Review Folklore Batu Belah di Sumatera Utara
Cerita Rakyat Batu Belah (CRBB) terdapat di berbagai daerah, terutama di Sumatera Utara dan di beberapa daerah Melayu lainnya seperti Tanjung Pura, Tanjung Morawa, Riau, dan lain-lain. Di Takengon (Gayo) cerita ini disebut "Atu Belah", sesuai dengan bahasa daerah setempat.
CRBB mengisahkan seorang ibu yang memiliki dua orang anak yang masih kecil-kecil. Usia anak sulung tujuh tahun, sedangkan adiknya masih menetek meski sudah berumur dua tahun. Si ibu sangat memanjakan kedua anaknya, sehingga keduanya begitu tergantung pada Ibunya. Hal ini tentu saja sangat merepotkan sang ibu karena selain mengurus keduanya, juga mempunyai kewajiban lain yi mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Suami si ibu adalah seorang petani yang memiliki pekerjaan sampingan berburu rusa di hutan. Si bapak adalah tipe seorang bapak yang memiliki tanggungjawab yang besar pada keluarganya. Meski tidak berlebihan, tetapi kebutuhan rumahtangga senantiasa dicukupi oleh sang bapak. Sampai-sampai persiapan untuk musim paceklik pun disiapkan si bapak dengan mengumpulkan belalang untuk dijadikan lauk.
Suatu ketika si bapak pergi berburu rusa di hutan. Namun rupanya nasib baik belum berpihak padanya. Sudah tiga hari berkeliling hutan, tidak seekor rusa pun ditemukannya. Karena bekal yang dibawanya sudah habis, si bapak pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Pada saat yang bersamaan, di kediamannya, isterinya sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Kerepotan itu bertambah karena kedua anaknya sebentar-sebentar merengek meminta keperluannya. Si ibu sangat memanjakan kedua anak itu sehingga betapa pun repotnya, ia tetap memenuhi kebutuhan kedua anaknya, sampai suatu kali, ketika si ibu sedang mencuci pakaian, anak yang besar meminta makan. Karena si ibu merasa tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, ia menyuruh si anak untuk mengambil saja nasi yang sudah ditanak di rumah. Si anak pun menuruti kata si ibu, tetapi sewaktu si anak hendak mengambil lauk, ia tidak menemukan apa pun di atas meja makan. Ia pun merengek kembali kepada ibunya. Si ibu yang masih sangat repot itu pun menyuruh si anak untuk mengambil belalang yang disimpan suaminya di lumbung padi mereka. Si anak pun bergerak menuju lumbung padi, karena di situlah bapaknya menyimpan belalang sebagai persiapan menghadapi paceklik. Karena masih kanak-kanak, ia tidak berhati-hati membuka pintu lumbung sehingga belalang yang sedang dikumpulkan bapaknya dengan susah payah beterbangan tak tersisa seekor pun.
Tidak berapa lama si bapak pun tiba di rumah. Dalam keadaan kelaparan si bapak segera saja mencari nasi yang sudak ditanak isterinya. Ketika ia tidak mendapatkan lauk di atas meja, ia pun segera menuju lumbung tempat ia menyimpan belalang yang dikumpulkannya. Alangkah terkejutnya dia ketika di tempat itu tak seekor belalang pun ditemukannya. Karena letih dan lapar ditambah rasa dongkol karena tidak memperoleh hasil buruan, ia mudah sekali kalap. Dicarinya sang isteri, ditemukannya sang isteri sedang mencuci. Diseretnya sang isteri tsb, kemudian dipukulinya, tidak puas sampai di situ, ia memotong kedua payudara isterinya untuk kemudian dipanggang menjadi teman makan nasinya.
Dalam keadaan berlumuran darah dan kesakitan yang luarbiasa, sang isteri tertatih-tatih pergi meninggalkan rumah. Kedua anaknya sambil menangis mengikuti ibunya dari belakang. Si abang menggendong adiknya yang masih kecil. Si ibu terus melangkah menuju sebuah tempat yang dikenal masyarakat sebagai Batu Belah. Tempat tsb berada di tengah-tengah persawahan, berupa batu yang sangat besar. Batu tsb menelan siapa saja yang mau menjadi korbannya.
Dalam keadaan putus asa si ibu menghadapi batu tsb. Dari mulutnya keluarlah nyanyian dengan kata-kata, "Batu belah, batu bertangkup, sudah tiba janji kita masa yang lalu." Kata-kata itu dinyanyikannya dengan suara lirih berkali-kali. Tak lama antaranya, belahan batu tsb merekah dan terbuka. Tanpa ragu-ragu perempuan malang itu masuk ke dalamnya. Kedua anaknya menyaksikan dari kejauhan dengan menjerit-jerit agar ibunya tidak meninggalkan mereka. Namun, ibunya yang sudah terluka lahir bathin tetap pada pendiriannya. Perlahan-lahan batu itu pun menutup, menelan sang ibu malang. Sesudah batu itu tertutup, tempat itu pun kembali seperti sediakala tanpa sesuatu pun yang tersisa. Si anak hanya bisa menemukan beberapa helai rambut ibunya dari sela-sela batu.
Filologis