Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Inspiratif Pramoedya untuk Kita

23 Januari 2024   13:02 Diperbarui: 23 Januari 2024   23:13 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menggambarkan ketegangan antara kekuatan kolonial dan gerakan nasionalis yang semakin membesar.

"Rumah Kaca" adalah semacam klimaks dalam tetralogi tsb. Indonesia penuh kompleksitas dan tantangan yang dihadapi setelah meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Rumah Kaca menceritakan perjuangan dalam membangun negara yang bersatu di tengah beragamnya suku, budaya, dan agama; menyoroti konflik dan pemberontakan yang terjadi pasca-kemerdekaan, seperti Pemberontakan PRRI/Permesta di awal 1950-an dan pemberontakan DI/TII yang berkembang pada periode yang sama. Menggambarkan dampak dan penderitaan masyarakat yang terlibat dalam konflik ini; menunjukkan perjalanan dan pergulatan identitas nasional Indonesia, mencari jati diri dan visi bersama sebagai bangsa merdeka. Menyoroti tantangan dalam menyatukan bangsa yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang budaya; menggambarkan kekerasan dan represi yang terjadi selama dan setelah pemberontakan, termasuk tindakan represif oleh pemerintah terhadap kelompok-kelompok pemberontak. Menunjukkan dampak traumatis dari pengalaman-pengalaman tsb terhadap masyarakat dan individu; menyajikan pemikiran politik dan sosial pada masanya, mencerminkan ideologi dan perdebatan yang muncul di kalangan masyarakat pasca-kemerdekaan. Menggambarkan dinamika politik dan perjuangan menghadapi berbagai ideologi dan pandangan yang berbeda.

"Rumah Kaca" menjadi sebuah refleksi mendalam terhadap sejarah Indonesia, dengan memberikan sudut pandang yang kaya dan kompleks terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan negeri ini pasca-kolonial dan pasca-pemberontakan

.

Yang menjadi catatan kelam kita disini adalah Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto (1967-1998) yang berpendekatan otoriter terhadap kebebasan berekspresi dan seni, serta berusaha mengendalikan narasi sejarah sesuai dengan pandangan pemerintah.

Pramoedya Ananta Toer, sebagai seorang penulis yang kritis terhadap pemerintahan, ideologi, dan sejarah resmi menjadi target dari kebijakan represif tsb.

Pandangan alternatif Pramoedya terhadap sejarah nasional Indonesia, tidak selalu sejalan dengan narasi resmi yang diusung oleh pemerintahan Soeharto. Ia berusaha menghadirkan suara-suara yang terpinggirkan dan pandangan yang berbeda terhadap peristiwa-peristiwa sejarah.

Pada tahun 1965, Pramoedya ditahan oleh pemerintah Soeharto dan diasingkan ke Pulau Buru tanpa proses hukum yang adil. Selama pengasingannya, Pramoedya dilarang menulis dan diakses oleh masyarakat umum. Kondisi ini menunjukkan ketidaksetujuan rezim terhadap pandangan dan karya-karya Pramoedya.

Pramoedya dan karya-karyanya dianggap sebagai ancaman oleh pemerintahan Soeharto. Dampaknya, karya-karya Pramoedya dilarang dan dikecualikan dari kurikulum pendidikan, dan Pramoedya sendiri dikecam dan diasingkan.

Tetralogi Buru Quartet karya Pramoedya Ananta Toer mengandung banyak pemikiran kritis, refleksi sosial, dan kebijakan politik pada masa itu. Dalam "Bumi Manusia", kita diingatkan bahwa "pendidikan adalah senjata paling ampuh dalam mengubah dunia." Dalam "Anak Semua Bangsa", kita diingatkan "akan selalu ada persamaan antara penguasa yang bijaksana dan penguasa yang mencintai keadilan." Dalam "Jejak Langkah" kita diingatkan bahwa "orang yang hanya mau membaca buku-buku yang sama sepanjang hidupnya akan mendapat hanya satu pikiran." Dalam "Rumah Kaca", kita diingatkan bahwa "Kebebasan itu pahit, dan hanya mereka yang tahu menilainya yang memilikinya. Kita harus membayar harga yang sangat tinggi untuk kebebasan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun