Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Klaim 9DL China atas LCS Merengkuh 30% Laut Natuna Utara

3 Mei 2024   17:28 Diperbarui: 3 Mei 2024   17:30 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepulauan Natuna dalam tanda panah berwarna merah. Foto : www.menpan.go.id

Klaim 9DL China atas LCS Merengkuh 30% Laut Natuna Utara

Kepulauan Natuna adalah sekumpulan pulau yang terletak di Laut Natuna, yang merupakan bagian dari Propinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Secara geografis, Natuna memiliki lokasi yang cukup strategis karena berada di jalur perairan yang sibuk dan berdekatan dengan Laut China Selatan.

Kepulauan Natuna terdiri dari lebih dari 270 pulau dengan Pulau Natuna Besar sebagai pulau terbesar di kelompok ini. Kepulauan ini terletak di sebelah utara dari wilayah utama Indonesia dan memiliki Laut Natuna sebagai perairan utamanya.

Ekonomi di Kepulauan Natuna sebagian besar bergantung pada perikanan dan pertanian. Natuna juga dikenal memiliki cadangan gas alam yang besar, yang merupakan salah satu sumberdaya penting bagi Indonesia.

Masyarakat di Kepulauan Natuna sebagian besar suku Melayu, dengan pengaruh budaya yang kuat dari budaya Melayu Riau. Agama mayoritas di sini adalah Islam, dengan banyak masjid tersebar di seluruh pulau.

Karena lokasinya berdekatan dengan Laut China Selatan, Kepulauan Natuna sering menjadi fokus dalam isu-isu geopolitik dan keamanan maritim.

Indonesia telah memperkuat kehadiran militer di kawasan ini untuk memastikan kedaulatan dan keamanan wilayahnya, terutama terkait dengan klaim teritorial oleh negara-negara lain di Laut China Selatan.

Klaim China

China telah mengklaim sebagian besar Laut China Selatan berdasarkan peta yang dikenal sebagai "nine-dash line" atau garis sembilan garis putus-putus. Klaim ini mencakup area yang luas, termasuk wilayah laut di dekat Kepulauan Natuna.

Klaim ini didasarkan pada interpretasi sejarah dan peta-peta lama yang menyatakan wilayah ini berada di bawah pengaruh China. Namun, klaim ini diperdebatkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia, dan dianggap bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Laut di sekitar Kepulauan Natuna kaya akan sumberdaya alam, termasuk perikanan dan cadangan minyak dan gas. Klaim China atas bagian utara Natuna bisa didorong oleh keinginan untuk mengakses sumberdaya ini.

Gas alam di Natuna, khususnya di blok Natuna D-Alpha, merupakan salah satu cadangan gas terbesar di dunia, yang tentu saja menarik bagi negara-negara yang ingin mengamankan sumber energi.

Strategi geopolitik dan kontrol wilayah maritim

Dengan mengklaim wilayah yang luas di Laut China Selatan, China ingin memperluas pengaruh dan kontrolnya atas jalur maritim yang strategis. Laut China Selatan adalah rute perdagangan utama, dengan lalu lintas perdagangan dan militer yang tinggi. Kontrol atas wilayah ini juga memberikan keuntungan strategis dalam hal keamanan dan pengaruh regional.

China menyatakan klaim mereka sesuai dengan hak sejarah dan interpretasi mereka terhadap hukum internasional, termasuk UNCLOS. Namun, interpretasi ini bertentangan dengan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional pada tahun 2016, yang menyatakan bahwa "nine-dash line" tidak memiliki dasar hukum yang sah.

Klaim China atas bagian utara Natuna menjadi sumber ketegangan antara Indonesia dan China, serta antara China dan negara-negara lainnya di kawasan Laut China Selatan. Indonesia secara konsisten menegaskan kedaulatannya atas Kepulauan Natuna dan wilayah laut di sekitarnya, menolak klaim China dan mendasarkan klaimnya pada hukum internasional, khususnya UNCLOS.

Masalah sumberdaya alam

Klaim "nine-dash line" (9DL) China di Laut China Selatan mencakup area yang luas, termasuk kl 30% perairan di sekitar Kepulauan Natuna. Meskipun China mengklaim area ini atas dasar hak sejarah, ada spekulasi sumberdaya alam yang melimpah, seperti minyak dan gas, boleh jadi faktor yang mendasari klaim ini.

Laut China Selatan dikenal memiliki cadangan minyak dan gas yang signifikan, menjadikannya daya tarik ekonomi yang kuat. Banyak negara yang memiliki klaim di Laut China Selatan telah mengeksplorasi dan mengekstrak sumberdaya ini.

China, sebagai negara dengan kebutuhan energi yang besar, memiliki kepentingan dalam mengamankan sumberdaya ini, yang bisa menjadi salah satu motivasi untuk klaim luas di Laut China Selatan.

Perairan Natuna, termasuk Blok Natuna D-Alpha, adalah salah satu kawasan dengan cadangan gas terbesar di dunia. Blok ini diperkirakan memiliki sekitar 222 triliun kaki kubik gas, yang menjadikannya salah satu cadangan gas terbesar di Asia Tenggara.

Indonesia memiliki hak eksklusif atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang meliputi perairan Natuna. Namun, klaim 9DL China yang mencakup sebagian area ini, menimbulkan potensi konflik terkait eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya.

Penelitian dan eksplorasi di wilayah Natuna telah dilakukan oleh berbagai perusahaan, termasuk perusahaan minyak dan gas nasional Indonesia seperti Pertamina. Proyek-proyek eksplorasi terus berlanjut untuk mengetahui sejauh mana kandungan minyak dan gas di perairan ini.

Cadangan gas di Blok Natuna D-Alpha merupakan salah satu yang terbesar, dan penemuan lainnya menunjukkan wilayah ini memiliki potensi besar untuk eksplorasi dan pengembangan lebih lanjut.

Konflik potensial dapat muncul ketika klaim teritorial bertabrakan dengan hak eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam. Meskipun China tidak secara eksplisit mengklaim hak atas cadangan minyak dan gas di ZEE Indonesia, klaim 9DL-nya dapat menimbulkan ketegangan jika dilihat sebagai upaya untuk mengamankan sumberdaya ini.

Indonesia telah menegaskan kedaulatannya atas perairan Natuna dan melindungi haknya untuk mengeksplorasi dan mengekstrak sumberdaya di ZEE-nya, sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Dalam konteks ini, klaim 9DL China dan kekayaan minyak dan gas di perairan Natuna memiliki hubungan yang kompleks. Meskipun sumberdaya alam bukan satu-satunya alasan klaim 9DL, tapi dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap minat China di wilayah ini. Indonesia terus mempertahankan kedaulatannya dan hak untuk mengelola sumberdaya alam di wilayahnya, sambil mencari cara untuk mengatasi klaim yang tumpang tindih dan potensi konflik dengan cara damai dan sesuai dengan hukum internasional

Titik temu

Titik temu antara China dan Indonesia dalam masalah klaim di bagian utara Natuna boleh dibilang kompleks dan memerlukan dialog yang hati-hati.

Indonesia menegaskan Kepulauan Natuna sepenuhnya berada dalam wilayah kedaulatannya, dan tidak ada sengketa teritorial dengan China. Namun, klaim "nine-dash line" China melintasi bagian utara wilayah laut yang diakui Indonesia, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) di sekitar Kepulauan Natuna.

China menyatakan tidak menantang kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna, tetapi mereka memiliki klaim atas wilayah laut berdasarkan hak sejarah, yang sering menimbulkan kebingungan dan ketegangan di wilayah itu.

Sejauh ini Indonesia dan China telah berusaha menjaga hubungan diplomatik yang positif dan menghindari konflik terbuka. Kedua negara telah bekerja untuk memperkuat kerjasama ekonomi dan diplomatik di berbagai bidang, dan memilih pendekatan dialog untuk menyelesaikan ketegangan di wilayah perairan.

Indonesia telah meningkatkan patroli di wilayah ZEE-nya di Natuna dan memperkuat kehadiran militer, sementara China telah mencoba meredam ketegangan dengan menunjukkan niat baik dalam dialog.

Kaitan dengan Sengketa di Laut China Selatan

Sengketa di Laut China Selatan melibatkan sejumlah negara, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan China, dengan fokus utama kepulauan Spratly dan Paracel. Sengketa ini terkait klaim tumpang tindih atas pulau-pulau, terumbu karang, dan wilayah laut, serta masalah kebebasan navigasi.

Klaim China di Laut China Selatan, termasuk klaim "nine-dash line", mencakup area yang luas, termasuk kepulauan Spratly. Klaim ini berbenturan dengan klaim beberapa negara lain, sehingga menciptakan ketegangan dan perselisihan di wilayah ini.

Klaim China terhadap bagian utara Natuna dapat dilihat sebagai bagian dari strategi mereka untuk memperluas kontrol dan pengaruh di wilayah Laut China Selatan, yang juga mencakup kepulauan Spratly.

Meski belum ada penyelesaian yang jelas terkait klaim di bagian utara Natuna, Indonesia dan China berusaha mengelola ketegangan melalui dialog dan kerjasama. Namun, keberadaan klaim tumpang tindih di Laut China Selatan, termasuk klaim yang mencakup kepulauan Spratly, membuat masalah ini tetap kompleks dan berpotensi menciptakan ketegangan lebih lanjut. Indonesia terus memperkuat posisi dan kedaulatannya di Natuna, sementara China terus mempertahankan klaim "nine-dash line"-nya.

AS dan kebebasan navigasi

Pernyataan AS bahwa Laut China Selatan adalah wilayah bebas untuk pelayaran internasional merupakan bagian dari kebijakan dan prinsip AS terkait kebebasan navigasi. AS menekankan wilayah perairan internasional harus tetap terbuka bagi semua negara dan tindakan yang mengganggu kebebasan ini tidak dapat ditolerir. Dalam konteks Laut China Selatan, ini sering kali diartikan sebagai oposisi terhadap klaim teritorial China yang dianggap terlalu luas dan melanggar hukum internasional.

AS dan negara-negara lain menegaskan Laut China Selatan adalah jalur perdagangan internasional utama dan harus tetap bebas untuk pelayaran. AS sering mengadakan operasi "Kebebasan Navigasi" (FONOPs) di Laut China Selatan untuk menegaskan prinsip ini.

China dengan "nine-dash line" sebagai batas klaimnya telah menunjukkan ketidaksenangan terhadap operasi Amerika dan kadang-kadang merespons dengan tindakan militer atau peringatan.

Perbandingan dengan Laut Arab dan Selat Hormuz

Di Laut Arab dan Selat Hormuz, AS dan negara-negara Barat menjaga kehadiran militer yang signifikan untuk melindungi kebebasan pelayaran dari ancaman potensial, terutama dari Iran dan kelompok proksinya seperti Houthi di Yaman.

Keamanan di wilayah ini penting karena Selat Hormuz adalah jalur perdagangan minyak utama. Ancaman terhadap kebebasan pelayaran di sini dapat mempengaruhi pasar minyak dan keamanan global.

China memang mengakui prinsip kebebasan navigasi, tetapi memiliki pandangan berbeda terkait apa yang dianggap sebagai pelayaran "legal" di wilayah yang diklaimnya. China berulangkali menegaskan negara lain harus meminta izin atau memberi pemberitahuan sebelum melakukan operasi militer di wilayah laut yang mereka klaim.

Ketegangan muncul ketika negara lain, terutama AS, melakukan operasi militer atau pelayaran yang dianggap China sebagai pelanggaran klaimnya.

Pernyataan AS tentang kebebasan navigasi di Laut China Selatan dapat bertentangan dengan klaim teritorial China. Pendekatan AS yang fokus pada kebebasan navigasi mencerminkan upaya untuk mempertahankan prinsip hukum internasional seperti yang diatur dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Meski China tidak sepenuhnya setuju dengan pendekatan ini, mereka juga menyadari konfrontasi terbuka dapat mengarah pada ketegangan yang tidak diinginkan dan kemungkinan besar merusak hubungan internasional. Karenanya, meskipun ketegangan bisa muncul, kedua belah pihak cenderung berhati-hati untuk menghindari eskalasi konflik.

Langkah Indonesia

Indonesia menghadapi tantangan serius dalam mengamankan kedaulatan dan sumberdaya maritimnya, terutama di kawasan Natuna, yang terkena dampak klaim "nine-dash line" (9DL) China dan aktivitas ilegal oleh nelayan asing.

Indonesia harus memperkuat patroli dan pengawasan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) di sekitar Natuna. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan kehadiran kapal patroli Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan sumberdaya lainnya.

Teknologi pemantauan seperti drone, radar, dan sistem pelacakan kapal otomatis (AIS) dapat digunakan untuk mendeteksi dan menindak aktivitas ilegal dengan lebih efektif.

Dalam kepemimpinan Prabowo Soebianto ke depan ini Indonesia harus semakin memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan mitra internasional lainnya, khususnya AS, untuk menekan klaim 9DL China. Ini dapat dilakukan melalui dialog diplomatik dan koordinasi dalam isu keamanan maritim.

Terkait pencurian ikan yang tak pernah berhenti di perairan ZEE kita di Natuna, ntah itu pelakunya nelayan Vietnam, China, Malaysia, Filipina dll, Indonesia seyogyanya memperluas kerjasama dalam operasi pengawasan dan penegakan hukum dengan negara-negara tetangga agar dapat membantu mengurangi pencurian ikan dan aktivitas ilegal lainnya.

Penegakan hukum yang tegas terhadap pencurian ikan dan aktivitas ilegal lainnya di ZEE Indonesia harus menjadi prioritas. Ini mencakup penangkapan, penegakan hukum, dan penghancuran kapal ilegal jika perlu. Revisi atau penguatan regulasi terkait dengan penangkapan ikan dan eksplorasi sumberdaya maritim dapat membantu memastikan perlindungan yang lebih kuat terhadap kepentingan Indonesia.

Indonesia dapat mengadakan kampanye publik dan internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang klaim 9DL China dan dampaknya terhadap wilayah Indonesia. Hal ini dapat membantu membangun dukungan internasional untuk menolak klaim yang tidak sesuai dengan hukum internasional, seperti Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Meningkatkan pembangunan infrastruktur di Natuna dan daerah sekitar dapat membantu memperkuat kehadiran Indonesia di wilayah tsb, termasuk meningkatkan investasi di sektor perikanan dan pariwisata yang dapat membantu mengurangi ketergantungan pada eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan.

Indonesia harus terus mencari dialog dan pendekatan diplomatik dengan China dan negara-negara tetangga untuk menghindari eskalasi konflik, seperti menggunakan mekanisme ASEAN dan forum internasional lainnya untuk mempromosikan penyelesaian damai dan hukum atas konflik maritim.

Langkah-langkah tsb, jika diterapkan secara efektif akan dapat membantu Indonesia memperkuat kedaulatannya di Natuna dan memastikan bahwa pencurian ikan dan aktivitas ilegal lainnya dapat diminimalkan. Pada saat yang sama, Indonesia tetap membuka diri terhadap dialog dan solusi diplomatik guna mencegah konflik lebih lanjut.

Joyogrand, Malang, Fri', May 03, 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun