Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antonio Guterres dan Peringatan 25 Tahun Jajak Pendapat Timor Timur

31 Agustus 2024   18:38 Diperbarui: 2 September 2024   10:39 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ribuan warga Kota Dili antre dalam pelaksanaan jajak pendapat di Timor Timur, Senin (30/8/1999). | KOMPAS/EDDY HASBY

Guterres mengunjungi Timor Leste dalam peringatan 25 tahun jajak pendapat, yang diselenggarakan 30 Agustus 1999 dan berujung Timor Timur berpisah dari Indonesia.

"Kemerdekaan Timor Leste adalah hadiah bagi dunia karena menunjukkan konflik dapat diselesaikan melalui negosiasi," kata Sekjen PBB Antonio Guterres pada hari Jumat 30 Agustus ybl di Dili.

Tonggak sejarah tersebut ditandai dengan mengheningkan cipta selama satu menit untuk mengenang mereka yang meninggal selama pergerakan kemerdekaan Timor Leste. 

Selain itu, juga digelar pawai melalui pesisir kota Dili, serta pidato oleh PM Xanana Gusmao dan Presiden Jose Ramos-Horta, dua tokoh utama Timor Leste sekarang.

Jika Timor-Leste menerima banyak hal dari PBB, sebenarnya negara ini juga memberikan banyak hal kepada PBB dan dunia. "Pembicaraan yang dimediasi oleh PBB menunjukkan kepada dunia sebuah konflik dapat diselesaikan di meja perundingan," kata Guterres.

Timor Timur, yang sekarang menjadi Timor Leste, secara resmi memperoleh kemerdekaan pada tahun 2002 setelah jajak pendapat lewat pemungutan suara yang diawasi oleh PBB pada tahun 1999. Lebih dari 78% penduduk Timor Timur memilih opsi kemerdekaan pada referendum itu. Dan hasil ini masih dipertanyakan hingga sekarang oleh warga Indonesia eks ProVinsi Timor Timur

Indonesia memasuki Timor Timur pada tahun 1975, menguasai Timtim selama lebih dari dua dekade. Sebelum Indonesia, negara tersebut diperintah oleh kekuasaan kolonial Portugal.

Seperempat abad setelah memperoleh kemerdekaan, negara berpenduduk 1,3 juta jiwa ini masih menghadapi berbagai masalah signifikan. Timor Leste berupaya mendiversifikasi ekonomi yang bergantung pada minyak dan gas, serta membina generasi pemimpin baru.

Capek

Capek memang membaca pernyataan kosong Sekjen PBB seperti itu. Benar, peringatan 25 tahun referendum kemerdekaan Timor Leste merupakan momen refleksi yang mendalam, tidak hanya bagi rakyat Timor Leste tetapi juga bagi komunitas internasional. 

Timor Leste telah menunjukkan kepada dunia, perjuangan untuk kemerdekaan dan kedaulatan dapat dicapai melalui upaya diplomasi, dan budi baik seseorang (Lih BJ Habibie). Ini merupakan tonggak sejarah yang memberikan harapan, konflik dapat diselesaikan secara damai dengan intervensi komunitas internasional yang tepat.

Lihatlah, Timor Leste masih menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan perekonomian yang berkelanjutan dan membangun generasi pemimpin yang baru. Di era pasca kemerdekaan ini, Timor Leste masih terus mengejar stabilitas politik, diversifikasi ekonomi, dan pendidikan untuk memajukan negaranya.

Indonesia Bukan Kolonialis

Sayangnya Guterres berlebihan dalam konteks jajak pendapat ini dengan tidak menyinggung Indonesia. Banyak yang diseolahkan. Bagaimanapun Sekjen PBB ini dulu adalah PM Portugal di masa jajak pendapat Timor Timur berlangsung. Pemerintah Portugal di bawah Guterres banyak berkelit terkait isu Timor Timur, khususnya ketika terjadi perdebatan di PBB antara Indonesia Vs Portugal.

Indonesia jelas tak pernah sudi dicap sebagai kolonialis, karena Indonesia datang ke Timtim justru karena undangan kelompok pro Integrasi dengan Indonesia, dengan partai besar di situ adalah APODETi, bahkan UDT di bawah keluarga Carrascalao pernah menikmati kekuasaan selama 1 dekade semasa Indonesia.

Guterres seharusnya berani mengungkap jajak pendapat yang dilakukan ketika itu adalah tidak wajar, karena pihak Indonesia dihalangi bicara kepada rakyat. Tak heran yang terjadi kemudian adalah money politic yang dilancarkan PBB di bawah Kofi Annan dengan dukungan keuangan dari AS dan Australia.

Sekjen PBB Guterres seharusnya memberikan pandangan yang lebih seimbang tentang peristiwa yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Adalah fakta pada masa jajak pendapat 1999, Portugal, sebagai bekas penguasa kolonial Timor Timur, memainkan peran signifikan dalam perdebatan internasional mengenai status wilayah tersebut. 

Guterres, yang saat itu adalah PM Portugal, tentu saja memiliki perspektif nasional yang cenderung mendukung kemerdekaan Timor Timur dan tidak mengakui sepenuhnya kompleksitas dinamika lokal dan regional, terutama dari sudut pandang Indonesia.

Indonesia masuk ke Timor Timur pada tahun 1975 bukan dalam kapasitas sebagai "kolonialis" tetapi sebagai respons terhadap permintaan kelompok Pro-Integrasi, termasuk partai APODETI, yang mendukung integrasi dengan Indonesia. 

Selama hampir 24 tahun, pemerintah Indonesia berupaya untuk mengembangkan infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi di Timor Timur. Ini malah luput dari perhatiannya. Pemerintah Porto ketika itu malah membonceng HAM versi dunia barat dengan memplesetkan Indonesia melanggar HAM di Timor Timur.

Bermasalah

Asallah tau, proses referendum 1999 itu sesungguhnya bermasalah. Banyak pihak yang setuju jajak pendapat itu dilakukan dalam situasi yang sangat menegangkan, di mana informasi dan komunikasi dari pihak Indonesia dan kelompok Pro-Integrasi sangat terbatas. 

Tudingan adanya "money politic" dari PBB dan pengaruh negara-negara seperti AS dan Australia juga merupakan isu kontroversial yang selama ini dinafikan, mengingat keterlibatan kuat kedua negara tersebut dalam mendukung kemerdekaan Timor Timur. Hal ini semakin mempersulit kondisi saat itu, karena tidak semua aspirasi masyarakat Timor Timur tersampaikan dengan bebas dan adil.

Guterres, dalam kapasitasnya sebagai Sekjen PBB saat ini, seharusnya lebih bijak dalam menyeimbangkan narasinya dengan mengakui kompleksitas sejarah dan peran berbagai pihak, termasuk Indonesia, dalam proses menuju kemerdekaan Timor Leste. Ia seharusnya memberikan apresiasi yang lebih holistik terhadap perjalanan panjang dan sulit yang ditempuh, tidak hanya oleh Timor Leste, tetapi juga oleh negara-negara lain yang terlibat, termasuk Indonesia.

Keadilan dalam narasi sejarah adalah penting untuk mencegah pemahaman yang berat sebelah dan untuk mempromosikan rekonsiliasi yang lebih nyata dan berkelanjutan di masa mendatang.

Guterres terbukti rancu soal konflik Israel Vs Arab Palestina. Sampai menit ini PBB di bawah Guterres belum pernah mengutuk genosida yang dilakukan oleh teroris Hamas di Kfar Azza, Israel selatan. Ia malah membiarkan ICC seenak udelnya akan menyeret Netanyahu, bahkan Putin ke Mahkamah Internasional. 

Betapa mudahnya Guterres diperalat oleh kepentingan yang tak seimbang di middle-east. Maka Israel kini tak terlalu ambil perduli dengan PBB di bawah Guterres. So, bagaimana mungkin kacamatanya dalam melihat masalah Timor Timur bisa seimbang kalau Ia masih menjaga image Portugal di masa lalu di Indonesia.

Yang pasti, PBB di bawah kepemimpinannya belum secara tegas mengutuk aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok seperti Hamas, seperti kasus di Kfar Azza, malah tampak lebih cepat mengeluarkan pernyataan atau tindakan terhadap Israel, misalnya melalui ancaman untuk membawa Netanyahu ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Meski ia berada dalam posisi yang sangat sulit sebagai Sekjen PBB, karena ia harus menyeimbangkan berbagai tekanan politik dan kepentingan dari negara-negara anggota yang memiliki pandangan dan agenda berbeda di Timur Tengah. 

Namun, kritik yang disinggung di muka bahwa dia cenderung dipengaruhi oleh bias tertentu atau kurang seimbang dalam menangani isu-isu tersebut. Ini bisa membuat beberapa pihak, seperti Israel merasa di bawah kepemimpinannya mereka tidak mendapat perlakuan yang adil dari PBB.

Adapun konteks masa lalunya sebagai PM Portugal saat jajak pendapat Timor Timur pada tahun 1999, bisa memberikan warna tertentu dalam cara Guterres melihat konflik, termasuk bagaimana dia memandang peran Indonesia di masa lalu. 

Sebagai pemimpin dari negara bekas penjajah Timor Timur, ia memiliki perspektif yang berbeda dalam menilai situasi dan langkah-langkah yang diambil oleh Indonesia saat itu.

Tantangan besar bagi seorang pemimpin internasional seperti Guterres adalah menjaga objektivitas dan keadilan dalam menavigasi berbagai konflik internasional yang kompleks. 

Ketidakpuasan dari berbagai pihak menunjukkan betapa pentingnya bagi PBB dan pemimpinnya untuk memastikan pendekatan mereka transparan, tidak memihak, dan benar-benar mencerminkan tujuan perdamaian dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Reformasi PBB

Sudah saatnya PBB direformasi. PBB harus bisa membebaskan diri dari bias, ntah itu karena sentimen  keagamaaan, jaga image berlebihan seakan PBB sjudah berbuat banyak dalam mengatasi sebuah konflik yang tak pernah bisa lepas dari kepentingan negara besar dan berpengaruh.

Reformasi PBB telah menjadi wacana yang sering dibicarakan, terutama mengingat berbagai kritik tentang ketidakmampuannya untuk menangani konflik secara adil dan efektif. 

PBB, sebagai organisasi internasional yang seharusnya berfungsi sebagai penengah yang netral dan pelindung perdamaian global, sering kali dianggap tidak berhasil membebaskan diri dari pengaruh negara-negara besar dan bias yang mendasari kepentingan politik, ekonomi, atau agama.

Reformasi DK PBB. Dewan Keamanan, dengan lima anggota tetap yang memiliki hak veto (AS, Rusia, China, Inggeris, dan Perancis), sering dianggap sebagai sumber ketidakadilan dalam pengambilan keputusan PBB. 

Reformasi yang memungkinkan perwakilan lebih luas dari negara-negara berkembang atau penghapusan hak veto mungkin dapat mengurangi dominasi segelintir negara dalam keputusan penting yang berdampak global.

Transparansi dan akuntabilitas. PBB perlu meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusannya, terutama dalam kasus-kasus sensitif yang melibatkan konflik antarnegara atau pelanggaran HAM. Langkah ini akan membantu memastikan tindakan PBB tidak didikte oleh kepentingan negara-negara besar atau kelompok tertentu.

Independensi lembaga dan operasi. PBB harus memperkuat independensinya dalam menegakkan hukum internasional, termasuk melalui Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). 

Saat ini, lembaga-lembaga ini sering dilihat sebagai alat politik yang digunakan oleh negara-negara kuat untuk menekan lawan-lawan mereka, ketimbang sebagai lembaga yang benar-benar adil dan tidak memihak.

Perbaikan mekanisme kemanusiaan dan penanganan krisis. Peran PBB dalam menangani krisis kemanusiaan banyak dikritik karena kurang efektif atau tidak tepat sasaran. 

PBB perlu memperbarui mekanisme penanganan krisisnya untuk memastikan bantuan sampai kepada mereka yang membutuhkan tanpa intervensi politik atau bias.

Mengatasi sentimen agama dan identitas. Untuk menjadi benar-benar netral, PBB harus lebih proaktif dalam mengatasi bias yang mungkin muncul akibat sentimen keagamaan, identitas, atau sejarah. Membangun mekanisme evaluasi yang lebih baik dan lebih inklusif yang melibatkan berbagai kelompok dan negara dapat membantu mencapai ini.

Memastikan representasi yang lebih adil dan demokratis. Menciptakan sistem di mana negara-negara memiliki suara yang lebih seimbang dan representatif, termasuk dalam badan-badan seperti Majelis Umum, akan membantu mengurangi persepsi bias.

PBB harus mereformasi dirinya untuk membebaskan diri dari citra sebagai "perpanjangan tangan" negara-negara besar. Dengan menjamin keputusan yang diambil benar-benar berdasarkan hukum internasional yang adil dan bukan kepentingan politik sempit, PBB dapat memperkuat legitimasi dan efektivitasnya di mata dunia.

Dunia membutuhkan sebuah badan internasional yang benar-benar berfungsi sebagai penengah yang netral, penjaga perdamaian, dan Advokat HAM, tanpa bias dan tanpa pengecualian.

Joyogrand, Malang, Sat', August 31, 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun