Mikro dan Makro Kosmos dalam Spritualitas Kita
Berbeda dengan Cogito Ergo Sum-nya Rene Descartes, bahwa Akal-lah Yang Berdaulat, dan disitulah keberadaan kita, maka saya lebih memilih "Yang Maha-ada ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam dia".
Kita akan melihat keberadaan kita dari perspektif Mikro dan Makro Kosmos. Tentu kita tidak melihatnya habis-habisan seperti ilmuwan di Lembah Silicon AS misalnya. Cuilan-cuilan kecil saja yang kita ambil.
Dalam konteks Makro Kosmos, mengapa kita harus peduli dengan cincin Saturnus, peduli dengan planet merah Mars, peduli dengan bintang-bintang di langit dst.
Pikirkanlah jika tak ada alam semesta yang mengelilingi planet bumi ini, maka manusia akan memiliki sedikit alasan untuk memikirkan keberadaan mereka dan akan malas merenungkan realitas di luar diri mereka. Kita akan menutup diri, berbalik ke dalam, dan miskin dengan kreatifitas dan imajinasi.
Alih-alih, keberadaan Saturnus dan cincinnya menginspirasi kita untuk merenungkan tempat kita di alam semesta yang luas ini dan memikirkan mengapa kita ada disini. Kita diundang ke tempat khusus lainnya selain milik kita sendiri. Di sisi lain, dibandingkan dengan luasnya kosmos yang terus berkembang, kita merasa sangat kecil. Kita kemudian bertanya kepada diri kita sendiri : Apakah hidup kita yang sementara ini penting?
Kita sering kewalahan oleh pertanyaan-pertanyaan ini katakanlah ketika kita duduk sendirian di sebuah taman terbuka dan takjub betapa banyak hal yang terjadi di pentas mikroskopis dan makroskopis. Sebagai contoh, tangan kita yang dapat kita gerakkan dan gunakan sesuka hati kita untuk merasakan apa yang ada di sekitar kita.
Tangan adalah bagian dari tubuh kita, yang adalah "diri kita sendiri", yi "keberadaan" nyata kita yang tersusun dari materi dan menempati ruang di planet biru ini. Tubuh kita terdiri dari banyak organ, jaringan dan sel, dimana reaksi yang terjadi di situ berdatangan dari banyak molekul dan elemen, yang terdiri dari atom yang terus-menerus terlibat dalam pertukaran kovalen dan ion, yang tersusun dari proton, neutron dan elektron, bahkan dari partikel yang lebih kecil, seperti quark.
Dalam skala yang lebih besar, kita berpikir tentang ekosistem dan hubungan antara organisme hidup dan benda mati, estetika dan keindahan obyektif dalam persamaan dan angka, keseimbangan dan situasi yang stabil di alam semesta, evolusi, waktu, memori, ruang, black hole atau lubang hitam, galaksi .. Daftarnya bisa lebih panjang lagi. Bayangkan menyadari semuanya itu terjadi pada saat yang bersamaan. Pikiran kita pastilah meledak, kalaulah itu mesiu.
Semua kompleksitas yang terjadi di alam semesta ini membuat kita bertanya-tanya apakah semua yang kita lakukan, pikirkan dan rasakan dapat dijelaskan dengan obyektifitas murni dan kalaulah benar tidak ada "aku" subyektif yang mengambil keputusan. Apakah hubungan "cinta", misalnya, benar-benar otentik? Atau apakah itu hanya hormon dan proses evolusi yang bekerja?
Di sisi lain, perlukah ada dikotomi antara kekuatan yang tampaknya bertentangan? Kita mengatakan ini karena kita tidak dapat memahami seluruh alam semesta dalam pikiran kita, satu-satunya yang konstan sepanjang meditasi kita adalah semuanya terhubung.
Pada tingkat makroskopis dan mikroskopis, materi terus berinteraksi. Kita melihat ini dalam anatomi dan fisiologi, ikatan ionik dan kovalen, reaksi  kimia, persamaan matematika, ekosistem dan orbit planet. Tidak ada keberadaan yang terisolasi. Segala keberadaan ada dalam hubungannya dengan sesuatu yang lain. Bahkan dari tingkat biologis yang paling mendasar, semuanya tentu saling bergantung, dan ini terutama berlaku bagi kita anak manusia.
Jika cinta entah bagaimana bisa diwakili secara matematis. Ide yang ditawarkan adalah "pi". Pastinya pi adalah "bilangan transendental", yang berarti bukan solusi dari persamaan polynomial (bilangan tak tentu) apapun seperti x4+3x^2+2 = 0. Penjelasannya, angka pi adalah benar-benar acak, dan akan selamanya begitu, di beberapa titik, deretan angka apa pun akan terjadi di pi. Jadi, dalam banyak hal, representasi matematis terkait kita dan segala sesuatu di alam semesta, dikodekan di pi. Dan jika memang begitu adanya, maka mungkin cinta dapat dikodekan dalam pi, salah satu konstanta dasar alam semesta.
Pertanyaan berikut dapatkah manusia direpresentasikan secara matematis? The answer, partikel-partikel-lah yang membentuk kita. Partikel-partikel itu boleh jadi lebih banyak dari kita. Percayalah itu ada. Pi dapat merepresentasikan fakta bahwa kita dapat berbagi emosi yang disebut "cinta" yang berarti menunjuk ke realitas yang lebih tinggi yang bahkan jauh lebih indah.
Mungkin realitas itu adalah "self gift" (cinderamata kudus anugerah Ilahi). Jika anda benar-benar memikirkannya, Yang Maha-ada dan alam semesta menganugerahkan dirinya sendiri kepada kita dengan penuh sukacita. Pikirkan tentang hal itu saat anda berjalan. Anda tidak memerintah dan menguasai tanah. Tanah menyerahkan dirinya kepada tubuh anda sebagai tempat untuk berdiri, dan gravitasi adalah kekuatan yang bekerja yang membantu anda tetap di tanah. Semuanya adalah "self gift" dan semuanya terpanggil untuk berinteraksi, berpartisipasi dan berhubungan satu sama lain.
Dalam sebuah peribaratan, katakanlah seorang anak meminta ayahnya untuk memecahkan teka-teki : Ada alasan untuk dunia : Engkau dan Aku". Sang ayah menjawab alasan bahwa dunia begitu terikat dengan pertanyaan, "siapakah aku?". Tetapi, ada rahasia yang masih harus kita temukan, yi misteri awal waktu. Tidaklah bijaksana bagi kita untuk melihatnya .." Sang anak menyela, kemudian berkata, "engkau mencari petunjuk? Aku mencintaimu sepenuhnya tanpa reserve .."
Ada begitu banyak yang tidak kita ketahui, namun pencarian makna keberadaan khusus kita tetap ada. Kita tahu kebenaran yang kita cari hanya dapat ditemukan dalam hubungan. Itu terbukti bahkan di tingkatan biologis di alam semesta. Dan itu dalam hubungan "self gift" atau anugerah diri : Aku mencintaimu dengan bebas."
Yang Maha-ada dalam pengalaman transendental kita adalah sesuatu yang "self gift" itu. Kita disatukan oleh cinta. Kita juga dapat memahami hal ini secara lebih konkret dengan memikirkan tentang laminin (fondasi jaringan protein untuk sebagian besar sel dan organ), yang berbentuk cross (meskipun tampak lebih berlekuk-lekuk di foto), molekul adhesi sel yang menahan satu sel ke sel lain di tubuh kita. Tanpa keluarga protein ini yang menyediakan struktur pada membran dan jaringan kita, pada dasarnya kita akan berantakan. So, dari perspektif yang lebih literal, kita disatukan, dari satu sel ke sel lainnya.
Untuk menjawab pertanyaan dan merenungkan makro kosmos dan keberadaan segala sesuatu, tidaklah salah bertanya kepada sains, matematika dan teknik untuk kemudian dapat berpikir lebih jauh tentang perspektif ini, karena itu adalah bidang yang jarang kita dengar dalam dialog filsafat, teologis dan spritualitas. Bagaimana kita dapat bertemu dengan Tuhan melalui bidang seperti ini? Bagaimana studi ini melibatkan dunia yang kompleks tapi menarik yi tempat kita hidup sekarang? Itu semua akan menggerakkan kita untuk bertanya-tanya.
Memasukkan elemen ilmiah ke dalam diskusi tentang makna eksistensi adalah pendekatan yang sangat bernilai dan dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara dimensi spiritual dan alam material.
Konsep ini dapat dibingkai sbb :
Interdisiplin dan Integratif. Melibatkan ilmu pengetahuan dalam dialog teologis, spiritualitas, dan filsafat memungkinkan pendekatan interdisipliner yang lebih kaya. Kita dapat mengintegrasikan temuan ilmiah tentang alam semesta, misalnya, dari astronomi, fisika, biologi, dan lainnya, dengan pertanyaan filosofis tentang tujuan hidup, eksistensi Tuhan, atau makna keberadaan. Pendekatan ini bisa menyediakan wawasan baru yang bermanfaat bagi kedua bidang.
Keseimbangan Rasionalitas dan Kepercayaan. Menggabungkan aspek ilmiah dengan diskusi teologis dan spiritual dapat membantu menciptakan keseimbangan antara rasionalitas dan kepercayaan. Ini bisa membantu melihat bahwa sains dan spiritualitas tidak selalu saling bertentangan. Sementara ilmu pengetahuan dapat menjelaskan bagaimana hal-hal berfungsi, pertanyaan mengenai tujuan dan makna seringkali masih menjadi domain filsafat dan spiritualitas.
Mengatasi Kesenjangan. Adalah benar dialog antara sains dan spiritualitas terkadang kurang diperhatikan. Ini bisa mengakibatkan kesenjangan dalam pemahaman manusia tentang dunia. Dengan memasukkan perspektif ilmiah dalam diskusi spiritual dan filosofis, kita bisa mengatasi kesenjangan ini dan memungkinkan pendekatan yang lebih holistik terhadap keberadaan kita di alam semesta.
Menghormati Keanekaragaman. Pendekatan yang menggabungkan sains, matematika, teknik, teologi, spiritualitas, dan filsafat menghormati keanekaragaman cara berpikir dan memahami realitas. Ini adalah refleksi dari kenyataan bahwa manusia memiliki berbagai cara untuk menjelajahi pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan makna kehidupan, dan semua perspektif ini berkontribusi pada kekayaan pengetahuan kita.
Mendorong Pemikiran Lebih Mendalam. Pendekatan ini dapat mendorong pemikiran yang lebih mendalam dan reflektif. Dengan menggabungkan berbagai disiplin ilmu, kita bisa mengajukan pertanyaan yang lebih kompleks dan menggali jawaban-jawaban yang lebih kaya dalam upaya kita memahami makna alam semesta dan tempat kita di dalamnya.
Dalam hal ini, sains, matematika, dan teknik bukanlah penghalang bagi dialog teologis, spiritualitas, dan filsafat, tetapi justeru merupakan sumberdaya yang kuat yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang keterhubungan segala sesuatu di alam semesta. Keterbukaan untuk mempertimbangkan berbagai perspektif dari berbagai bidang pengetahuan dapat membawa kita ke pemahaman yang lebih dalam dan holistik.
Akhirnya ingatlah selalu : "Yang Maha-ada ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam dia".
Joyogrand, Malang, Fri', August 11, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H