Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Road-Map Alternatif menjadi Presiden RI pasca Pilpres 2024

6 Februari 2024   16:16 Diperbarui: 6 Februari 2024   16:54 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Road-Map Alternatif  menjadi Presiden RI pasca Pilpres 2024

Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa merupakan hak demokrasi dan hak setiap orang untuk berbicara dan berpendapat. Hal ini disampaikannya saat ditanya awak media terkait dengan petisi atau seruan dari sejumlah universitas di Tanah Air yang mengritik pemerintahannya.

Di tahun politik jelang pemilu, pertarungan opini pastilah terjadi. Akhir-akhir ini terlihat ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral. Strategi politik partisan seperti itu juga sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik. Namun, ada baiknya, kontestasi politik, termasuk dalam pertarungan opini, dibangun dalam kultur dialog yang substantif dan perdebatan yang sehat.

Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowati Irianto belum lama ini mengatakan, mimbar akademik di depan Rektorat UI adalah untuk menyikapi perkembangan politik terakhir jelang pemungutan suara Pemilu 2024. Sivitas akademika UI merasa prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi akibat pelaksanaan pemilu yang tidak beradab serta bermartabat. Intinya kami menyikapi perkembangan politik terakhir menjelang Pemilu 2024. Permasalahan utama pemilu saat ini, kata Sulistyowati, adalah netralitas palsu dan kecurangan penyelenggara negara. Menurut dia, pemilu saat ini diwarnai dengan pengerahan kekuatan lembaga kenegaraan dan sumber dana tanpa batas.

Adapun sivitas akademika UGM, Rabu 31 Januari 2024 ybl menyampaikan petisi kepada Presiden Jokowi yang berisi permintaan agar Presiden dan jajarannya kembali kepada koridor demokrasi.

Kami segenap sivitas akademika UGM meminta, mendesak, dan menuntut segenap aparat penegak hukum serta semua pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden Jokowi, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial, demikian Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro saat membacakan petisi di Balairung UGM, Yogyakarta.

Itulah koor kalangan akademisi. Paduan suara itu masih bagus ketimbang suara-suara sumbang dari belantara politik kita.

Perlu diingat hak untuk berbicara dan berpendapat bukan berarti bebas tanpa batas. Ada beberapa batasan yang perlu dihormati, seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan provokasi kekerasan.

Pernyataan Presiden Jokowi di atas justeru dapat mendorong terciptanya suasana yang lebih kondusif bagi demokrasi di Indonesia, dimana rakyat dapat freely menyampaikan pendapatnya tanpa rasa takut, dan pemerintah dapat menerima kritik dengan lapang dada dan terbuka untuk melakukan perbaikan.

Mengapa harus sekarang

Kalau dirunut perjalanan demokrasi di negeri ini pasca Orba, dimulai dari berjalan tertatih-tatih dimasa Habibie, Gus Dur, kemudian Megawati, lanjut Sby dan kini Presiden Jokowi.

Boleh dikata demokrasi kita sekarang adalah demokrasi liberal yang sudah melampaui demokrasi di AS. Apapun bisa dikatakan di ruang publik bahkan kata-kata yang tak senonoh pun dapat saja terlontar.

Ingat mahasiswa pendemo Sby dulu di bundaran Thamrin, Jakarta. Sampai begitu teganya para pendemo ini menampilkan Sby seperti Kerbau yang menyimbolkan kelambatan, keraguan dan maaf kebodohan. Tapi ini tak dipersoalkan Sby, sejauh itu masih dalam koridor kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi.

Di zaman Presiden Jokowi. Kita ingat dalam kontestasi Pilpres 2014 dan 2019. Jokowi berhadapan dengan Prabowo, dan keduanya dimenangkan Jokowi. Dalam kontestasi ini kita sama-sama tahu bahwa kelompok radikal telah menyusup jauh dalam kontestasi.

Meski demikian, dengan kepiawaiannya dalam memanage elite-elit politik dalam sistem demokrasi Indonesia sekarang, Jokowi berhasil mengatasi plus-minus cara kita berpolitik saat itu. Banyak pembaharuan politik dilakukan, terutama dengan legalitas approach, seperti semakin menyempurnakan UU tentang Pemilu hingga UU tentang Kesehatan, khususnya pelayanan terpadu Kesehatan Masyarakat melalui BPJS. Juga Jokowi berhasil mengatasi masalah perburuhan yang tak pernah lepas dari demo, demo dan demo.

Bukti terpenting salah satunya adalah ketika Pilkada DKI 2017, dimana Anies berhasil mengalahkan Ahok dibantu konsultan politik Eep Syaefulloh Fatah yang mensuggest Anies agar melancarkan kampanye dari seluruh masjid yang ada di DKI Jakarta. Tak heran sejak itu ia disebut sebagai Bapak Politik Identitas. Klimaksnya adalah diangkatnya Prabowo Soebianto  lawan politik utama Jokowi menjadi Menhan di kabinetnya.

Apa yang terjadi. Anies aman-aman saja di kursi kekuasaannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Lalu kita lihat pada periode kedua Pemerintahan Jokowi ini ada semacam rekonsiliasi dalam bangunan demokrasi kita melalui Jokowi-Prabowo, meskipun ada kata tak senonoh dari seorang intelektual tak jelas Rocky Gerung bahwa Jokowi adalah "Bajingan Tolol".

Jadi kalau kalangan politisi dan akademisi banyak yang protes dan menuding Presiden Jokowi mengorkestrasi jalannya perpolitikan sekarang sesuai dengan kepentingan dinasti, oligarki dsb. Ini sudah kebablasan tentunya, tanpa harus mengatakan bahwa ada mix antara politisi yang tak kebagian dengan kalangan akademisi.

Mengapa yang dulu-dulu tidak ada keributan seperti ini, dan mengapa ketika Jokowi akan lengser dari kekuasaannya, justeru semua kalangan di atas angin ini "majut jalan" melabrak semua karya demokrasi yang dibuat Jokowi selama 2 periode ini.

Over khawatir

Kritik itu utamanya muncul karena ada kekhawatiran yang berlebihan akan nepotisme dan oligarki, dimana kekuasaan politik dipegang oleh sekelompok kecil elit. Juga ada manuver politik dari sebagian politisi menjelang Pilpres 2024 bahwa pemilu kali ini dianggap tidak demokratis dan transparan. Dikhawatirkan itu akan merusak tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini. Juga kedekatan Jokowi dengan oligarki dikhawatirkan akan menghambat agenda reformasi dan pemberantasan korupsi. Itu semua  memperkuat anggapan bahwa demokrasi Indonesia hanya dikuasai oleh sekelompok kecil elit.

Kritik terhadap Jokowi datang dari berbagai kalangan dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda. Hal ini membuat kritik terhadap Jokowi menjadi lebih kompleks dan beragam.

Kritik tsb diamini Jokowi sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat, dimana masyarakat dapat mengawasi dan mengevaluasi kinerja pemerintah.

Tapi perlu diingat bahwa kritik tsb harus dilakukan secara konstruktif dan obyektif. Masyarakat harus menilai kinerja Jokowi secara keseluruhan, tidak hanya berdasarkan satu atau dua kebijakan saja.

Tudingan dinasti politik

Dinasti politik dan keluarga politik memiliki beberapa perbedaan mendasar. Dinasti Politik didasarkan pada hubungan darah dan keturunan, terjadi pewarisan kekuasaan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga, keahlian dan kompetensi tidak selalu menjadi faktor utama dalam pewarisan kekuasaan, kekhawatiran akan nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan keluarga. Contoh Kesultanan Yogyakarta dan beberapa kerajaan di Eropa.

Keluarga Politik. Keanggotaan tidak terbatas pada darah, tapi juga bisa melibatkan anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah, seperti menantu, ipar, atau bahkan orang yang tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali, anggota keluarga terlibat dalam politik secara individu, tidak sebagai satu kesatuan keahlian dan kompetensi yang menjadi faktor penting dalam pencapaian politik. Contoh Keluarga Kennedy di Amerika Serikat, Keluarga SBY di Indonesia.

Dari deskripsi tsb, absolutely Presiden Jokowi tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari dinasti politik karena tidak ada pewarisan kekuasaan dari generasi ke generasi dalam keluarganya.

Memang terdapat beberapa anggota keluarga Jokowi yang terlibat dalam politik, yaitu Gibran Rakabuming Raka, putera sulungnya, menjabat sebagai Walikota Solo; Kaesang Pangarep, putera bungsunya, Ketum PSI sekarang; Bobby Nasution, menantu Jokowi, menjabat sebagai Walikota Medan.

Sama seperti orang lain, anggota keluarga Jokowi memiliki hak untuk terlibat dalam politik. Masyarakat dapat menilai kinerja Jokowi dan keluarganya secara objektif dan menentukan apakah mereka pantas untuk terus terlibat dalam politik.

Road-Map menjadi Presiden RI pasca Pilpres 2024

Yang perlu kita soal sekarang adalah Road-Map Pasca Pilpres 2024 untuk menjadi Presiden. Barangkali inilah maunya publik luas di negeri ini setelah mencermati semua kritik dari kalangan akademisi di negeri ini.

Sebagaimana diketahui, di negeri ini Road-Map dimaksud baru sebatas melalui parpol. Sedangkan parpol di negeri ini belum semuanya matang. Indonesia ke depan ini atau pasca Pilpres 2024 harus meniru Road-Map model Amerika atau memodifikasi seperlunya sesuai dengan format politik kita.

Banyak yang merasa bahwa jalur parpol untuk menjadi presiden terlalu sempit dan tidak representatif. Banyak parpol yang belum memiliki kaderisasi yang matang dan berkualitas. Dikhawatirkan bahwa Road-Map melalui parpol akan memperkuat dominasi oligarki dalam politik. Biaya politik yang tinggi untuk menjadi presiden dikhawatirkan akan menyulitkan orang-orang yang tidak memiliki modal besar.

Karenanya diperlukan alternatif Road-Map ke depan ini dengan sistem independen, yaitu memberikan kesempatan bagi orang-orang di luar parpol untuk maju sebagai presiden; membatasi usia maksimal untuk menjadi presiden; mendorong parpol untuk melakukan kaderisasi yang matang dan berkualitas; menerapkan aturan yang mencegah dominasi oligarki dalam politik; menerapkan aturan yang dapat menurunkan biaya politik.

Sistem presidensial di Amerika Serikat memungkinkan orang-orang di luar parpol untuk maju sebagai presiden. Sedangkan Sistem presidensial di Indonesia mewajibkan calon presiden untuk diusung oleh parpol.

Model Amerika mungkin tidak cocok untuk negara-negara dengan demokrasi yang masih muda, karena setiap negara memiliki kondisi politik dan sosial yang berbeda, sehingga model yang diterapkan harus sesuai dengan kondisi tsb.

Road-Map yad untuk menjadi presiden di Indonesia masih perlu diperbaiki. Perlu ada alternatif Road-Map yang lebih terbuka, adil, dan representatif. Model Amerika dapat menjadi salah satu contoh, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi politik dan sosial di Indonesia.

Lihat :

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/02/tanggapi-kritikan-dari-kampus-presiden-jokowi-itu-hak-demokrasi

https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/02/02/kampus-serukan-keprihatinan

https://www.cnbcindonesia.com/news/20231029083349-4-484539/analisis-prabowo-pilih-gibran-jadi-cawapres-ada-faktor-kuat

Joyogrand, Malang, Tue', Fabr' 06, 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun