Aku terhanyut dalam sejarah ketika sudah berada di sisi candi yang anggun itu. Candi ini jelas hasil rekonstruksi dari para akhli mulai tahun 1800-an, 1900-an hingga yang termutahir adalah hasil topografi udara dari Tim UGM.
Guide yang ada disitu mengiyakan ketika kukatakan bahwa candi ini saat ditemukan tahun 1800-an sudah nggak utuh lagi sebagaimana halnya Candi Borobudur di Yogya-Magelang, Jateng. Ini adalah hasil akhir dari para akhli. Batu-batu aslinya boleh dikata hanya kl 20%, dan selebihnya adalah batu bata tiruan yang seukuran. Kalau yang asli berwarna agak putih kehitaman yang menurut guide adalah hasil gosokan. Jenis tanah liat seperti itu sudah tak ada lagi di Mojokerto. Yang pasti penggantinya adalah tanah liat bakaran juga yang menjadi bata merah yang seukuran dengan aslinya.
Sejarah Kerajaan masa Hindu-Buddha di Jatim dapat dibagi menjadi 4 periode. Periode pertama adalah Kerajaan Kanjuruhan di Malang yang konon sudah ada sejak tahun 900. Situs yang tersisa adalah Watu Gong di Merjosari, Malang, yang masih diteliti hingga sekarang. Periode kedua adalah Kerajaan Kediri tahun 1000-1222. Periode ketiga dilanjutkan oleh raja-raja dari masa Singosari tahun 1222-1293. Periode keempat atau yang terakhir adalah masa pemerintahan raja-raja Majapahir tahun 1293-1500-an.
Candi Brahu adalah salah satu situs yang telah disempurnakan oleh pemerintah pada tahun 1990-1995. Sejarah Majapahit benar-benar nyata. Situsnya lengkap di Mojokerto. Terbayang raja-raja Majapahit tempo doeloe rata-rata keturunan Ken Dedes yang terkenal cantik dan berkuasa di masa kejayaan Singosari di Malang sekarang.
Kami pun meninggalkan Candi Brahu yang anggun itu dengan perasaan berat. Kami singgah dulu di Rumah Makan Sambal Wader dan Botok Cak Mat. Wader adalah ikan darat yang kecil dan digoreng kering tapi masih berasa dagingnya. Dengan penganan Majapahit ini kami jelang sore kembali ke Malang via tol Pandaan-Malang.
Besoknya adalah Malam Natal. Kami sekeluarga mengikuti kebaktian Natal di GKI Bromo di downtown Malang. Luarbiasa jemaat memadat karena kami datang sedikit terlambat. Akhirnya kami terpencar ada yang duduk di balcon dan ada yang di bawah.
Pendeta Didi yang membawakan pesan Natal malam itu tampil luarbiasa. Sejak anak-anak masih kecil-kecil di Malang, aku sudah tahu bahwa pendeta yang satu ini suka menyampaikan khotbah dengan metoda multi media. Ada yang menarasikan betapa Jusuf si Tukang Kayu menerima tugas berat dan Maria si anak dara juga demikian. Tapi mereka berserah pada Tuhan. Pendeta Didi menyampaikan pesan Natalnya bahwa Kekristenan itu adalah kesederhanaan yang luarbiasa. Kedatangan Kristus ke dunia adalah untuk menyelesaikan masalah pelik di dunia ini dengan parable-parable yang sederhana. Selamat Natal dan damailah di bumi, demikian Didi mengakhiri khotbahnya.
Setelah makan Ice Cream di istananya Pak Iwan di bilangan Bromo, kami pun melewatkan malam Natal di Kajoetangan Heritages. Disini kami menikmati malam Natal bersama rakyat. Kajoetangan Heritages adalah legacy tempo doeloe juga, tapi nggak purba-purba amat seperti situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto.
Beberapa saat jelang tutup tahun 2023, kedua my daughter sudah kembali ke Jakarta. Tinggallah aku bertiga bersama Mama anak-anak dan si bontot. Lalu apa yang akan kami lakukan pada tutup tahun 2023 ini.