Timor Leste telah menunjukkan kepada dunia, perjuangan untuk kemerdekaan dan kedaulatan dapat dicapai melalui upaya diplomasi, dan budi baik seseorang (Lih BJ Habibie). Ini merupakan tonggak sejarah yang memberikan harapan, konflik dapat diselesaikan secara damai dengan intervensi komunitas internasional yang tepat.
Lihatlah, Timor Leste masih menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan perekonomian yang berkelanjutan dan membangun generasi pemimpin yang baru. Di era pasca kemerdekaan ini, Timor Leste masih terus mengejar stabilitas politik, diversifikasi ekonomi, dan pendidikan untuk memajukan negaranya.
Sayangnya Guterres berlebihan dalam konteks jajak pendapat ini dengan tidak menyinggung Indonesia. Banyak yang diseolahkan. Bagaimanapun Sekjen PBB ini dulu adalah PM Portugal di masa jajak pendapat Timor Timur berlangsung. Pemerintah Portugal di bawah Guterres banyak berkelit terkait isu Timor Timur, khususnya ketika terjadi perdebatan di PBB antara Indonesia Vs Portugal.
Indonesia jelas tak pernah sudi dicap sebagai kolonialis, karena Indonesia datang ke Timtim justru karena undangan kelompok pro Integrasi dengan Indonesia, dengan partai besar di situ adalah APODETi, bahkan UDT di bawah keluarga Carrascalao pernah menikmati kekuasaan selama 1 dekade semasa Indonesia.
Guterres seharusnya berani mengungkap jajak pendapat yang dilakukan ketika itu adalah tidak wajar, karena pihak Indonesia dihalangi bicara kepada rakyat. Tak heran yang terjadi kemudian adalah money politic yang dilancarkan PBB di bawah Kofi Annan dengan dukungan keuangan dari AS dan Australia.
Sekjen PBB Guterres seharusnya memberikan pandangan yang lebih seimbang tentang peristiwa yang melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Adalah fakta pada masa jajak pendapat 1999, Portugal, sebagai bekas penguasa kolonial Timor Timur, memainkan peran signifikan dalam perdebatan internasional mengenai status wilayah tersebut.Â
Guterres, yang saat itu adalah PM Portugal, tentu saja memiliki perspektif nasional yang cenderung mendukung kemerdekaan Timor Timur dan tidak mengakui sepenuhnya kompleksitas dinamika lokal dan regional, terutama dari sudut pandang Indonesia.
Indonesia masuk ke Timor Timur pada tahun 1975 bukan dalam kapasitas sebagai "kolonialis" tetapi sebagai respons terhadap permintaan kelompok Pro-Integrasi, termasuk partai APODETI, yang mendukung integrasi dengan Indonesia.Â
Selama hampir 24 tahun, pemerintah Indonesia berupaya untuk mengembangkan infrastruktur, pendidikan, dan ekonomi di Timor Timur. Ini malah luput dari perhatiannya. Pemerintah Porto ketika itu malah membonceng HAM versi dunia barat dengan memplesetkan Indonesia melanggar HAM di Timor Timur.
Bermasalah