Menyibak Fufufafa Fufufafa Dari Mereka Yang Tak Kebagian Apapun
Tengah viral sebuah isu yang menyebut jika Anies Baswedan akan menggantikan Gibran jadi Wapres Prabowo Soebianto. Dalam narasi sebuah konten yang viral di YouTube, Anies disebut akan menggantikan Gibran sebagai Wapres pada pelantikan 20 Oktober 2024 yad. "Anies dampingi Prabowo? Gibran Batal Dilantik," demikian narasi dalam video tersebut.
Isu yang beredar menyebut jika Gibran terbukti sebagai pemilik akun Fufufafa yang banyak melontarkan kalimat hinaan kepada Prabowo. Tapi benarkah? Banyak media yang sudah melakukan penelusuran, kabar tersebut ternyata hoax alias tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sebelum Anies, Puan Maharani juga sempat jadi perbincangan karena diisukan menggantikan Gibran Rakabuming Raka menjadi wapres. Hal ini mencuat setelah dibicarakan oleh Jhon Sitorus di kanal Youtube MPTV berjudul "Gara-gara FUFUFAFA, Gibran Bisa Gagal Jadi Wakil Presiden" yang diunggah pada Sabtu 21 September lalu. Dalam video tersebut, Jhon Sitorus mengatakan nama Puan Maharani masuk daftar pengganti Gibran. "Banyak yang berpendapat Ibu Puan Maharani akan diusulkan menjadi wapres," kata Jhon. Namun hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Prabowo Soebianto dan Puan Maharani mengenai hal ini.
Isu tentang Anies Baswedan yang disebut-sebut menggantikan Gibran sebagai Wapres mendampingi Prabowo Soebianto adalah contoh menarik dari fenomena politik kontemporer di negeri ini. Ini dapat dianalisis melalui pendekatan antropologis dan sosiologis. Ada beberapa aspek yang dapat kita lihat terkait budaya politik dan proses sosial di balik isu ini.
Budaya politik Indonesia sering diwarnai oleh fenomena "politik rumor" dan penyebaran hoaks. Dalam konteks ini, munculnya isu seperti Anies Baswedan menggantikan Gibran merupakan bagian dari dinamika politik yang melibatkan strategi penyebaran desas-desus dan spekulasi untuk mempengaruhi persepsi publik. Hal ini dipicu oleh ketidakpastian politik yang ada atau kepentingan pihak tertentu yang ingin menggoyahkan stabilitas dukungan.
Antropolog Clifford Geertz menggambarkan budaya politik di Indonesia sebagai "clientelistic" dan dipenuhi oleh patronase serta jaringan loyalitas yang sangat cair. Kekuatan politik di Indonesia banyak bergantung pada figur-figur yang diidealkan dan dijadikan simbol, yang dalam hal ini adalah Prabowo, Gibran, dan Anies. Penyebaran isu seperti ini adalah salah satu cara untuk menilai respons publik terhadap kemungkinan perubahan aliansi politik atau penggantian figur politik.
Secara antropologis, masyarakat Indonesia menunjukkan pola kesetiaan yang tinggi terhadap tokoh pemimpin. Tokoh-tokoh seperti Gibran, yang merupakan putera Presiden Jokowi, dianggap memiliki "kapital sosial" yang kuat, sehingga rumor tentang dirinya bisa menimbulkan heboh besar. Dalam konteks ini, penyebaran isu tentang akun Fufufafa yang dikaitkan dengan Gibran sebagai pemiliknya, yang menghina Prabowo, adalah contoh bagaimana karakteristik loyalitas dan pengkhianatan menjadi bahan bakar dalam konflik politik di Indonesia.
Munculnya nama-nama besar seperti Anies Baswedan dan Puan Maharani sebagai pengganti potensial Gibran juga mencerminkan bahwa masyarakat banyak mengaitkan kepemimpinan politik dengan status sosial dan hubungan keluarga, bukan hanya kemampuan politik atau ideologi. Ini menjadi bagian dari budaya politik Indonesia, di mana "figur besar" selalu menarik perhatian lebih dibandingkan program atau visi.
Dari perspektif sosiologis, penyebaran isu ini juga mencerminkan peran media sosial sebagai alat utama dalam membentuk opini publik. Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia, dan platform seperti YouTube, Twitter, serta Facebook disini menjadi arena bagi munculnya teori konspirasi dan hoaks politik. Isu tentang Anies menggantikan Gibran sebagai wapres pertama kali muncul di platform seperti YouTube, yang menunjukkan bagaimana media sosial di Indonesia digunakan untuk menyebarkan informasi, baik yang benar maupun yang tidak benar, dalam waktu singkat dan dengan dampak yang luas.
Menurut teori interaksi simbolik dari sosiolog Erving Goffman, publik memainkan peran dalam memproses isu-isu politik berdasarkan interpretasi simbol-simbol yang mereka tangkap dari media. Dalam hal ini, simbol-simbol seperti "pengkhianatan" Gibran terhadap Prabowo atau potensi masuknya Anies sebagai alternatif menjadi narasi yang menarik perhatian dan menciptakan perbincangan publik yang luas cakupannya.
Secara politik, Indonesia juga dikenal dengan dinamika politik yang cair. Aliansi politik sering berubah sesuai dengan kalkulasi kepentingan elektoral. Isu bahwa Anies atau Puan akan menggantikan Gibran menunjukkan situasi politik Indonesia bisa sangat fleksibel, di mana aliansi dan koalisi bisa terbentuk atau berubah mendekati momen-momen penting, seperti pemilihan umum atau pelantikan.
Hal ini sejalan dengan pengertian "politik cawe-cawe" yang menggambarkan peran informal tetapi kuat dari tokoh-tokoh politik senior atau elite dalam menentukan arah koalisi dan keputusan politik di belakang layar. Cawe-cawe ini, terutama yang dispekulasikan terjadi antara Jokowi, Gibran, Prabowo, dan Anies, memperlihatkan bahwa politik di Indonesia lebih didorong oleh negosiasi elit dibandingkan oleh dinamika di tingkat akar rumput.
Fenomena seperti ini menegaskan politik di negeri ini sangat dipengaruhi oleh dinamika rumor, simbolisme figur politik, media sosial, dan cawe-cawe elit. Secara antropologis, ada ketergantungan pada figur pemimpin dan loyalitas yang seringkali dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memainkan narasi politik. Secara sosiologis, peran media sosial sebagai penggerak opini publik menjadi dominan, terutama di tengah situasi politik yang cair. Isu tentang Anies yang menggantikan Gibran adalah salah satu contoh dari kompleksitas proses politik di Indonesia, di mana rumor dan aliansi politik menjadi bagian penting dari keseluruhan narasi.
Juga hal ini perlu dikaitkan dengan stratifikasi sosial sekarang. Kalau secara nasional memang tidak terasa. Tapi kalau di tingkat Urban mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Malang, Medan, Palembang, Makassar dst, kita akan melihat lapisan elit disana. Mereka tentu punya ekspektasi terhadap transisi kekuasaan sekarang. Dengan persamaan matematis meski cukup banyak yang kebagian, tapi cukup banyak juga yang tidak kebagian. Contoh ketika Pilpres 2024 usai, kita mendengar narasi yang nadanya sakit hati karena tidak kebagian dalam Video The Dirty Vote. Lha ketiga orang yang mensponsori video itu adalah orang akademis UGM. Tapi akademisi juga manusia, dan dalam lingkup pekerjaannya selaku Akademisi ada jatah dan dalam konteks ini mereka tak kebagian jatah. Contoh lama adalah Refly Harun. Tadinya Refly bekerja di MK tapi ntah karena apa, Refly keluar dari MK dan menjadi podcaster super liberal dimana tiada hari tanpa menghantam Jokowi. Lain halnya Rocky Gerung yang sering ditampilkan dalam talkshow karena kemahirannya dalam berpokrol bambu dengan mengaku-aku sebagai akhli filsafat. Rocky juga banyak menyerang Jokowi. Ini tak ada kaitannya dengan nasib buruk Rocky di Ui yang tak lagi bisa mengajar karena ada peraturan baru bahwa harus minimal S2 baru bisa mengajar di UI. Sementara Rocky tetap teronggok dalam gelar S1. Seharusnya Rocky menghantam UI, ee yang dihantam malah Jokowi selaku penguasa utama di negeri ini. Jangan Tolol atau dalam bahasamu Dungu Rocky. Bukan salah bunda mengandung engkau menjadi bujang lapuk dan miskin kerontang begini.
Kembali ke Kopi Arabika. Fenomena tentang ekspektasi dan kekecewaan kelompok elit, terutama di tingkat urban, dalam proses transisi kekuasaan di Indonesia merupakan cerminan dari dinamika stratifikasi sosial yang sangat terkait dengan akses terhadap kekuasaan dan distribusi jatah politik. Secara sosiologis dan politik, kita bisa melihatnya dari beberapa sudut pandang yang relevan untuk memahami bagaimana struktur kekuasaan dan distribusi sumberdaya politik bekerja, khususnya dalam konteks elit perkotaan di Indonesia.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya, ada lapisan elit perkotaan yang terdiri dari berbagai kelompok: akademisi, profesional, pengusaha, dan politisi lokal. Stratifikasi sosial di tingkat ini memperlihatkan adanya kelompok yang sangat berpengaruh dan memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan, sementara kelompok lain berada di luar orbit kekuasaan tersebut dan merasa dikecualikan. Ekspektasi politik elit urban biasanya sangat tinggi, terutama pada momen-momen transisi kekuasaan seperti pasca-Pilpres, ketika terjadi pembagian jatah politik dalam bentuk jabatan, proyek, atau akses ke sumberdaya.
Dalam konteks Pilpres 2024 dan pasca-pemilu, ada pergeseran kekuatan politik yang memunculkan ketidakpuasan, terutama di kalangan yang merasa tidak mendapat "jatah" atau akses langsung ke kekuasaan. Elit-elit lokal yang terlibat dalam kampanye atau memiliki kedekatan dengan kandidat tertentu mungkin berharap akan diberi peran penting dalam pemerintahan atau politik pasca-transisi. Ketika harapan itu tidak terpenuhi, kekecewaan pun muncul, dan ini terlihat dalam berbagai narasi publik, termasuk video seperti "The Dirty Vote" yang menunjukkan kekecewaan dari beberapa akademisi yang merasa diabaikan dalam distribusi jatah politik.
Contoh Refly Harun dan Rocky Gerung adalah ilustrasi yang baik tentang bagaimana kelompok elit, termasuk akademisi dan cendekiawan, dapat merasa terpinggirkan dari distribusi kekuasaan dan akhirnya mengalihkan kritik mereka ke pemerintah. Ketika seorang elit yang awalnya berada dalam struktur kekuasaan merasa kehilangan posisi atau akses, mereka cenderung beralih menjadi oposisi vokal. Refly Harun, yang sebelumnya bekerja di Mahkamah Konstitusi (MK), dan Rocky Gerung, yang dikenal sebagai komentator politik, adalah contoh figur publik yang mengkritik pemerintahan Jokowi setelah merasa terpinggirkan dari ruang pengaruh.
Secara sosiologis, ini adalah fenomena umum dalam politik di Indonesia, di mana elit yang tidak mendapat akses ke sumberdaya atau jatah politik cenderung beralih menjadi kritikus yang keras terhadap rezim yang berkuasa. Kritik vokalis seperti ini tidak selalu didasarkan pada analisis ideologis atau intelektual yang murni, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor ketidakpuasan personal atau kekecewaan atas hilangnya akses ke kekuasaan.
Secara lebih luas, kita bisa melihat fenomena ini sebagai bagian dari pergeseran peran akademisi dan intelektual di Indonesia. Banyak akademisi yang beralih menjadi public intellectual, figur yang dikenal luas di ruang publik melalui media sosial atau platform lainnya. Dalam kasus Refly Harun dan Rocky Gerung, keduanya telah mengembangkan platform komunikasi massal melalui YouTube, podcast, dan media lainnya, yang memungkinkan mereka tetap relevan meskipun tidak lagi memiliki posisi formal di institusi akademik atau politik.
Refly Harun sebagai contoh, pernah memiliki posisi penting di MK, tetapi setelah keluar dari institusi tersebut, dia menjadi figur yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Hal ini dipastikan berkaitan dengan rasa kehilangan akses kekuasaan yang dia miliki ketika masih di MK.
Rocky Gerung, dengan keterampilan debat dan kemampuannya memanfaatkan retorika kritis, juga telah mengubah dirinya dari akademisi menjadi influencer politik. Dalam hal ini, kritiknya terhadap Jokowi bukan hanya sekadar kritik intelektual, tetapi juga bagian dari dinamika sosiologis elit yang merasa tersisih dari institusi (seperti UI, di mana dia tidak lagi mengajar).
Secara umum, stratifikasi sosial di tingkat elit urban menunjukkan adanya ketegangan antara kelompok yang mendapat akses langsung ke sumberdaya politik dan mereka yang tidak. Dalam hal ini, struktur politik Indonesia - yang sering diwarnai oleh praktik patronase dan clientelism - memiliki batasan dalam hal distribusi kekuasaan. Tidak semua elit bisa mendapat posisi dalam pemerintahan atau akses ke kekuasaan, dan ini menciptakan rasa frustrasi di kalangan yang merasa dikecualikan.
Dalam konteks ini, kritik yang muncul dari figur-figur seperti Refly Harun atau Rocky Gerung bisa dilihat sebagai bagian dari respon terhadap distribusi kekuasaan yang tidak merata. Mereka yang merasa kehilangan pengaruh atau tidak mendapat "jatah" cenderung beralih menjadi pengkritik yang lantang, menggunakan platform publik untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Transisi kekuasaan, terutama setelah Pilpres, menjadi momen krusial bagi elit politik dan akademisi yang berharap terlibat dalam pemerintahan. Mereka memiliki ekspektasi bahwa peran mereka dalam kampanye atau kontribusi intelektual mereka akan dihargai, biasanya dalam bentuk jabatan atau pengaruh dalam kebijakan. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, rasa sakit hati dan kekecewaan menjadi bagian dari narasi politik, dan ini bisa kita lihat dalam banyak diskursus publik pasca-pemilu 2024.
Fenomena elit urban yang kecewa akibat tidak mendapat akses atau jatah dalam distribusi kekuasaan pasca-Pilpres 2024, seperti yang terlihat dalam kritik Refly Harun dan Rocky Gerung, mencerminkan stratifikasi sosial di tingkat elit perkotaan Indonesia. Kekecewaan ini memperlihatkan dinamika antara ekspektasi elit terhadap kekuasaan dan realitas politik yang tidak dapat mengakomodasi semua kepentingan elit. Secara sosiologis, ini menciptakan narasi kritik terhadap pemerintah yang sering kali tidak murni ideologis, melainkan dipengaruhi oleh faktor ketidakpuasan personal dan hilangnya akses ke kekuasaan.
At the end, sudahlah kawan, sebab nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin lagi kita ubah itu, kecuali ada Chef special yang bisa membuat bubur tawar itu menjadi bubur goreng. Ayoo Fufufafa Fufufafa .. rangkullah Jemblem di depanmu ketimbang bermimpi terus minum Jack Daniel yang harganya per botol now 875 ribu rupiah, lalu Sop Sarang Burung Walet asli Hongkong meski diambil dari sarang burung walet Karang Bolong Pelabuhan Ratu Sukabumi, harga seporsinya 3 juta rupiah bo, apalagi mau sok-sok pesan telur Kaviar dari Laut Kaspia sana, harganya tak ubahnya harga sebuah drone Heron buatan Israel. Alamak ..
Joyogrand, Malang, Fri', Oct' 04, 2024.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI