Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Cawapres 2024: Alot tapi Super Elastis Menggemaskan

14 Agustus 2023   18:53 Diperbarui: 14 Agustus 2023   19:03 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cawapres 2024 : Alot tapi Super Elastis Menggemaskan

Pemilu demokrasi dimanapun sama. Yang berbeda hanya usianya saja, apakah demokrasi di sebuah negara masih anak-anak, remaja, pemuda atau sudah matang dan dewasa dalam berdemokrasi.

Benar Francis Fukuyama bahwa demokrasi liberal adalah puncak dari evolusi politik umat manusia, dengan catatan kebenaran ini tak boleh dipukul rata harus seperti demokrasi ala barat yang banyak diwarnai AS, Inggeris dan Perancis, tapi tentu bergantung pada banyak hal utamanya masalah kultural. Singkatnya, negara-negara modern sekarang pastilah berdemokrasi, tapi tentu disesuaikan dengan sikon kulturalnya.

Begitulah dengan Indonesia yang kini sedang "hepot" menuju pesta rakyat yi pemilu serentak pada 2024 yad. Partai lama sibuk menata partainya bagaimana agar berhasil meraup suara sebanyak-banyaknya. Partai baru tapi bukan barang baru melainkan stock lama yang berhasil terdaftar kembali di KPU sibuk berkasak-kusuk bagaimana agar parliamentary threshold dapat terpenuhi pada pemilu yad. Pokoknya gue harus bisa duduk di senayan. Taktik yang termudah adalah dengan pendekatan "tail coat effect", seperti PSI yang mendekati Kaesang untuk Walkot Depok, termasuk mendekati Prabowo, plus memperbanyak artis dan musisi di barisannya, siapa tahu tail coat effect dari semuanya itu bisa menyelamatkan PSI dalam pemilu yad.

Lalu bagaimana dengan persiapan Capres. Sejauh ini tak ada lagi kabar-kabari lain ntah Mbak Rieke Dyah Pitaloka PDIP jadi capres misalnya. Kalau ini yang terjadi pasti geger. Tapi jumlah yang diusung jadi capres hanya 3 nama itu saja, yi Prabowo Soebianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.

Kl 5 bulan lagi ke depan kontestasi capres sudah akan dimulai. Tapi soal cawapres yang bakal mendampingi ketiga capres itu masih terombang-ambing di lautan politik, mirip permainan bola di stadion GBK. Bola sibuk digocek di lapangan penalti dan ditendang kembali ke arah kapten kesebelasan agar sang Kapten mengarahkan kembali bola kepada ujung tombak kesebelasan yang berlarian di seputar gawang lawan. Capek deh, komentar sejumlah orang.

Meski belum terjadi pertumbukan besar dalam kontestasi Pilpres, tapi penetapan cawapres kali ini memang berbeda dengan pilpres yang sudah-sudah. Permainan terkesan alot, tapi minta ampun Super Elastis Menggemaskan. Anies dan Nasdem yang mencapreskannya sebagai contoh. Betapa banyak diksi politik yang dipakai antara memilih AHY atau cawapres yang diusung PKS, atau malah cawapres alternatif yang mungkin punya efek besar terhadap suara pemilih, misalnya mencawapreskan Yenny Wahid, atau Soesi Pudjiastuti dst. Tapi sejauh ini Nasdem dan Anies belum bisa mengambil keputusan untuk itu. Begitu juga dengan Prabowo Soebianto dan Ganjar Pranowo. Malah yang terjadi adalah saling kunjung antar capres, dan bukannya segera menentukan cawapres yang bakal mendampinginya.

Ini semua bukan sekadar melamban begitu saja. Tetapi kunci utama disini adalah Presiden Jokowi sendiri. Jokowi menjadi faktor kunci setelah Bung Karno. Dengan kata lain, Jokowi adalah tokoh nasional kedua yang mampu memancarkan aura yang mampu menghipnotis publik luas. Ini bukan neo-feodalisme yang banyak dituduhkan barat. Tidak. Jokowi adalah role model dalam Sistem Demokrasi Pancasila now. Kepemimpinannya yang teduh, kemampuannya mengeksekusi sebuah kebijakan strategis dan kedekatannya kepada wong cilik tanpa harus menghardik semua lawan politiknya yang diwakili para buzzers bermulut tajam seperti Rocky Gerung dan Refly Harun misalnya. Itu semua telah menaikkan pamornya di pentas nasional maupun internasional. Tak heran tingkat kepuasan rakyat mencapai kl 80%. Ini sungguh fantastis, bahkan telah memecahkan rekor kepemimpinan nasional mulai dari Habibie hingga Esbeye.

Tak heran semua capres sibuk mengintai kemana langkah Jokowi berikutnya setelah belum lama ini seakan-akan mendukung Prabowo. Mereka sadar, kemana Jokowi melangkah, maka jejak langkahnya pasti berpengaruh sangat besar terhadap capres yang berada di jejak langkah itu.

Exposure dan/atau hipnotisme inilah yang membuat pengusungan cawapres ketiga capres definitif itu jadi agak tersendat. Pilah-pilihnya terkesan alot sekaligus super elastis, karena terpaku pada langkah Presiden dalam mengakhiri masa kekuasaannya pada Oktober 2024 yad. Jelas marketing politik disini gugur tak berdaya melawan pesona seorang Jokowi.

Yang paling tobing alias tolol bingung dari semuanya itu adalah Nasdem yang telah mencapreskan Anies. Tawar-menawar begitu alotnya dalam persidangan Menkominfo Johnny G. Plate yang adalah Sekjen Nasdem. Sejak semula para akhli menduga ini soal bohir atau penyandang dana kelas kakap yang tak kunjung tercapai, maka Johnny G, Plate telah mempertaruhkan jabatannya demi bohir dimaksud. Celakanya ntah bagaimana dia ketangkap basah. Coba apakah persidangan telah berhasil menguak kemana larinya uang yang kl 8 trilyun itu. Kalaulah ada goodwill, itu pasti bisa dikuak, tapi residu budaya lama yang belum juga terkikis hingga kini adalah upaya (dengan segala cara) menutupi kasus besar semacam ini hanya demi perkawanan dan persaudaraan. Inilah "cultural decay" kita yang belum terkikis meski era KKN Soeharto sudah sangat jauh di belakang.

Sebagai lagu hiburan di tengah kejenuhan penantian cawapres yang tak kunjung muncul itu, puteri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid, menyebut bacapres KPP atau Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, paling cocok berpasangan dengan Ketum Demokrat  AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono di Pilpres 2024.

Menurut Yenny, duet Anies-AHY paling cocok. Restu itu diberikan Yenny selepas acara launching buku Tetralogi Transformasi AHY di Djakarta Theatre, Kamis 10 Agustus lalu. Apalagi PD tandingan yang dipimpin Moeldoko kalah telak dalam pengajuan kasasinya ke MK.

Pesona Gus Dur memang luarbiasa, tak lekang oleh perubahan zaman. Meski sudah cukup lama tiada, dinastinya masih tegak berdiri dengan kepemimpinan Yenny sekarang. Tapi lamaran terhadapnya semua ditampik secara halus oleh Yenny.

Soal Ganjar Pranowo yang masih kebingungan sejak dicapreskan secara resmi oleh Megawati beberapa waktu lalu setelah menyadari sepenuhnya bahwa puterinya Puan Maharani jeblok elektabilitasnya, boleh jadi atas restu Mega, selaku petugas partai Ganjar telah melamar Yenny untuk cawapresnya. Tapi apa mau dikata, Yenny berkelit halus seraya berkata diplomatis bahwa Bacapres PDI-P Ganjar Pranowo bukan merupakan sosok yang asing bagi keluarganya.

Kalaupun Ganjar pernah menemui ibunya, Sinta Nuriyah, saat haul atau peringatan hari ulang tahun Gus Dur. Yenny menyebut kedatangan Ganjar adalah  untuk menyambung hubungan baik yang sudah terjalin. Ditambahkannya, ia sempat bertemu Ganjar saat berada di Jawa Tengah. Dalam pertemuannya dengan Ganjar, Yenny mengaku tak ada obrolan soal Pilpres 2024.

Lalu bagaimana dengan Bacapres Gerindra yi Prabowo Soebianto. Boleh-boleh saja, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya mendapat dukungan baru dari Golkar dan PAN belum lama ini. Total kini ada 4 partai yang mengusung Prabowo Soebianto sebagai Bacapres 2024.

Mengutip Airlangga Hartarto, Partai Golkar menjatuhkan pilihan pada Prabowo Soebianto, karena ia lahir dari rahim Partai Golkar. Sementara PAN melalui pertimbangan yang matang, Dewan PAN telah memutuskan untuk memberi dukungan pada Prabowo Soebianto, demikian Zulkifli Hasan.

Keempat ketum yi Gerindra, PKB, Golkar dan PAN secara resmi menandatangani kerjasama politik yang dilakukan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu 13 Agustus lalu.

Semuanya itu terkesan biasa-biasa saja. Yang terasa sedikit menggetarkan adalah ancaman terang-terangan Yenny terhadap Gerindra. Dalam tayangan Rosi KompasTV 10 Agustus lalu, Yenny mengatakan keluarga besarnya dan Gusdurian tidak akan dukung Prabowo jika Cak Imin atau Muhaimin Iskandar jadi pendampingnya.

Yenny Wahid, menyentil Muhaimin yang ngotot maju sebagai cawapres pada 2024 dengan menunggangi PKB sebagai kendaraan politik. Yenny mengatakan, perilaku Cak Imin yang mengkudeta Gus Dur di awal reformasi adalah alasan kuat untuk tidak mendukung sepupunya itu. Namun, Muhaimin tak mau menjawab sentilan dari Yenny. "Wis enggak usah dibahas, itu barang lawas kabeh .... kata Cak Imin.

Meski Sekjen Gerindra Ahmad Muzani telah merespon Yenny Wahid dan keluarga Gus Dur soal dukungan untuk Prabowo, dimana menurut Muzani belum ada keputusan wakil presidennya. Hubungan kami dengan Mbak Yenny baik-baik saja. Tapi Muzani juga memastikan Cak Imin masih menjadi bacawapres terkuat untuk Prabowo Soebianto.

Akhirnya membaca Bacapres Prabowo Soebianto, tidaklah terlalu sulit. Lepasnya Ferdi Sambo dari hukuman mati sebagai contoh aktual, termasuk diskon-diskon lain kepada isteri dan anak buahnya. Keputusan MA itu hanya menunjukkan bahwa Brigjo atau Yosua Hutabarat yang dihabisi secara keji oleh Sambo sama seperti korban-korban '98, korban Tg Priok dan korban-korban lain ntah dimanapun itu sejauh di Indonesia. Mereka adalah korban dari kejahatan yang pelakunya harus diungkap.

Ketika negara tak mampu mengungkapnya, maka warganegara yang bernurani tentu harus mampu menentukan sikap berpihak pada keadilan. Contoh lain, kasus KPK belum lama ini yang setelah "digeruduk" serombongan bintang-bintang korps, seharusnya mengingatkan bangsa ini bahwa ada kelompok elite yang untouchable. Kelompok pemegang bedil yang menjadi penguasa sesungguhnya di negara-negara seperti Thailand dan Pakistan.

Pemerintah kita sejauh ini belum mampu mengungkap kasus 65, kasus Tg. Priok, kasus Mei '98, Mapenduma dst bukan karena kompleksitas permasalahan itu, melainkan karena menyangkut kelompok elite untouchable pemegang bedil.

So tamsil barunya disini Capres Prabowo yang mau dicoblos itu memang penjahat kemanusiaan. Ada dendam publik luas disini, karena ada korban. Ada korban berarti ada penjahatnya. Kalau tetap mau mencoblos Prabowo juga? Itu dagelan yang nggak lucu.

Kenapa MA meringankan hukuman Ferdi Sambo, dari hukuman mati ke hukuman seumur hidup? Kenapa MA menyunat hukuman Putri Chandrawati, dari 20 tahun ke 10 tahun? Kenapa negara melanggengkan stigma buruk dan hukuman administratif terhadap para keturunan anggota PKI dan afiliasinya? Kenapa korban begal yang berhasil membela diri sampai si begal terbunuh, malah dipenjara? Kenapa pedagang kecil di Bogor yang protes terhadap monopoli perdagangan yang dilakukan seorang Habib, malah dipenjara? Jawaban singkat untuk semua pertanyaan itu adalah negara belum mampu menyelesaikannya.

Kenapa Prabowo tidak diadili atas segala kasus dugaan kejahatan HAM di masa lalu? Kalau jawabannya karena Prabowo tidak bersalah. Disinilah kerancuannya. Kalau begitu jawabannya, maka pertanyaan-pertanyaan di atas harus dikoreksi. Misalnya Ferdi Sambo nggak terlalu jahat; Putri Chandrawati nggak bersalah sepenuhnya; karena keturunan PKI dan afiliasinya memang layak diperlakukan buruk selama-lamanya; karena korban begal yang membela diri tsb adalah pembunuh apapun kausalitasnya; karena pedagang kecil itu cerewet dan sok demo sama sang Habib, maka harus dipenjara biar kapok dst.

Siapa bilang Prabowo akan dapat melenggang begitu saja begitu didatangi Golkar dan PAN. Siapa bilang Ganjar Pranowo akan moncer ke depan ini. Siapa bilang Anies akan aman bersama AHY. Semuanya terayun-ayun seperti layangan putus di angkasa biru Indonesia.

Kita butuh seorang yang berkemampuan melanjutkan legacy Presiden Jokowi. Ganjar masih meragukan karena dia tak kurang tak lebih adalah petugas partai yang tiba-tiba ditunjuk sebagai pengganti Puan Maharani yang lebih dulu dicapreskan PDIP. Anies Baswedan kecebur mentah-mentah ke kubangan kotor Nasdem yang bereksperimen dengan perbohiran Menkominfo Johnny G. Plate yang gagal total. Prabowo Soebianto, publik luas takkan pernah mendukungnya karena korban masa lalunya yang kelam khususnya korban '98 yang belum pernah kembali sampai sekarang.

Jokowi yang meloncat kesana-kesini jelang akhir kekuasaannya menyerahkan persoalan ini kepada bangsanya apakah sudah dewasa matang, atau masih tetap seperti balita dalam berdemokrasi, yi pasrah dengan capres sekelas Prabowo, Ganjar dan Anies yang pasti takkan sanggup memegang tongkat estafet dari Presiden Jokowi.

Mumpung masih ada waktu, wahai publik luas segeralah cari Capres dan Cawapres alternatif, ntah itu Susi Poedjiastuti, Sri Mulyani dll yang tau persis bagaimana memegang tongkat estafet dari Presiden Jokowi. Jangan sampai telat lo ..

Joyogrand, Malang, Mon', August 14, 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun