Spekulasi ini diperkuat oleh beberapa pengamat yang melihat Jokowi, sebagai presiden yang memiliki pengaruh politik besar, yang boleh jadi ingin memastikan adanya kontrol atau setidaknya pengaruh di partai besar seperti Golkar untuk menjaga stabilitas politik dan keberlanjutan agenda pasca-presidennya. Selain itu, Jokowi dikabarkan ingin mengamankan posisi di Dewan Pertimbangan Partai Golkar, yang secara tradisional memiliki pengaruh kuat dalam pengambilan keputusan partai.
Namun, tokoh-tokoh dari Golkar sendiri, seperti Wakil Ketua Umum Ahmad Doli Kurnia, menegaskan keputusan Airlangga untuk mundur adalah murni karena pertimbangan internal partai dan tidak ada tekanan eksternal yang memaksa hal tersebut terjadi. Mereka menekankan keputusan ini diambil untuk memastikan stabilitas dan kelangsungan kepemimpinan partai di tengah situasi politik yang dinamis.
Spekulasi ini mencerminkan betapa kompleks dan sensitifnya hubungan antara kekuatan politik dan partai besar di Indonesia, terutama jelang transisi pemerintahan dan pemilihan umum yang akan datang.
Kita jadi bertanya-tanya apakah pemilihan diksi dalam perpolitikan Indonesia sekarang memang seperti itu, atau karena kemarahan PDIP yang belum juga reda hingga sekarang yang membuat diksi politiknya seperti itu.
Sulit dipungkiri pemilihan diksi dalam perpolitikan Indonesia saat ini seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk dinamika internal partai, hubungan antar-partai, dan respons terhadap isu-isu politik terkini. Dalam konteks Golkar dan spekulasi terkait Presiden Jokowi, pemilihan diksi seperti "tekanan eksternal" atau "keinginan berkuasa" mencerminkan sensitivitas politik dan keinginan untuk menginterpretasikan peristiwa dari berbagai sudut pandang, baik oleh pengamat politik maupun media.
Kemungkinan adanya kemarahan atau ketegangan yang belum reda, seperti antara PDI-P dan Golkar, bisa mempengaruhi bagaimana suatu isu disampaikan dan dipersepsikan. PDI-P, sebagai partai yang memiliki kedekatan dengan Jokowi di masa lalu, mungkin merasa memiliki kepentingan yang harus dijaga dalam dinamika politik Golkar, terutama ketika menghadapi suksesi kepemimpinan dan pengaruh dalam koalisi.
Diksi politik yang keras dan penuh spekulasi juga bisa mencerminkan ketidakpastian dan ketegangan yang sedang berlangsung di dalam politik Indonesia, di mana berbagai pihak berusaha menegosiasikan posisi mereka jelang Pilkada dan pemilu mendatang. Dalam situasi seperti ini, penggunaan kata-kata yang kuat dan spekulatif banyak digunakan untuk menarik perhatian, membentuk opini publik, atau mempengaruhi arah perdebatan politik.
Meskipun demikian, tanpa adanya bukti konkret yang mendukung spekulasi tentang keterlibatan Jokowi dalam pengunduran diri Airlangga, hal ini lebih banyak merupakan interpretasi dari dinamika yang kompleks dan seringkali ambigu di dalam politik Indonesia.
Bagaimanapun Indonesia belum menemukan semacam format baru dalam berpolitik kecuali koalisi tiket untuk calon pemimpin. Sehingga ada kesan kuat yang kehilangan tiket menjadi uring-uringan. Ideologi partai terkesan hanya sekedar hiasan dan bukannya perekat kuat untuk ketahanan partai.
Realitas yang dihadapi banyak partai politik sekarang adalah ketergantungan pada koalisi dan "tiket" politik lebih menonjol ketimbang penguatan ideologi partai.
Dalam sistem politik Indonesia, koalisi partai dibentuk semata-mata untuk memenangkan pemilu atau mendukung calon tertentu, tanpa memperhatikan keselarasan ideologis yang kuat. Koalisi ini bersifat pragmatis dan acap kali berumur pendek, bergantung pada kepentingan sesaat daripada komitmen ideologis jangka panjang. Ketika sebuah partai gagal mendapatkan "tiket" untuk mengusung calon, hal ini bisa memicu ketidakpuasan atau perpecahan internal.