Manganlangi dan Bancakan dalam Sistem Presidential Kita
Di Sumatera utara, khususnya di tanah Batak, dikenal istilah "Anlang", dengan bentukan lain "Anlang-hon" dan "Manganlangi". Artinya makan, makanlah dan makan ramai-ramai. Istilah yang tempo doeloenya tak ada masalah itu, kini merujuk pada masalah korupsi dalam proyek-proyek pembangunan, dimana orang bisa makan ramai-ramai sampai kenyang dan sekenyang-kenyangnya.
Istilah manganlangi di tanah Batak ini bermuasal dari kecilnya APBD dan pendapatan asli daerah, sehingga apapun akan dikorupsi asal-lah bisa "mangan" atau makan dan kalau bisa manganlangi atau makan kenyang sekenyang-kenyangnya.
Dalam perjalanan waktu, manganlangi ini menjadi kebiasaan buruk yang sulit dihapuskan, bahkan di kota Medan istilah manganlangi jauh lebih keras lagi dalam praktek, sampai istilah "sumut" diplesetkan menjadi semua urusan melalui uang tunai, dan karena banyaknya batak-batak perantau di seantero nusantara, maka dalam perjalanan waktu lebih jauh, kebiasaan manganlangi ini merembet hingga ke seluruh kota-kota besar di Indonesia.
Tak heran pulau Jawa yang menjadi pusat pembangunan di negeri ini mengikuti irama manganlangi di tanah Batak. Dalam peristilahan Jawa dikenal istilah "bancakan" (selamatan atau kenduri dan makan ramai-ramai) untuk proyek besar maupun kecil yang dalam pelaksanaannya menjadi katakanlah Nasi Padang yang dimakan ramai-ramai oleh pelaksana proyek dkk.
Singkatnya mangalangi dan bancakan menjadi kebiasaan buruk yang sulit dihapus dalam proyek-proyek pembangunan di negeri ini. Istilah proyek hanya berarti ada rezeki dan kita bisa kenduri dan makan besar disitu.
Bah holan na mangalangi do ho puang. Piye kabar e cak. Wis wareg toh. Hoi, makan sajalah kerja kau sekarang. Hei bagaimana kabarnya kawan, yang pasti sudah kenyang kan. Batak dan Jawa dalam term itu benar-benar bersanding manis. Ketemu di resto A, ayo makan. Ketemu di Hotel B, ayo makan lagi. Ketemu di lapo tano Batak, anlang hon sude na adong dilapo on asa butongan ho. Ketemu di Lapo atau di warung makan tradisional, ayo habiskan semua yang ada di warung ini, agar kita kenyang betulan. He He ..
Kebiasaan manganlangi dan bancakan ini ntah berangkat dari makan untuk hidup, atau hidup untuk makan. Bang Thoyib pun bingung. Mana yang benar. Idealisme kenyang yang terdegradasi menjadi pragmatisme kenyang. Apakah idealisme kenyang itu hanya berlaku ketika populasi kecil dan begitu membesar dan membesar dan kompleks kemudian berubah dengan sendirinya menjadi pragmatisme kenyang. Wallahualam bissawab waillaihil marji walmaab ..
Bagaimana kita mengatasi ini, kalau bisa memutusnya habis. Apakah harus ke Antropomorfisnya dulu atau ke masalah sosiologisnya dulu. Karena sampai sekarang bancakan dan menganlangi masih berlaku dalam proyek besar maupun kecil. Lihat kasus korupsi terbaru di negeri ini, yi mega proyek BTS Kemenkominfo, dimana negara dirugikan kl 8,2 trilyun rupiah. Sudah cukup lama penganut mazhab manganlangi dan bancakan dalam proyek ini makan besar. Tapi aktor utamanya belum juga kelihatan. Bukankah ini hanya berarti ada yang melindunginya. Biarlah pion-pion yang berguguran, tapi raja, menteri dan benteng harus dilindungi.
Pengadilan untuk kasus mega korupsi BTS Kemenkominfo ini sudah berjalan memang. Kuasa hukum anggaran yi Menkominfo Johnny G.Plate sudah menjalani persidangan, termasuk belasan orang dari pihak kontraktor. Tapi yang terpenting disini cukup banyak yang tahu korupsi BTS yang luarbiasa itu erat kaitannya dengan parpol tertentu. Bukankah penguasa anggaran Menkominfo Johnny G. Plate adalah Sekjen Nasdem. Manganlangi dan bancakan yang dilakukan disini tentu untuk kepentingan Pilpres 2024. Uang yang diembat dipastikan untuk perbohiran Pilpres 2024. Bukankah korupsi mega proyek ini memerlukan penyidikan dan pembuktian lebih jauh. Rp 8,2 trilyun yang raib tak mungkin hanya kerjaan Nasdem sorangan wae. Parpol ybs pasti berkoalisi khusus dalam konteks manganlangi dan bancakan tadi. Bukankah pekerjaan manganlangi dan bancakan ini adalah pekerjaan ramai-ramai.