Alumni UGM Paling Memalukan dan Pergeseran Moralitas Dasar Bangsa
Pernah seorang Mochtar Lubis, pendiri suratkabar Indonesia raya di masa Orba bahkan Orla, menulis artikel tentang 10 kemunafikan orang Indonesia, salah satu di antaranya adalah mental korup dan culas.
Mochtar memang tegar melawan arus, dan ketika itu hanya beberapa orang saja di negeri ini yang tak pernah mau tiarap soal keadaan negara yang sebenar-benarnya. Selebihnya tiarap takut kesrempet peluru atau pecahan katakanlah hantaman artileri Bayangkan sebuah ketakutan yang "horrific" bisa seperti itu.
Dalam guliran waktu yang tak kenal lelah, masuklah kita sekarang ke zaman edan. Katakanlah begitu karena memang edan, nyaris tak ada lagi nilai-nilai legacy leluhur kita yang tersisa. Semua terkoyak zaman meski bukan hasil dari sebuah revolusi. Anatomi revolusi tak dapat menjelaskan hal ini.
Karenanya adalah penting melihat manusia Indonesia sekarang secara Antromorfis dan Sosiologis.
Pandangan dari perspektif ini terhadap manusia Indonesia dapat memberikan gambaran baru yang lebih kaya dan holistik tentang masyarakat dan individu di Indonesia.
Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari segi budaya, etnis, agama, dan geografi, sehingga ketika pemahaman ini digeneralisasi, maka kemungkinan besar tidak dapat mencakup semua realitas individu atau kelompok.
Kita harus konsisten melihat manusia Indonesia sebagai bagian dari masyarakat yang sangat beragam secara budaya. Ada lebih dari 300 etnis dan berbagai tradisi, bahasa, dan kepercayaan.
Apakah hubungan manusia dengan alam sebagai aspek penting, dengan kepercayaan dan tradisi sudah mencerminkan keberlanjutan dan harmoni dengan lingkungan. Disini kita ragu, karena banyak masalah yang harus diteliti dengan sampel yang bisa merepresentasikan seluruh populasi. Ini tak mudah tentu.
Demikian juga dengan nilai-nilai kebersamaan dan gotongroyong yang dulunya adalah ciri khas masyarakat Indonesia. Masih lekatkah itu di diri kita. Kalau nilai-nilai dimaksud hanya sepotong-sepotong di remote area, kita patut curiga bahwa nilai ini pun sudah hampir punah.
Kita kemudian harus menggunakan pisau sosiologi untuk menganalisis struktur sosial, termasuk kelas, suku, dan lapisan masyarakat, serta melihat bagaimana faktor ini mempengaruhi interaksi sosial. Apakah ini semakin bersekat-sekat dengan kesenjangan sosial yang semakin dalam atau bagaimana.
Memahami dinamika perubahan sosial di Indonesia, termasuk modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi, serta dampaknya pada identitas dan pola hidup masyarakat sangatlah penting sekarang ini. Masak kita baru sadar ada saudara kita yang baru saja meninggal beberapa saat lalu tak sampai sepelemparan batu dari rumah kita. Masak ada grup WhatsApp sesama alumni isinya hanya berdoa saja dengan berbagai emoticon agamis, tapi begitu dicek apakah saling mengetahui bagaimana keadaan masing-masing. Minta ampun, tak ada yang tahu.
Apabila realitas itu diteliti secara menyeluruh dan mendalam, kita harus berani mengakui adanya kesenjangan sosial yang disebabkan berbagai aspek, seperti ekonomi, pendidikan, dan akses ke sumberdaya.
Di bagian akhir barulah sang pemimpin berpidato di hadapan publik luas, bagaimana agar masyarakat Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara nilai-nilai tradisional dan modern dalam proses perkembangannya; bagaimana kita membentuk identitas nasional dan menjaganya, dengan mempertimbangkan kesatuan dan keberagaman di dalamnya; bagaimana agar kita sadar sepenuhnya bahwa interaksi global dan teknologi, itulah yang membentuk pola perilaku dan cara berpikir kita sekarang.
Konkretnya sebagaimana 10 kemunafikan bangsa Indonesia lontaran Mochtar Lubis tempo doeloe, kita harus berani menelisik mental kita sekarang. Mental yang dimaksud disini adalah cara individu dan masyarakat Indonesia  bereaksi terhadap lingkungan. Contoh konflik Israel-Hamas, kaum gamis tak jelas langsung heboh. Begitu juga reaksi serupa terhadap pencalonan Gibran anak Presiden sebagai peserta kontestasi Pilpres 2024. Sementara terhadap pengungsi Rohingya mereka menolak dan berfikiran negatif terhadap Rohingya. Lihat pula yang menyuarakan anti LGBT, tapi dalam keseharian perangai sex kelompok anti LGBT ini malah buruk, misalnya suka berpoligami yang dalam hal ini tentu memberhalakan sex.
Akhirnya sampailah kita pada Presiden Jokowi yang belum lama ini menanggapi kritik yang disuarakan oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Jokowi menekankan perlunya kesopanan dalam penyampaian pendapat, dengan menekankan rasa hormat dan kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional. Ia mengingatkan kita semua betapa perlunya menerapkan tata krama sesuai budaya ketimuran, merujuk pada budaya hormat dan sopan santun terhadap orang yang lebih tua yang lazim di Indonesia. Lih. thejakartapost.com dalam http://tinyurl.com/ynmjduly Â
Itulah respon halus Jokowi terhadap spanduk protes berukuran besar di dekat bundaran kampus UGM, Yogyakarta, bertuliskan pesan "Penganugerahan Nominasi Alumni UGM Paling Memalukan" dengan gambar Jokowi yang di satu sisi berhiaskan mahkota kerajaan dan sisi lainnya bertopi petani.
Gielbran M Noor, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UGM, menguraikan tiga alasan di balik keputusan menyebut Jokowi sebagai alumnus yang paling memalukan. Pertama, indeks demokrasi mengalami penurunan yang signifikan sepanjang kepemimpinan Presiden Jokowi, kedua, terjadi kemunduran konstitusi pada masa kepemimpinan Jokowi, dan terakhir, upaya Presiden dalam membentuk dinasti politik. Semua faktor tsb secara kolektif menjadi pembenaran bagi Jokowi untuk dinobatkan sebagai alumni paling memalukan, karena ia gagal menjunjung tinggi nilai-nilai yang diharapkan dari seorang alumni UGM, demikian Gielbran. Lih. thejakartapost.com dalam http://tinyurl.com/ynmjduly
Gaya sradak-sruduk atas nama demokrasi seperti ini adalah fenomena sekarang. Ketua BEM UGM itu bukan yang pertama melakukan srudukan seperti ini. Ia hanya melanjutkan tinju gaya slugger itu dari senior-seniornya yang lain ntah itu politisi, akademisi, podcaster dst. Itu semua hanya karena Gibran Rakabuming Raka dipasangkan dengan Prabowo, setelah MK membuahkan sebuah keputusan yang diduga didorong oleh Presiden Jokowi.
Inilah mental bangsa kita yang mencuat sekarang dalam merespon sesuatu. Dengan pendekatan Antropomorfis dan Sosiologis terurai di muka, kita tahu bahwa kaum yang tak pernah bisa menerima realitas politik sekarang hanyalah cerminan kompleksitas dan keragaman nilai di dalam masyarakat.
Respons yang cepat dan kuat terhadap konflik Israel-Hamas adalah cerminan tingginya sensitivitas dan perhatian terhadap isu-isu internasional, terutama yang melibatkan umat Islam. Selebihnya masa bodoh.
Pencalonan Gibran sebagai peserta kontestasi Pilpres 2024 yang memicu berbagai reaksi karena keterkaitannya dengan keluarga presiden. Respons ini mencerminkan ketertarikan luarbiasa terhadap politik dan keprihatinan akan dinasti politik.
Tolakan dan sikap negatif terhadap pengungsi Rohingya setidaknya dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ketidaktahuan, stereotip, atau bahkan ketegangan politik regional.
Sikap anti-LGBT mencerminkan norma dan nilai-nilai sosial tertentu. Namun, perbedaan antara pandangan publik dan perilaku pribadi menunjukkan kompleksitas dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai tsb.
Meskipun ada penolakan terhadap LGBT, praktik poligami dapat diterima dalam masyarakat tertentu, mencerminkan keragaman nilai dan pandangan seputar perilaku seksual.
Beberapa isu dapat menciptakan konsensus, sementara isu lainnya memicu perdebatan dan perbedaan pandangan.
Itulah Indonesia now yang memiliki keragaman yang signifikan. Kita sungguh berada dalam turbulensi dan dinamika yang berkembang semakin cepat seiring waktu. Ada perubahan moralitas dasar dalam masyarakat, khususnya terkait dengan kebebasan dan demokrasi, yang menjadi topik kompleks dan membutuhkan analisis multidimensional.
"Man lives by bread alone" (manusia hidup bukan hanya dengan roti). Kebutuhan manusia tidak hanya terbatas pada aspek materi atau kebutuhan fisik saja, tetapi juga mencakup dimensi spiritual, emosional, dan sosial. Ini sebagai pengingat bahwa kehidupan manusia tidak hanya seputar pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi juga melibatkan nilai-nilai yang jauh lebih tinggi, hubungan sosial, dan makna dalam hidup.
Dalam realitas politik sekarang, urbanisasi dan modernisasi yang overdosis, membuat banyak anak bangsa fokus pada pencapaian materi dan kebutuhan dasar untuk mencapai kesejahteraan. Apapun dihalalkan untuk itu,
Kalangan milenial dan gen Z melihat struktur atas yang berperilaku seperti itu sebagai manipulatif dan koruptif, Mereka marah, mereka mengamuk dan mereka bertinju dengan gaya slugger di jalanan.
So, tak cukup hanya dengan kata-kata untuk mensolusikannya, tapi harus dengan terobosan dialog terbuka dan konstruktif antara generasi muda, akademisi, dan pemerintah. Hanya itu kunci yang tersisa untuk memahami perubahan yang terjadi sekarang dan bagaimana kita mencari solusi seimbang yang seharusnya, dimana kita dapat tegak berdiri sebagai bangsa yang santun dari belahan timur dunia, dan bukannya jadi bangsa pemberang yang bisanya hanya mencacimaki, berkelahi dan demo dimana-mana.
Joyogrand, Malang, Thu', Dec' 21, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H