Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kotak Kosong Bakal Lawan RK

10 Agustus 2024   18:19 Diperbarui: 10 Agustus 2024   18:31 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kotak Kosong Bakal Lawan RK

Perkembangan terbaru terkait dukungan terhadap Anies Baswedan sebagai calon gubernur (Cagub) DKI Jakarta pada Pilkada 2024 menunjukkan dinamika yang cukup kompleks. Partai Nasdem secara resmi telah mendukung Anies untuk maju sebagai Cagub DKI Jakarta. Dukungan ini diberikan tanpa syarat, namun Nasdem menegaskan calon wakil gubernur yang akan mendampingi Anies tidak boleh berasal dari partai tersebut. Anies diberi kebebasan penuh untuk memilih pasangan politiknya dan harus menentukan pasangannya sebelum 22 Agustus 2024.

Di sisi lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tampaknya mulai mempertimbangkan untuk meninggalkan Anies. PKS sebelumnya mendukung Anies dan memasangkan dia dengan Sohibul Iman sebagai calon wakil gubernur. Tetapi, karena adanya keterlambatan dalam pembentukan koalisi dan strategi politik lainnya, PKS sekarang membuka opsi untuk mendukung calon lain, seperti Ridwan Kamil, yang kemungkinan besar akan diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM).

PDIP sendiri belum menunjukkan tanda-tanda akan mendukung Anies. Spekulasi PDIP bisa saja mendukung Anies masih sebatas rumor, dan hingga saat ini, partai tersebut belum memberikan indikasi resmi mengenai sikap mereka terhadap Anies di Pilkada DKI Jakarta 2024.

Situasi ini menunjukkan dukungan politik terhadap Anies masih belum sepenuhnya stabil, dan koalisi serta strategi politik masih terus berkembang seiring mendekatnya pemilihan. Inilah repotnya koalisi tiket itu. He He ..

Jelang Pilkada Jakarta, saat peluit wasit belum ditiup pun sudah terasa seperti miniatur dari Pilpres. Maklumlah, Jakarta memiliki posisi strategis dan simbolis yang tinggi, baik secara politik maupun ekonomi, sehingga kandidat yang maju dalam Pilkada DKI biasanya adalah tokoh nasional dengan pengaruh besar. Anies Baswedan, sebagai mantan gubernur dan mantan menteri, merupakan salah satu contoh di mana Pilkada terasa "seheboh" Pilpres.

Banyak yang mulai menyoal apakah sistem Pilkada perlu diubah untuk mengurangi ketegangan politik dan polarisasi yang mirip dengan Pilpres. Beberapa pengamat dan politisi berpendapat format dan mekanisme Pilkada mungkin perlu disesuaikan, misalnya dengan meningkatkan peran partai politik dalam seleksi calon atau mengubah mekanisme kampanye agar tidak terlalu mahal dan kompetitif seperti Pilpres.

Selain itu, ada juga yang mengusulkan perubahan bisa dilakukan dengan menyesuaikan jadwal Pilkada agar tidak terlalu berdekatan dengan Pilpres, atau meninjau kembali aturan mengenai koalisi partai dan pencalonan untuk mengurangi dinamika politik yang terlalu intens.

Dalam konteks ini, perdebatan mengenai perlunya perubahan sistem Pilkada masih berlangsung, dan keputusan apapun akan membutuhkan konsensus politik serta evaluasi dari dampak jangka panjang terhadap demokrasi dan stabilitas politik di Indonesia.

Fahri Hamzah mengemukakan kritik yang menarik tentang posisi gubernur sebagai bagian dari pemerintah pusat. Menurutnya, jika seorang gubernur seperti Anies Baswedan di masa lalu cenderung bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat, maka hal ini bisa menghambat kemampuannya untuk melayani warga dengan baik. Pendapat ini berakar pada pemahaman gubernur, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, seharusnya bekerja dalam harmoni dengan kebijakan nasional untuk memastikan keberhasilan program-program yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.

Ada beberapa poin penting yang bisa dipertimbangkan terkait pandangan ini. Dalam teori pemerintahan, hubungan yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah dianggap penting untuk memastikan kebijakan yang dibuat di tingkat pusat dapat diimplementasikan dengan efektif di tingkat daerah. Jika seorang gubernur memiliki pandangan yang berbeda secara signifikan atau bahkan berseberangan dengan kebijakan pusat, ini bisa menciptakan ketegangan yang berdampak pada pelaksanaan kebijakan di daerahnya.

Kritik Fahri Hamzah menyoroti pentingnya keseimbangan antara kerjasama dengan pusat dan otonomi daerah. Seorang gubernur perlu memiliki kemampuan untuk menavigasi kedua aspek ini agar dapat melayani masyarakat dengan efektif, terlepas dari dinamika politik yang ada.

Tanpa harus galau dengan wacana tersebut, kendati ada tanda-tanda Anies Baswedan mulai kehilangan dukungan dari beberapa partai, termasuk PKS, ini belum berarti Ridwan Kamil akan melawan kotak kosong dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Situasi politik masih dinamis, dan beberapa faktor perlu dipertimbangkan.

Meskipun PKS mulai membuka opsi untuk mendukung Ridwan Kamil, Anies masih memiliki dukungan kuat dari Nasdem, dan partai lain seperti PKB masih belum memutuskan arah dukungan mereka. Ini menunjukkan Anies belum sepenuhnya ditinggalkan dan masih mungkin menjadi pesaing utama Ridwan Kamil.

Selain Ridwan Kamil dan Anies Baswedan, partai-partai politik besar lainnya mungkin akan mengusung kandidat lain yang kuat, terutama jika mereka melihat peluang untuk menang dalam kontestasi yang kompetitif. Gerindra, misalnya, telah mengindikasikan dukungan untuk Ridwan Kamil, tetapi partai-partai lain mungkin masih mempertimbangkan opsi-opsi mereka.

Politik koalisi di Indonesia sangat cair, dan dukungan dapat berubah seiring waktu. Ridwan Kamil mungkin mendapatkan dukungan yang kuat, tetapi masih ada waktu bagi kandidat lain untuk membentuk koalisi dan bersaing secara efektif.

Mengenai kekhawatiran RK bakal melawan kotak kosong. Ini biasanya terjadi ketika hanya ada satu calon yang secara signifikan lebih kuat dan tidak ada penantang yang layak. Mengingat profil tinggi baik Ridwan Kamil maupun Anies, serta dinamika partai yang kompleks, kemungkinan besar kita akan melihat persaingan yang ketat ketimbang melihat kotak kosong.

Jadi, sementara ada potensi Ridwan Kamil bisa mendapatkan dukungan besar, skenario melawan kotak kosong tampaknya masih jauh dari kenyataan pada tahap ini.

Dari celah ini kemungkinan PDIP akan beralih total untuk mengusung Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dalam Pilkada DKI Jakarta 2024. Itu pun belum ada indikasi resmi yang kuat dari partai tersebut.

Ahok memang memiliki rekam jejak yang kuat sebagai mantan gubernur DKI Jakarta, meskipun masa jabatannya berakhir dengan kontroversi dan kasus hukum. PDIP bisa saja balik kanan gerak untuk mempertimbangkan Ahok sebagai calon yang sudah terbukti mampu memimpin Jakarta dengan baik, terutama dalam hal infrastruktur dan administrasi pemerintahan.

PDIP memiliki kepentingan besar dalam menjaga posisi mereka di DKI Jakarta, yang merupakan salah satu propinsi terpenting di Indonesia. Jika dukungan terhadap Anies mulai melemah dan Ridwan Kamil mendapatkan momentum, PDIP mungkin merasa perlu menempatkan calon yang kuat dan populer untuk bersaing, dan Ahok bisa menjadi pilihan yang menarik dari perspektif ini.

Ahok masih memiliki basis pendukung yang loyal di Jakarta, tetapi juga ada risiko signifikan terkait dengan elektabilitasnya, terutama di kalangan pemilih yang masih mengingat kontroversi yang melibatkan dirinya. PDIP harus mempertimbangkan apakah dukungan terhadap Ahok akan menguntungkan atau justru menjadi beban di tengah masyarakat Jakarta yang plural.

PDIP juga memiliki tokoh-tokoh lain yang mungkin bisa diusung dalam Pilkada DKI, termasuk politisi yang saat ini sedang memegang jabatan strategis atau figur baru yang bisa menarik dukungan luas tanpa membawa beban politik masa lalu.

Sejauh ini, belum ada tanda resmi bahwa PDIP akan mengusung Ahok, dan keputusan semacam itu akan melibatkan banyak pertimbangan strategis. PDIP cenderung menunggu perkembangan lebih lanjut sebelum menentukan calon yang akan mereka usung, mengingat betapa pentingnya Pilkada DKI bagi peta politik nasional.

Pilkada DKJ Jakarta tetaplah heboh seheboh tahun-tahun sebelumnya. Maklum karena banyaknya kepentingan dan perputaran uang disini.

Tapi yang pasti RK tidak akan berhadapan dengan Kotak Kosong. Siapa tau muncul Puan atau Hasto sekalian. He He ..

Joyogrand, Malang, Sat', August 10, 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun