Dalam narasi zombie, pertanyaan tentang sejauh mana kita mirip dengan zombie itu sendiri mencerminkan kecemasan mengenai kehilangan jatidiri, kemungkinan menjadi bagian dari massa tanpa individualitas, dan pengalaman alienasi yang mungkin terjadi dalam kehidupan kontemporer. Zombie sering kali digambarkan sebagai makhluk tanpa kesadaran diri yang hidup dalam keadaan terbungkus dan teralienasi. Pertanyaan "apakah saya lebih dari sekadar zombie?" menggambarkan kekhawatiran individu tentang hilangnya koneksi dengan diri sendiri dan menjadi bagian dari masyarakat yang terombang-ambing.
Konsep alienasi juga terkait dengan pemahaman Marx tentang kapitalisme. Marx menggunakan gambaran kapital sebagai tubuh fantastis atau Doppelgnger yang mengerikan yang memakan kesenangan dan energi manusia secara mekanis dan tanpa ampun. Kapitalisme memainkan peran yang mirip dengan vampir dalam menghisap vitalitas dan kreativitas manusia, sehingga menciptakan situasi alienasi dan pemisahan dari kesejahteraan yang dihasilkan.
Dalam pandangan Marx, baik kapitalis maupun kapital merupakan gambaran manusia yang hidup namun terbukti terbatas dan terpengaruh oleh logika eksploitasi sistem kapitalis. Kapitalisme memperlakukan tenaga kerja sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi untuk menghasilkan keuntungan, sehingga menciptakan ketidakharmonisan antara manusia dan hasil karya mereka.
Kaitannya dengan zombie, pemahaman bahwa kapital dan kapitalisme adalah gambaran dari orang mati yang hidup menyoroti efek dehumanisasi dan alienasi yang dapat terjadi dalam masyarakat modern. Kehidupan kontemporer yang terikat oleh logika ekonomi dan komersialisasi dapat memunculkan rasa terkekang, kehilangan vitalitas, dan rasa kehilangan terhadap jatidiri yang autentik.
Konsep zombie dan pandangan Marx tentang kapital dapat dilihat sebagai cerminan dari kekhawatiran yang melibatkan alienasi, kehilangan jatidiri, dan dehumanisasi dalam konteks masyarakat modern.
Seiring berjalannya abad ke-21 sekarang, perasaan bahwa manusia modern hidup di gurun kematian semakin dalam. Beberapa decade lalu, "The Hollow Men" terus mengeksplorasi kematian dalam kehidupan, yang kini disajikan secara lebih eksplisit sebagai kekosongan batin. "Ini tanah mati / Ini tanah kaktus", berisi "rahang yang patah dari kerajaan kita yang hilang". Beginilah cara dunia berakhir / Bukan dengan dentuman tapi dengan rintihan".
Monster modernitas, seperti yang diungkapkan Stoker dan Eliot, mengungkapkan kengerian yang pada dasarnya modern. Apakah fluiditas diri saya tidak ada habisnya? Apakah tidak ada keabadian bagi tubuh saya selain hal yang sama, memberi makan dan mengonsumsinya? Apakah ada inti batin pada diri saya, atau apakah saya boneka berjalan? Teror ini tidak dapat menemukan kelegaan dari risalah ilmiah tentang darah atau bahkan dari katarsis film horror sekalipun.
Monster sebenarnya adalah kesempatan untuk kembalinya api penyucian ke Kasih yang memurnikan dari Tuhan. Keburukan modernitas bukanlah penebusan masa lalu. Kehidupan dan kedirian yang dicarinya dapat ditemukan dalam sumber Ilahi dari keduanya. Tapi bangun dari mimpi buruk hanya terjadi saat mata terbuka terhadap cahaya, dan jalan turun menjadi jalan naik hanya saat seseorang berbalik.
Orang-orang jerami yang berongga di sini menemukan obat berdarah untuk ketidakberdayaan mereka. Keburukan modernitas setidaknya telah membuat alternatif menjadi jelas : kematian yang hidup, atau kehidupan melampaui kematian.
Melalui analisis puisi "The Hollow Men" karya T.S. Eliot tergambarkan sudah kekosongan batin dan perasaan kematian dalam kehidupan modern. Juga penting disini pertanyaan yang muncul tentang fluiditas diri, keabadian, dan inti batin dalam konteks monster modernitas.
Pemahaman bahwa fluiditas diri tampaknya tidak berujung, keabadian tubuh terbatas pada siklus makan dan dikonsumsi, dan ketidakberdayaan dalam mencari inti batin menunjukkan rasa terjebak dalam kondisi manusia modern. Teror yang dihadapi ini tidak dapat diatasi melalui penelitian ilmiah tentang darah atau pengalaman katarsis melalui film horor.