Mimpi Buruk Bencana Alam Yang Mengerikan di Sukabumi Raya
Melalui katakanlah terowongan waktu pada dekade 1970 di masa Farid Harja (asli anak Sukabumi) pendiri Band Bani Adam masih merajai musik pop di negeri ini, saya yang melewati masa kanak-kanak dan remaja di kota Sukabumi masih merasakan betapa indahnya kota peninggalan Belanda ini, termasuk betapa indahnya kalau kita jalan-jalan ke lereng Gunung Gede ke Perkebunan Teh Goalpara, atau menurun ke selatan ke Pelabuhan Ratu yang sekarang menjadi ibukota Kabupaten Sukabumi yang luas itu. Aman, Tenteram dan Damai, itulah yang terasa tempo doeloe. Bagaimana tidak, populasi masih jarang baik di kota Sukabumi maupun Sukabumi raya hingga Ujung Genteng dan Jampang.
Dalam perjalanan waktu. Itu semua berubah total. Bayangkan Jumlah penduduk di Kota Sukabumi sekarang tercatat 367,46 ribu jiwa (data per 2024). Untuk 13 tahun terakhir kata databoks, jumlah penduduk tercatat naik. Dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, rata-rata pertumbuhan tahunan (CAGR) wilayah ini tercatat lebih tinggi. Adapun pertumbuhan lima tahun terakhir, tercatat diangka 2,26%.
Meski di bawah populasi 500 ribu jiwa, kota seluas kurang dari 50 Km persegi ini sangat padat. Bandingkan dengan kota Malang dengan luas wilayah 111 Km persegi dengan populasi 1,1 juta jiwa.
Sementara Kabupaten Sukabumi yang sejak Otda beribukota di Pelabuhan Ratu menempati urutan pertama sebagai kabupaten terluas di Jabar dengan luas wilayah 4.164,15 Km persegi, dengan populasi 2,82 juta jiwa.
Penulis percaya sepenuhnya kalau kota Sukabumi berpopulasi di bawah 500 ribu jiwa, sedangkan populasi Sukabumi raya secara keseluruhan 2,82 juta jiwa. Lalu kemana selebihnya jumlah populasi itu. Pertama tentu bermigrasi internal ke kota Sukabumi, lalu kecamatan besar seperti Cicurug, Cibadak dan Pelabuhan Ratu. Kedua, dalam perjalanan waktu meluber bermigrasi everywhere, khususnya Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, bahkan tak sedikit yang bermigrasi ke luar pulau seperti ke Medan dan Palembang.
Mengapa migrasi seperti itu terjadi. Tak lain tak bukan jalan raya yang menghubungkan kota dan daerah Sukabumi dengan Jabodetabek dan Bandung hanyalah jalan konvensonal peninggalan Belanda dan tak pernah ada jalan tol. Barulah sekarang jalan tol ada. Itupun belum mencapai kota Sukabumi.
Masuk akal
Jadi kalau di musim La Nina sekarang ini banyak terjadi bencana alam di Sukabumi. Itu masuk akal, karena sebagiannya adalah ulah manusia dan keabaian Pemerintah Pusat dan Pemda untuk mengantisipasi perkembangan tersebut di atas.
Katakanlah warga yang tak bermigrasi. Dalam rangka survival, mereka tentu mengeksploitasi lereng-lereng di sekujur jalan konvensional peninggalan Belanda untuk berladang dll, dan ini diikuti oleh pemukiman baru yang semakin mendegradasi alam sekitar.
Kita lihat saja, bencana alam tanah bergerak, banjir bandang, hingga tanah longsor, 4 Desember 2024 lalu di Sukabumi, yang mengakibatkan ribuan kepala keluarga terdampak dan kerusakan sarana dan fasilitas publik lainnya cukup mengerikan. Sampai-sampai Pemerintah Kabupaten Sukabumi secara resmi memperpanjang status tanggap darurat bencana di Kabupaten Sukabumi hingga tanggal 17 Desember 2024 mendatang.
Kita lihat data sementara yang dirilis BPBD pada 10 Desember 2024 ybl, bencana alam yang terjadi sejak 3-4 Desember 2024 menimbulkan banyak kerusakan, baik rumah maupun bangunan fasilitas publik lainnya. Rusak Berat tercatat 1.428; Rusak Sedang 1.201 unit dan Rusak Ringan 1.272 unit. Rumah terancam 653 unit, serta rumah terendam 1.169 unit.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Dr Ir Amien Widodo menjelaskan fenomena tanah bergerak di Sukabumi ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan. Perubahan tersebut tidak terjadi secara mendadak, melainkan melalui proses panjang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun.
Dinamika Demografi dan Migrasi
Kota Sukabumi dengan luas di bawah 50 km persegi memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Dengan populasi 367 ribu jiwa, kepadatannya jauh melampaui Kabupaten Sukabumi yang memiliki luas 4.164 km persegi.
Fenomena migrasi dari wilayah pedesaan ke kota atau keluar wilayah Sukabumi adalah konsekuensi langsung dari aksesibilitas yang terbatas, keterbatasan lapangan pekerjaan lokal, dan daya tarik urbanisasi (terutama ke Jabodetabek, Bandung, dan luar Jawa).
Pemusatan populasi di titik tertentu seperti Cicurug, Cibadak, dan Pelabuhan Ratu memperbesar tekanan pada infrastruktur lokal dan lingkungan.
Konektivitas dan infrastruktur
Ketergantungan pada jalan konvensional peninggalan Belanda membatasi aksesibilitas, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi wilayah dan menghambat distribusi populasi yang lebih merata.
Proyek tol yang belum sepenuhnya mencapai Sukabumi membuat tekanan pada jaringan jalan eksisting tetap tinggi, meningkatkan risiko kerusakan jalan dan aksesibilitas terbatas saat bencana terjadi.
Eksploitasi lingkungan
Aktivitas pertanian lahan kering, pembukaan lahan, dan pembangunan pemukiman di lereng-lereng pegunungan mengganggu stabilitas tanah. Fenomena ini adalah penyebab utama tanah bergerak dan longsor.
Ketidakteraturan tata guna lahan, kurangnya regulasi yang efektif, dan lemahnya penegakan hukum memperburuk degradasi lingkungan.
Fenomena La Nina dan bencana alam
La Nina meningkatkan intensitas curah hujan, yang menjadi pemicu langsung banjir, longsor, dan tanah bergerak di kawasan rentan seperti Sukabumi.
Rumah dan fasilitas publik yang rusak berat menunjukkan rendahnya kapasitas bangunan untuk bertahan terhadap bencana, kemungkinan karena konstruksi yang tidak sesuai standar tahan bencana.
Tanggungjawab pemerintah
Pemda Sukabumi perlu memperkuat regulasi tata ruang untuk melindungi kawasan pegunungan dan hutan dari eksploitasi berlebihan.
Peningkatan kapasitas mitigasi bencana, termasuk pembangunan infrastruktur tangguh bencana dan rehabilitasi lahan, menjadi prioritas utama.
Memperpanjang status tanggap darurat bencana adalah langkah tepat, tetapi harus diikuti oleh kebijakan jangka panjang untuk mengurangi kerentanan bencana.
Rekomendasi strategis
Penguatan Tata Ruang
Melarang atau membatasi aktivitas di zona rawan longsor.
Rehabilitasi kawasan kritis dengan reforestasi.
Pengembangan Infrastruktur:
Mempercepat penyelesaian proyek tol hingga ke Sukabumi untuk mendukung konektivitas dan distribusi populasi.
Membangun sistem drainase dan perlindungan lereng yang lebih baik.
Pendidikan dan sosialisasi
Mengedukasi masyarakat mengenai risiko aktivitas yang merusak lingkungan.
Meningkatkan kesadaran akan pentingnya konstruksi tahan bencana.
Peningkatan sistem peringatan dini
Memanfaatkan teknologi untuk mendeteksi pergerakan tanah dan curah hujan ekstrem.
Memastikan aksesibilitas informasi kepada masyarakat lokal.
Perubahan lingkungan di Sukabumi raya adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan tekanan populasi, eksploitasi sumberdaya, dan pengelolaan tata ruang yang tidak optimal. Untuk mengatasi dampaknya, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan perencanaan strategis, pengelolaan risiko bencana, dan rehabilitasi lingkungan dengan dukungan kebijakan pemerintah yang kuat.
Lihat :
https://www.its.ac.id/news/en/2024/12/10/its-expert-calls-for-mitigating-tornado-impact-alertness/
Joyogrand, Malang, Thu', Dec' 12, 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI