan menekan Indonesia untuk mendukung kebijakan anti-China atau mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Rusia. Di sisi lain, BRICS, khususnya China, dapat memberikan tekanan untuk mengamankan dukungan Indonesia dalam forum multilateral.
Mengayuh di antara dua kekuatan besar tanpa memihak salah satu pihak akan memerlukan keterampilan diplomasi tingkat tinggi. Risiko terbesar adalah persepsi "ketidakpastian" dari kedua belah pihak, yang dapat melemahkan kepercayaan terhadap Indonesia.
Peluang dalam strategi netral
BRICS menawarkan peluang besar melalui pendanaan alternatif seperti New Development Bank (NDB), serta peluang perdagangan dan investasi dengan China dan India. Sementara itu, AS tetap menjadi mitra dagang utama Indonesia, terutama untuk barang-barang seperti tekstil, produk agrikultur, dan minyak kelapa sawit.
Sebagai pemimpin di ASEAN, Indonesia dapat memanfaatkan posisi ini untuk memperkuat kerjasama kawasan dan menjadi "jembatan" antara BRICS dan Barat. Hal ini dapat mengurangi tekanan langsung terhadap posisi Indonesia.
Strategi yang dibutuhkan
Indonesia harus memanfaatkan forum-forum internasional seperti G20, ASEAN, dan PBB untuk menunjukkan peran konstruktifnya sebagai mediator antara kedua kubu.
Mengurangi ketergantungan pada satu pihak sangat penting. Indonesia harus memperkuat hubungan dengan mitra non-BRICS dan non-Barat, seperti negara-negara middle-east atau Afrika, untuk memperluas opsi strategis.
Prabowo harus memastikan kebijakan luar negerinya tidak ambigu. Kejelasan posisi Indonesia dapat membantu membangun kepercayaan di kedua pihak.