Dalam situasi pasca-pemilu, partai-partai yang kalah dengan  merasa perlu untuk menyuarakan ketidakpuasan atau mengkonsolidasikan dukungan. Apakah ini kemarahan atau bukan. Kita harus menelisiknya lebih jauh. Kita lihat cara Panda Nababan ngomong soal Jokowi, kita lihat gaya Mega yang menggebu-gebu ingin ini itu, sonder evaluasi mendalam mengapa begitu, dan ini diikuti oleh koor ketidakpuasan dari barisan banteng moncong putih di belakangnya serta suara koor serupa dari kelompok lain yang menyertainya.
Benar, kritik dan perbedaan pandangan adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Sayangnya MRLB pada kenyataannya adalah ekspresi demokrasi dan kebebasan berpendapat yang kebablasan. Syukur-syukur kalau tokoh Malari Hariman hadir dalam kesempatan itu misalnya. Tapi dalam MRLB yang baru saja berlalu ketokohan kampus seperti dulu tak ada lagi. Boleh jadi ini adalah deviasi fenomena Gen Z sekarang.
Media dan opini publik juga memainkan peran besar dalam membentuk narasi politik. Interpretasi MRLB adalah pelampiasan kemarahan PDIP bisa jadi lebih merupakan hasil dari bagaimana media dan pengamat politik menggambarkan situasi tersebut.
Kekalahan dalam Pilpres bisa menjadi salah satu faktor yang memicu ketegangan politik, tapi koq harus Jokowi.
Jangan-jangan suara-suara sumbang itu cermin dari perilaku politik kontemporer Indonesia yang tak lagi mengenal etika timur dan sudah super liberal dibandingkan negara-negara liberal lainnya di muka bumi ini. Atau suara-suara sumbang dan kritik tajam ekstrim dalam politik Indonesia sekarang bisa saja bagian dari dinamika politik kontemporer yang berubah dan berkembang nggak keruan.
Sejak reformasi, Indonesia telah mengalami transformasi politik besar, dari rezim otoriter menuju demokrasi yang lebih terbuka. Ini memungkinkan lebih banyak kebebasan berpendapat dan kritik terhadap pemerintah.
Platform media sosial turut mempercepat dan memperluas penyebaran opini, kritik, dan informasi. Hal ini membuat kritik menjadi lebih terbuka dan langsung j'leb.
Meskipun ada perubahan, masih ada aspek dari etika dan nilai-nilai timur dalam masyarakat Indonesia, termasuk penghormatan terhadap otoritas dan senioritas. Hanya, dalam soal politik ada semacam keganjilan yang sementara ini belum terbaca lebih jauh.
Globalisasi membawa pengaruh budaya luar yang bisa mengubah cara pandang dan perilaku politik, seringkali itulah yang dominan sekarang dalam perpolitikan, karena katanya lebih langsung dan kritis.
Demokrasi liberal di berbagai negara juga menunjukkan pola kritik terbuka dan ketegangan politik. Indonesia mungkin tampak lebih liberal dalam konteks regional, tetapi tidak berarti lebih liberal dibandingkan negara-negara Barat seperti AS atau Eropa Barat.
Setiap negara memiliki norma politik yang berbeda. Di beberapa negara, kritik tajam dan debat politik sengit adalah bagian dari proses demokrasi yang sehat.