Pergeseran Guntur adalah perubahan politik yang menarik. Keputusan kalangan millenial seperti ini tentu tak lepas dari berbagai pertimbangan, seperti strategi politik, ideologi, atau tujuan tertentu yang ingin dicapai. Guntur tentu yakin dengan pilihannya kali ini bahwa  ke depan ini ia akan berumah di Senayan. Bukankah PDIP partai kuat yang tahan banting meski belum yang terkuat karena terfragmentasi oleh vox pop.
Begitu juga dengan Budiman Sudjatmiko yang adalah kader PDIP, dan belum lama ini memberikan dukungannya kepada capres Gerindra Prabowo. PDIP sejauh ini belum memberikan sanksi, sedangkan Budiman yang mengantisipasi hal itu  mengatakan ia adalah kader sejati PDIP sejak awal dan tak mungkin keluar dari PDIP.
Dalam kasus Budiman Sudjatmiko yang memberikan dukungannya kepada kandidat presiden dari Partai Gerindra, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tsb :
Pertimbangan Ideologi atau Kebijakan. Budiman memiliki pandangan yang lebih cocok dengan visi atau kebijakan yang diusung oleh kandidat presiden dari Gerindra.
Pertimbangan Strategis. Dukungannya kepada Prabowo dipicu oleh pertimbangan strategis dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Ia yakin Gerindra bukanlah partai dinasti sekalipun ada adik Prabowo disitu termasuk keponakannya. Juga semakin terang-benderang Gerindra adalah partai nasionalis sebagaimana PDIP. Ini terlihat sejak Gerindra mulai menjauh dari kaum fundamentalis garis keras.
Pengaruh Personal. Hubungan personal Budiman dengan Prabowo dibangun paradoks dari semula musuh menjadi kawan karena pengalaman historis yang sama. Ia melihat Prabowo yang semakin menua sudah banyak berubah. Ia banyak terinspirasi dari situ.
Kalaupun Budiman menyatakan ia adalah "kader sejati PDIP sejak awal" dan tak mungkin keluar dari partai, hal ini tentu terkait dengan identitas politik dan perasaan keterikatannya terhadap PDIP. Meskipun dukungan politiknya beralih, ia merasa tetap terikat dengan sejarah dan nilai-nilai yang pernah dianut selama ia menjadi anggota PDIP.
Ini adalah fenomena yang setidaknya menggambarkan betapa generasi millenial dan generasi di bawahnya adalah massa pemilu zaman now yang sensitif dengan kecenderungan kepemimpinan parpol sekarang yang menomorsatukan politik dinasti dan sangat terikat dengan dogma lama misalnya PDIP yang jauh sebelumnya telah memerintahkan kadernya Ganjar dan Gubernur Bali untuk keluar dari rel pergaulan internasional dengan menolak kehadiran Tim Israel dalam piala U20, yang berakibat fatal, dimana Indonesia dikenakan sanksi oleh FIFA. Ini memalukan, masak masih berpegang pada dogma lama dalam politik yang tak layak lagi untuk dipertahankan, bahkan Presiden Jokowi pun dipermalukan jadinya karena kasus dogmatis dalam politik luar negeri semacam ini. Sedangkan Pangeran Salman calon pengganti dinasti Saudi saja tidak seperti itu. Koq bodoh jadi pion Hamas sampai sekarang.
Generasi milenial dan generasi internet sekarang memiliki pengalaman dan pandangan dunia yang berbeda dari generasi sebelumnya, dan ini jelas tercermin dalam pandangan mereka terhadap keadaan dunia dan bagaimana negara ini harus mengambil sikap modern yang tidak dogmatis.
Beberapa faktor yang kuranglebih berperan dalam fenomena tsb :
Perubahan Nilai dan Prioritas. Generasi muda sekarang lebih mengedepankan nilai-nilai seperti keterbukaan, inklusivitas, dan responsivitas terhadap isu-isu global. Ini mempengaruhi pandangan mereka terhadap partai politik yang dianggap memiliki sikap kaku atau dogmatis.