Kritik PDI-P, kalaulah benar dan didukung oleh bukti, akan menjadi input terpenting untuk memperbaiki sistem pemilu di Indonesia. Penyalahgunaan kekuasaan, intervensi hukum, dan politik uang adalah masalah serius yang bisa merusak demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerjasama dalam memperbaiki sistem dan memastikan pemilu berikutnya lebih transparan, adil, dan bebas dari penyimpangan.
Situasi ini mencerminkan kombinasi antara kekecewaan atas kekalahan dan keprihatinan yang mendalam terhadap integritas proses demokrasi di Indonesia. Sikap kritis PDI-P bisa saja menjadi peluang untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pemilu, asalkan kritik tsb diiringi dengan bukti yang kuat dan direspons dengan tindakan yang konstruktif oleh semua pihak yang terlibat dalam politik Indonesia.
Pernyataan PDI-P tentang penolakannya terhadap penggunaan hukum sebagai alat kekuasaan seperti yang terwujud dalam perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, perubahan Undang-Undang Penyiaran dan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran ke kursi pilpres, termasuk sorotannya tentang agenda pelaksanaan reformasi, dwi fungsi ABRI, hingga biaya pendidikan yang mahal. Rakernas V PDI-P bahkan menugaskan fraksinya di Parlemen untuk mendesak pemerintah agar menurunkan mahalnya biaya pendidikan tinggi melalui revisi Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024.
Bagaimana pemerintahan baru ke depan ini akan meresponnya, sebab cukup banyak juga yang menyalahkan Ketum PDI-P Megawati agar mawas diri dan jangan merasa benar sendiri dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lihat misalnya kasus penyebutan Presiden Jokowi sebagai petugas partai. Itu artinya bahwa Ketum Partailah yang berhak menentukan segalanya, padahal seorang Presiden adalah milik bangsa tanpa membedakan ini itu.
Mengingat latar belakang politik dan dukungan yang diterima oleh Prabowo-Gibran, ada tantangan besar untuk memenuhi ekspektasi reformasi yang diajukan PDI-P, terutama jika kritik tsb dianggap sebagai upaya untuk mendiskreditkan pemerintahan baru.
Menurunkan biaya pendidikan tinggi akan menjadi isu penting yang memerlukan perhatian serius. Pemerintahan baru harus menunjukkan keseriusan dalam mengatasi masalah ini, baik dengan merevisi peraturan yang ada atau melalui kebijakan baru yang meringankan beban biaya pendidikan bagi mahasiswa dan orangtua.
Pemerintahan Prabowo-Gibran harus menunjukkan komitmen pada prinsip-prinsip reformasi dan profesionalisme dalam militer. Ini bisa menjadi poin sensitif mengingat latar belakang militer Prabowo, sehingga langkah-langkah konkret yang transparan diperlukan untuk mengatasi kekhawatiran tab.
Kritik terhadap dominasi Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri dalam menentukan arah partai dan kebijakan politik menjadi isu yang perlu diatasi PDIP secara internal. Kepemimpinan yang lebih inklusif dan terbuka terhadap aspirasi kader dan masyarakat luas bisa memperkuat posisi PDIP dalam memainkan peran oposisi yang konstruktif.
Menyebut Presiden Jokowi sebagai "petugas partai" telah menjadi isu kontroversial yang mempengaruhi citra PDI-P. Ini menunjukkan adanya persepsi keputusan partai lebih dominan ketimbang kepentingan nasional. Untuk mengatasi kritik ini, PDI-P ke depan ini perlu menunjukkan mereka mampu memisahkan kepentingan partai dengan kepentingan bangsa, terutama dalam konteks oposisi yang bertanggungjawab.
Perspektif ke depan
Untuk memastikan stabilitas politik dan keberhasilan kebijakan, pemerintahan Prabowo-Gibran perlu membuka ruang dialog dengan PDI-P dan partai-partai lain. Kerjasama yang konstruktif antara pemerintah dan oposisi bisa menghasilkan solusi yang lebih baik untuk masalah-masalah nasional.