Menurut teori interaksi simbolik dari sosiolog Erving Goffman, publik memainkan peran dalam memproses isu-isu politik berdasarkan interpretasi simbol-simbol yang mereka tangkap dari media. Dalam hal ini, simbol-simbol seperti "pengkhianatan" Gibran terhadap Prabowo atau potensi masuknya Anies sebagai alternatif menjadi narasi yang menarik perhatian dan menciptakan perbincangan publik yang luas cakupannya.
Secara politik, Indonesia juga dikenal dengan dinamika politik yang cair. Aliansi politik sering berubah sesuai dengan kalkulasi kepentingan elektoral. Isu bahwa Anies atau Puan akan menggantikan Gibran menunjukkan situasi politik Indonesia bisa sangat fleksibel, di mana aliansi dan koalisi bisa terbentuk atau berubah mendekati momen-momen penting, seperti pemilihan umum atau pelantikan.
Hal ini sejalan dengan pengertian "politik cawe-cawe" yang menggambarkan peran informal tetapi kuat dari tokoh-tokoh politik senior atau elite dalam menentukan arah koalisi dan keputusan politik di belakang layar. Cawe-cawe ini, terutama yang dispekulasikan terjadi antara Jokowi, Gibran, Prabowo, dan Anies, memperlihatkan bahwa politik di Indonesia lebih didorong oleh negosiasi elit dibandingkan oleh dinamika di tingkat akar rumput.
Fenomena seperti ini menegaskan politik di negeri ini sangat dipengaruhi oleh dinamika rumor, simbolisme figur politik, media sosial, dan cawe-cawe elit. Secara antropologis, ada ketergantungan pada figur pemimpin dan loyalitas yang seringkali dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memainkan narasi politik. Secara sosiologis, peran media sosial sebagai penggerak opini publik menjadi dominan, terutama di tengah situasi politik yang cair. Isu tentang Anies yang menggantikan Gibran adalah salah satu contoh dari kompleksitas proses politik di Indonesia, di mana rumor dan aliansi politik menjadi bagian penting dari keseluruhan narasi.
Juga hal ini perlu dikaitkan dengan stratifikasi sosial sekarang. Kalau secara nasional memang tidak terasa. Tapi kalau di tingkat Urban mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Malang, Medan, Palembang, Makassar dst, kita akan melihat lapisan elit disana. Mereka tentu punya ekspektasi terhadap transisi kekuasaan sekarang. Dengan persamaan matematis meski cukup banyak yang kebagian, tapi cukup banyak juga yang tidak kebagian. Contoh ketika Pilpres 2024 usai, kita mendengar narasi yang nadanya sakit hati karena tidak kebagian dalam Video The Dirty Vote. Lha ketiga orang yang mensponsori video itu adalah orang akademis UGM. Tapi akademisi juga manusia, dan dalam lingkup pekerjaannya selaku Akademisi ada jatah dan dalam konteks ini mereka tak kebagian jatah. Contoh lama adalah Refly Harun. Tadinya Refly bekerja di MK tapi ntah karena apa, Refly keluar dari MK dan menjadi podcaster super liberal dimana tiada hari tanpa menghantam Jokowi. Lain halnya Rocky Gerung yang sering ditampilkan dalam talkshow karena kemahirannya dalam berpokrol bambu dengan mengaku-aku sebagai akhli filsafat. Rocky juga banyak menyerang Jokowi. Ini tak ada kaitannya dengan nasib buruk Rocky di Ui yang tak lagi bisa mengajar karena ada peraturan baru bahwa harus minimal S2 baru bisa mengajar di UI. Sementara Rocky tetap teronggok dalam gelar S1. Seharusnya Rocky menghantam UI, ee yang dihantam malah Jokowi selaku penguasa utama di negeri ini. Jangan Tolol atau dalam bahasamu Dungu Rocky. Bukan salah bunda mengandung engkau menjadi bujang lapuk dan miskin kerontang begini.
Kembali ke Kopi Arabika. Fenomena tentang ekspektasi dan kekecewaan kelompok elit, terutama di tingkat urban, dalam proses transisi kekuasaan di Indonesia merupakan cerminan dari dinamika stratifikasi sosial yang sangat terkait dengan akses terhadap kekuasaan dan distribusi jatah politik. Secara sosiologis dan politik, kita bisa melihatnya dari beberapa sudut pandang yang relevan untuk memahami bagaimana struktur kekuasaan dan distribusi sumberdaya politik bekerja, khususnya dalam konteks elit perkotaan di Indonesia.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan lainnya, ada lapisan elit perkotaan yang terdiri dari berbagai kelompok: akademisi, profesional, pengusaha, dan politisi lokal. Stratifikasi sosial di tingkat ini memperlihatkan adanya kelompok yang sangat berpengaruh dan memiliki akses langsung ke pusat kekuasaan, sementara kelompok lain berada di luar orbit kekuasaan tersebut dan merasa dikecualikan. Ekspektasi politik elit urban biasanya sangat tinggi, terutama pada momen-momen transisi kekuasaan seperti pasca-Pilpres, ketika terjadi pembagian jatah politik dalam bentuk jabatan, proyek, atau akses ke sumberdaya.
Dalam konteks Pilpres 2024 dan pasca-pemilu, ada pergeseran kekuatan politik yang memunculkan ketidakpuasan, terutama di kalangan yang merasa tidak mendapat "jatah" atau akses langsung ke kekuasaan. Elit-elit lokal yang terlibat dalam kampanye atau memiliki kedekatan dengan kandidat tertentu mungkin berharap akan diberi peran penting dalam pemerintahan atau politik pasca-transisi. Ketika harapan itu tidak terpenuhi, kekecewaan pun muncul, dan ini terlihat dalam berbagai narasi publik, termasuk video seperti "The Dirty Vote" yang menunjukkan kekecewaan dari beberapa akademisi yang merasa diabaikan dalam distribusi jatah politik.
Contoh Refly Harun dan Rocky Gerung adalah ilustrasi yang baik tentang bagaimana kelompok elit, termasuk akademisi dan cendekiawan, dapat merasa terpinggirkan dari distribusi kekuasaan dan akhirnya mengalihkan kritik mereka ke pemerintah. Ketika seorang elit yang awalnya berada dalam struktur kekuasaan merasa kehilangan posisi atau akses, mereka cenderung beralih menjadi oposisi vokal. Refly Harun, yang sebelumnya bekerja di Mahkamah Konstitusi (MK), dan Rocky Gerung, yang dikenal sebagai komentator politik, adalah contoh figur publik yang mengkritik pemerintahan Jokowi setelah merasa terpinggirkan dari ruang pengaruh.
Secara sosiologis, ini adalah fenomena umum dalam politik di Indonesia, di mana elit yang tidak mendapat akses ke sumberdaya atau jatah politik cenderung beralih menjadi kritikus yang keras terhadap rezim yang berkuasa. Kritik vokalis seperti ini tidak selalu didasarkan pada analisis ideologis atau intelektual yang murni, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor ketidakpuasan personal atau kekecewaan atas hilangnya akses ke kekuasaan.
Secara lebih luas, kita bisa melihat fenomena ini sebagai bagian dari pergeseran peran akademisi dan intelektual di Indonesia. Banyak akademisi yang beralih menjadi public intellectual, figur yang dikenal luas di ruang publik melalui media sosial atau platform lainnya. Dalam kasus Refly Harun dan Rocky Gerung, keduanya telah mengembangkan platform komunikasi massal melalui YouTube, podcast, dan media lainnya, yang memungkinkan mereka tetap relevan meskipun tidak lagi memiliki posisi formal di institusi akademik atau politik.