Regime Theokrasi Iran Yang Tidak Teokratis
Dalam New York Times edisi 10 Nopember 2024, 2 pria New York diplot untuk membunuh aktivis Perempuan Iran Masih Alinejad yang banyak mengecam pemerintah Iran soal keberadaan perempuan Iran yang sangat tertindas di negerinya sendiri Iran. Kedua pria tersebut mendapat perintah dari orang ketiga yaitu seorang tenaga operasional Dinas Rahasia Iran dan kedua pria tersebut juga dituding terlibat dan/atau diplot untuk membunuh Donald J. Trump, demikian Jaksa penuntut dari pemerintah federal Amerika belum lama ini.
Apa boleh buat daripada memprovokasi Iran dan proksinya seperti yang banyak dirilis media di negeri ini, sebaiknya rencana jahat regime theokrasi Iran untuk menghabisi Donald Trump kita telisik. Apakah ini terkait dengan strategi Iran untuk menghabisi Trump yang diprediksi ke depan ini bakal menekan Iran habis-habisan.
Rencana pembunuhan aktivis Iran Masih Alinejad misalnya, sebagaimana dilaporkan oleh otoritas AS, memiliki kaitan dengan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran. Pada tahun 2022, jaksa federal mengungkap rencana yang diatur oleh Brigadir Jenderal IRGC Ruhollah Bazghandi, seorang tokoh kontraintelijen senior dalam IRGC. Alinejad, seorang kritikus vokal rezim Iran, khususnya perlakuan regime terhadap perempuan, menjadi sasaran karena aktivismenya saat berada di AS. Selain Alinejad, jaringan yang sama terlibat dalam rencana pembunuhan lainnya, yang menunjukkan penggunaan operasi secara luas oleh rezim untuk membungkam perbedaan pendapat di luar negeri.
Menekan lawan politik
Konspirasi terhadap Alinejad signifikan dalam konteks meningkatnya ketegangan antara AS dan Iran. Rezim Iran telah lama menggunakan tindakan ekstrateritorial, seperti penculikan dan pembunuhan, untuk menekan lawan, termasuk di negara-negara seperti Jerman dan Perancis. Sementara rencana terhadap Alinejad tidak secara langsung melibatkan rencana untuk membunuh Donald Trump, pola operasi Iran yang lebih luas di luar negeri, termasuk ancaman terhadap tokoh-tokoh terkemuka, merupakan bagian dari strategi yang sedang berlangsung untuk mempertahankan pengaruh dan mencegah kecaman internasional, khususnya terkait dengan pelanggaran hak asasi manusianya. Mengingat iklim geopolitik yang meningkat, terutama dengan keterlibatan Iran dalam konflik regional dan sikap nuklirnya yang kontroversial, agresi eksternal rezim tersebut mencerminkan strategi yang lebih luas untuk mengintimidasi atau membalas terhadap musuh yang dipersepsikan.
Pengerahan aset strategis seperti pesawat pembom B-52, pesawat pembom B-1, sistem pertahanan rudal THAAD, dan aset militer lainnya di middle-east, khususnya di sekitar Israel dan Yordania, sebagian besar dipandang sebagai bagian dari strategi pencegahan AS dalam menanggapi meningkatnya ketegangan dengan Iran. AS telah memperjelas komitmennya untuk melindungi kepentingannya dan sekutu regionalnya, terutama Israel, terhadap meningkatnya kemampuan militer Iran, termasuk program rudalnya.
Misalnya, pesawat pembom B-52, yang mampu membawa muatan nuklir, tidak hanya berfungsi sebagai unjuk kekuatan langsung tetapi juga untuk mengirim pesan kepada Teheran tentang potensi konsekuensi dari eskalasi lebih lanjut. Pesawat pembom ini telah dikerahkan secara teratur ke wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir di tengah meningkatnya kekhawatiran atas aktivitas Iran.
Jadi pengiriman Bomber strategis B-52 bahkan B-1 Raiders ke Qatar dan penempatan sejumlah missil Amerika di Jordania, dan penempatan THAAD di Israel. Semua asset strategis itu untuk menangkal kemungkinan Iran berbuat gila dalam perangnya melawan Amerika, Israel dan Klub Abraham Accord di middle-east.
Penempatan sistem Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Israel - yang dimaksudkan untuk mencegat rudal balistik di ketinggian tinggi - semakin menegaskan komitmen AS terhadap pertahanan Israel. Langkah ini menyusul serangan rudal Iran terhadap Israel, dan sementara memperkuat sistem pertahanan rudal Israel yang sudah tangguh, hal itu juga menandakan kesiapan untuk respons militer yang lebih luas jika ketegangan dengan Iran meningkat menjadi konflik langsung.
AS juga telah menempatkan sejumlah besar pasukan di lokasi-lokasi penting dan menempatkan rudal tambahan di Yordania untuk menyediakan penyangga pertahanan terhadap milisi yang didukung Iran dan potensi tindakan Iran. Tindakan ini merupakan strategi berlapis-lapis untuk mencegah agresi lebih lanjut dan menjaga stabilitas regional.
Namun, peningkatan kehadiran militer ini juga berisiko mengobarkan situasi yang sudah tidak stabil, terutama mengingat meningkatnya ancaman Iran dan potensi konfrontasi regional yang lebih luas.
Singkatnya, pengerahan assets militer Amerika ini merupakan respons langsung terhadap aktivitas Iran, khususnya dalam konteks program misilnya dan konflik proksi yang sedang berlangsung yang melibatkan pasukan yang didukung Iran di seluruh kawasan. Penempatan ini berfungsi untuk meyakinkan sekutu AS sekaligus mencegah tindakan lebih lanjut dari Teheran yang dapat menyebabkan konflik terbuka.
Dari pernyataan Trump belum lama ini sudah jelas Ia ingin gencatan senjata tercapai di middle-east, sehingga keluar ucapannya kepada Israel agar Israel segera menyelesaikan tugasnya untuk menhentikan Iran. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar apakah regime theokrasi yang sama sekali tidak teokratis ini akan mengabaikan Trump dan Amerika. Yang penting bagi mereka Israel harus dihapuskan dari peta bumi. Penghapusan Israel dari  peta bumi, termasuk thesis yang diunggulkan banyak di media negeri ini. Entah bagaimana Tempo, Sindo, TVOne, MetroTV menjadi beringas melihat ke sebelah kiri dan memuji setinggi langit Iran yang jelas-jelas bukan di sebelah kanan konflik. Dalam bahasa slank ini salah kaprah namanya.
Well, situasi seputar seruan Donald Trump agar Israel "menyelesaikan pekerjaan" terkait Iran dan konteks middle-east yang lebih luas memang rumit. Sikap Trump tampaknya mencerminkan kebijakan luar negerinya yang lebih luas, "America First", yang menekankan kepentingan AS dan biasanya menganjurkan tindakan yang lebih langsung terhadap ancaman yang dirasakan di kawasan tersebut, khususnya Iran. Namun, pernyataan ini dapat diartikan sebagai keselarasan dengan posisi Israel yang lebih garis keras terhadap ambisi nuklir Iran dan pengaruh regionalnya.
Iran dan doktrin penghancuran Israel
Dari perspektif Iran, yang berakar pada rezim teokratis yang dipimpin oleh Pemimpin Tertinggi (Khamenei), tujuan utamanya adalah pelestarian kekuatan dan pengaruh regional Iran. Iran telah lama memandang Israel sebagai ancaman eksistensial, sebagian besar karena peran Israel sebagai sekutu AS dan kemampuan militernya. Rezim Iran, khususnya di bawah kepemimpinan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, telah berulang kali menyerukan penghancuran Israel, menggemakan pernyataan yang telah menjadi landasan kebijakan luar negeri Republik Islam selama beberapa dekade. Seruan-seruan ini bukan sekadar retorika, tetapi didukung oleh jaringan proksi di seluruh kawasan, yang dipersenjatai dan didanai Teheran sebagai bagian dari strateginya untuk mengimbangi pengaruh Israel dan AS.
Kepemimpinan Iran tidak mungkin terhalang oleh pernyataan Trump, karena pernyataan tersebut dimotivasi oleh kebutuhan ideologis dan strategis yang mengakar kuat untuk menegaskan peran Iran di kawasan tersebut. Gagasan "penghapusan" Israel dari peta bumi masih menjadi inti narasi resmi Teheran, dan retorika tentang kehancuran Israel terus bergema di sebagian penduduk dan kepemimpinan di Iran, meskipun ada tekanan internasional. Sikap ideologis ini berarti bahwa setiap dorongan diplomatik, terutama dari AS atau Israel, untuk memaksa Iran tunduk kemungkinan akan menghadapi perlawanan yang signifikan, bahkan ketika kemampuan militer Iran meningkat.
Selain itu, dengan isu nuklir dan pengayaan uranium Iran, rezim tersebut semakin memposisikan dirinya dalam menentang upaya AS untuk mengekang ambisinya, baik melalui sanksi maupun tekanan militer. Seruan Trump agar Israel bertindak tegas terhadap Iran mencerminkan ketegangan yang sedang berlangsung antara keinginan Barat akan stabilitas dan upaya Iran untuk mendapatkan pengaruh dan dominasi regional.
Singkatnya, rezim Iran, di bawah kepemimpinan Ali Khamenei saat ini, tidak mungkin meninggalkan sikap konfrontatifnya terhadap Israel, terutama karena ia berupaya mengamankan posisinya sendiri di middle-east dan menentang pengaruh Barat. Retorika Trump, meskipun kuat, mungkin tidak secara signifikan mengubah lintasan Iran, mengingat perbedaan ideologis yang mengakar dalam dan dinamika regional yang lebih luas yang sedang terjadi.
So tunggu apa lagi wahai Israel. Segeralah tuntaskan tugasmu ....
Lihat :
https://www.nytimes.com/2024/11/10/nyregion/iran-assassination-plot-masih-alinejad.html
Joyogrand, Malang, Mon', Nov' 11, 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI