Menimbang Penghapusan Ambang Batas Parlemen Kita
Di tengah kegembiraan kita dengan dilaksanakannya Grandprix Powerboat F1H20 di Danau Toba pada tgl 1-3 Maret ini, kita agak kaget sekaligus gembira mendengar kabar tergres dari Jakarta bahwa parliamentary threshold dihapuskan oleh MK.
Apa pasal. Menurut MK hal itu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Ini ada benarnya mengingat keanekaragam manusia di negeri ini. Dibawah pemerintahan Jokowi selama 2 periode boleh dbilang, kita telah menapaki katakanlah "jalan menuju ke surga kebebasan". Lihat betapa bebasnya orang berpendapat sekarang. Lihat Rocky Gerung dan Refly Harun misalnya yang seringkali berpendapat untuk katakanlah hanya sekadar melampiaskan ketidaksukaannya terhadap Presiden. Atau kebebasan berpendapat parpol untuk menyatakan ketidaksetujuannya terhadap sejumlah permasalahan bangsa, termasuk mengritik keras sejumlah kebijaksanaan pemerintah yang dianggap tak sejalan dengan konstitusi.
Ternyata Presiden Jokowi benar dalam hal ini. Dengan membiasakan diri menghadapi kritikan, celaan, bahkan hinaan dari siapapun. Semua noise semacam itu hanya sakit sebentar di telinga kita, tapi tidak akan menggilas mati demokrasi, justeru akan semakin mendewasakan bangsa ini untuk berdemokrasi.
Berdampak signifikan
So, penghapusan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional oleh MK dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika politik di Indonesia.
Penghapusan ambang batas parlemen dapat dianggap sebagai langkah menuju demokrasi yang lebih inklusif, di mana partai-partai kecil atau baru memiliki kesempatan yang lebih besar untuk duduk di parlemen dan menghadirkan suara-suara yang sebelumnya terpinggirkan. Kita ambil contoh PSI yang selama ini konsisten menyuarakan kesetaraan dan egalitarianism dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan sampai ada satu keyakinan agama pun di negeri ini yang dapat ditindas begitu saja karena tirani mayoritas.
Dengan ambang batas yang dihapuskan, akan terbuka peluang yang lebih besar dalam pertumbuhan pluralisme politik, dengan lebih banyak variasi ideologi dan kepentingan politik yang diwakili di parlemen.
Yang perlu dicermati kemudian adalah penghapusan ambang batas ini dapat memperumit proses pembentukan koalisi di parlemen. Partai-partai besar harus lebih memperhitungkan partai-partai kecil dalam membentuk mayoritas, yang pada gilirannya hanya dapat menghasilkan koalisi yang lebih rapuh dan labil.