Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Inspiratif Pramoedya untuk Kita

23 Januari 2024   13:02 Diperbarui: 23 Januari 2024   23:13 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu terus bergulr tanpa ampun. Tak terasa pencoblosan Bacapres tinggal 3 minggu lagi. Semua analisis dari berbagai arah sudah bermuara ke wadah meltingpot negeri ini. Hasilnya baru sebatas "moving averages". Masih bergoyang kesana kemari.

Sikon politik sepertinya stabil-stabil saja, meski kaum pemberang masih ada dalam berbagai rupa seperti Petisi 100 misalnya. Yang sedikit berbeda adalah Faisal Basri. Dia katanya sudah melihat ada sejumlah Menteri yang akan mengundurkan diri dari Kabinet Jokowi. Siapa mereka. Weleh-weleh ada Sri Mulyani, MenPUPR Basuki Hadi Mulyono dan menteri-menteri asal PDIP dan Nasdem, demikian Faisal. Tapi Jubir istana langsung membantahnya, dan Sri Mulyani yang didatangi wartawan langsung menepis : Siapa bilang, kami semua masih kerja koq hingga pemerintahan ini berakhir Oktober 2024 yad.

Lalu apa yang sudah dibuat Petisi 100, apa yang sudah dibuat Faisal Basri. Pastinya Nehi besar. Saya pun menerawang ke masa lalu teringat seorang Pramoedya Ananta Toer. Ia justeru pergi dalam senyap pada 2006 lalu tanpa kata-kata berang seperti Faisal dkk.

Mari kita lihat. Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu penulis terkemuka Indonesia yang diakui secara luas karena kontribusinya terhadap literatur Indonesia. Ia lahir pada 6 Pebruari 1925 di Blora, Jawa Tengah, dan meninggal pada 30 April 2006. Pramoedya dikenal sebagai salah satu sastrawan besar Indonesia dan memiliki dampak yang signifikan dalam sastra Indonesia modern.

Pramoedya dikenal melalui karya-karya epiknya, terutama "Bumi Manusia" yang merupakan bagian dari tetralogi "Buru Quartet." Tetralogi tsb meliputi "Bumi Manusia," "Anak Semua Bangsa," "Jejak Langkah," dan "Rumah Kaca." Karya-karyanya banyak mencerminkan perjuangan dan perubahan sosial di Indonesia selama era kolonial dan pasca-kolonial.

Pramoedya Ananta Toer mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya, termasuk penahanan yang cukup lama di masa Orde Baru. Ia dipenjara oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960-an tanpa pengadilan yang adil karena dianggap memiliki keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia. Selama penahanannya, ia menulis beberapa karyanya dengan menggunakan bahan tulis yang diselundupkan ke dalam penjara.

Tetralogi yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer selama diasingkan di Pulau Buru dikenal dengan sebutan "Buru Quartet." Karya ini terdiri dari empat novel yang menggambarkan kehidupan dan perjuangan di Indonesia pada masa kolonial dan pasca-kolonial.

Bumi Manusia - 1980

Fokus pada kehidupan Minke, seorang pemuda Jawa yang berusaha menemukan identitasnya di tengah-tengah penindasan kolonial.

Menceritakan hubungan Minke dengan Annelies, seorang gadis Eropa yang mewakili ketidaksetaraan dan perbedaan sosial pada masa itu.

Menggambarkan konflik dan ketegangan antara pribumi dan penjajah Belanda.

Anak Semua Bangsa - 1981

Melanjutkan kisah Minke dan perjuangannya melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan.

Menyajikan latar belakang politik dan sosial Indonesia pada awal abad ke-20, termasuk perkembangan nasionalisme.

Menceritakan peristiwa politik yang berkembang, seperti aksi reformasi dan konflik antara pribumi dan bangsa asing.

Jejak Langkah - 1985

Menjelaskan perjalanan Minke dan perannya dalam gerakan nasionalis.

Menyoroti konflik dan pertentangan di kalangan masyarakat pribumi, termasuk ketidaksetaraan gender dan perlawanan terhadap penjajahan.

Menggambarkan kekejaman dan represi terhadap gerakan nasionalis oleh pemerintah kolonial Belanda.

Rumah Kaca -- 1988

Menutup kisah tetralogi dengan menggambarkan kehidupan Minke dan perubahan sosial di Indonesia pada saat menjelang kemerdekaan.

Menyoroti perubahan politik dan nasionalisme yang semakin menguat.

Menggambarkan ketegangan antara kekuatan kolonial dan gerakan nasionalis yang semakin membesar.

"Rumah Kaca" adalah semacam klimaks dalam tetralogi tsb. Indonesia penuh kompleksitas dan tantangan yang dihadapi setelah meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Rumah Kaca menceritakan perjuangan dalam membangun negara yang bersatu di tengah beragamnya suku, budaya, dan agama; menyoroti konflik dan pemberontakan yang terjadi pasca-kemerdekaan, seperti Pemberontakan PRRI/Permesta di awal 1950-an dan pemberontakan DI/TII yang berkembang pada periode yang sama. Menggambarkan dampak dan penderitaan masyarakat yang terlibat dalam konflik ini; menunjukkan perjalanan dan pergulatan identitas nasional Indonesia, mencari jati diri dan visi bersama sebagai bangsa merdeka. Menyoroti tantangan dalam menyatukan bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang budaya; menggambarkan kekerasan dan represi yang terjadi selama dan setelah pemberontakan, termasuk tindakan represif oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok pemberontak. Menunjukkan dampak traumatis dari pengalaman-pengalaman tsb terhadap masyarakat dan individu; menyajikan pemikiran politik dan sosial pada masanya, mencerminkan ideologi dan perdebatan yang muncul di kalangan masyarakat pasca-kemerdekaan. Menggambarkan dinamika politik dan perjuangan menghadapi berbagai ideologi dan pandangan yang berbeda.

"Rumah Kaca" menjadi sebuah refleksi mendalam terhadap sejarah Indonesia, dengan memberikan sudut pandang yang kaya dan kompleks terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan negeri ini pasca-kolonial dan pasca-pemberontakan

.

Yang menjadi catatan kelam kita disini adalah Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1967-1998) yang berpendekatan otoriter terhadap kebebasan berekspresi dan seni, serta berusaha mengendalikan narasi sejarah sesuai dengan pandangan pemerintah.

Pramoedya Ananta Toer, sebagai seorang penulis yang kritis terhadap pemerintahan, ideologi, dan sejarah resmi menjadi target dari kebijakan represif tsb.

Pandangan alternatif Pramoedya terhadap sejarah nasional Indonesia, tidak selalu sejalan dengan narasi resmi yang diusung oleh pemerintahan Soeharto. Ia berusaha menghadirkan suara-suara yang terpinggirkan dan pandangan yang berbeda terhadap peristiwa-peristiwa sejarah.

Pada tahun 1965, Pramoedya ditahan oleh pemerintah Soeharto dan diasingkan ke Pulau Buru tanpa proses hukum yang adil. Selama pengasingannya, Pramoedya dilarang menulis dan diakses oleh masyarakat umum. Kondisi ini menunjukkan ketidaksetujuan rezim terhadap pandangan dan karya-karya Pramoedya.

Pramoedya dan karya-karyanya dianggap sebagai ancaman oleh pemerintahan Soeharto. Dampaknya, karya-karya Pramoedya dilarang dan dikecualikan dari kurikulum pendidikan, dan Pramoedya sendiri dikecam dan diasingkan.

Tetralogi Buru Quartet karya Pramoedya Ananta Toer mengandung banyak pemikiran kritis, refleksi sosial, dan kebijakan politik pada masa itu. Dalam "Bumi Manusia", kita diingatkan bahwa "pendidikan adalah senjata paling ampuh dalam mengubah dunia." Dalam "Anak Semua Bangsa", kita diingatkan "akan selalu ada persamaan antara penguasa yang bijaksana dan penguasa yang mencintai keadilan." Dalam "Jejak Langkah" kita diingatkan bahwa "orang yang hanya mau membaca buku-buku yang sama sepanjang hidupnya akan mendapat hanya satu pikiran." Dalam "Rumah Kaca", kita diingatkan bahwa "Kebebasan itu pahit, dan hanya mereka yang tahu menilainya yang memilikinya. Kita harus membayar harga yang sangat tinggi untuk kebebasan."

Pramoedya Ananta Toer meninggal pada tahun 2006, dan oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan pandangan langsung tentang masa reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998. Masa reformasi dimulai setelah lengsernya Soeharto dari kekuasaan, dan tujuannya antara lain adalah meningkatkan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan sipil.

Beberapa aspek dari masa reformasi di Indonesia telah membawa perubahan positif, seperti Peningkatan Kebebasan Sipil. Masyarakat memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi dan kebebasan berbicara dibandingkan dengan masa Orde Baru. Media massa dan ruang publik memiliki kebebasan yang lebih besar untuk mengkritik pemerintah.

Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum secara teratur, dan terjadi pemilihan presiden secara langsung. Hal ini merupakan langkah positif menuju demokrasi yang lebih kuat.

Karya Pramoedya Ananta Toer yang sebelumnya dilarang selama Orde Baru, termasuk karya-karya dari Tetralogi Buru Quartet, kembali dapat diakses dan dibaca oleh masyarakat.

Meskipun demikian, reformasi juga dihadapkan pada beberapa tantangan dan kritik, seperti korupsi yang masih merajalela, ketidaksetaraan sosial, dan beberapa isu HAM yang belum terselesaikan sepenuhnya.

Tentu saja, Pramoedya Ananta Toer tidak dapat memberikan pesan langsung kepada kita, karena beliau telah meninggal pada tahun 2006.

Dalam rangka menyongsong Presiden dan Pemerintahan baru ke depan ini, pesan-pesan yang dapat dibayangkan dari seorang Pramoedya, misalnya Presiden dan pemerintahan baru nanti akan tetap mengutamakan keadilan sosial dan kesetaraan dalam kebijakan-kebijakannya. Menjamin bahwa kebijakan-kebijakan tsb melibatkan semua lapisan masyarakat, dan mengatasi ketidaksetaraan yang masih ada.

Presiden baru nanti akan semakin menegaskan pentingnya menghormati dan melindungi HAM, dan berusaha keras mengatasi masalah hak asasi manusia yang masih menjadi tantangan di Indonesia; mendorong terciptanya lingkungan yang mendukung partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pembuatan keputusan. Memastikan bahwa suara rakyat didengar dan menjadi bagian integral dari proses demokratis; menekankan pentingnya pendidikan yang berkualitas dan literasi untuk mendorong perkembangan intelektual dan pemahaman yang mendalam terhadap sejarah dan realitas sosial; konsisten menjaga kedaulatan bangsa dan mengambil kebijakan yang melindungi kepentingan nasional Indonesia, baik dalam konteks ekonomi maupun politik; tetap Fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk pembangunan ekonomi yang inklusif, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, serta pengurangan kemiskinan; konsisten mengutamakan keberlanjutan dan konservasi alam, sebagai tanggungjawab untuk menjaga kekayaan alam Indonesia bagi generasi mendatang.

Pesan yang dapat dibayangkan semacam ini mencerminkan nilai-nilai universal keadilan, partisipasi, dan kesejahteraan yang diperjuangkan oleh Pramoedya Ananta Toer sepanjang hidupnya. Dan pesan ini seyogyanya diadaptasi sesuai dengan konteks dan tuntutan zaman yang dihadapi oleh Indonesia pada masa pemerintahan Presiden baru pasca Jokowi.

Joyogrand, Malang, Tue', Jan' 23, 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun