Indonesia pun mengalami hal itu, meski sekarang ini bukan face to face perang antar capres, melainkan turun gunungnya seorang mantan presiden Esbeye yang tiba-tiba menyodok Jokowi yang tidak suka capres Anies. Itu hak Jokowi, tapi jangan sampai ketidaksukaan itu jadi tool politik untuk merobohkan PD-AHY, demikian Esbeye. Sementara antar capres masih saling intai mau ke arah mana lawan mereka, agar ada strategi untuk menangkalnya, dan yang terpenting bagaimana meraup suara publik sebanyak-banyaknya ke kubu masing-masing kontestan.
Kembali ke AS, melihat tendangan Trump tentang temuan sebungkus bubuk yang diduga Kokain yang ditemukan di sayap barat Oval Office, bahwa itu adalah milik ayah-anak Joe dan Hunter Biden.
Tendangan itu wajar-wajar saja kalau dilihat manuver Demokrat melalui Jack Smith penasehat khusus gedung putih soal temuan itu, karena Jack sendiri sedang menjerat Trump dengan tuduhan terkait aksi pro Trump ke capitol hill pada akhir 2020 yang lalu.
Sebagaimana diketahui, tuduhan terhadap Trump selama ini berangkat dari keinginan Demokrat untuk membendung Trump dalam pemilihan presiden Amerika pada akhir 2024 yang akan datang.
Kalaulah tudingan Trump benar bahwa Biden dan Demokrat menggunakan petinggi hukum sebagai alat politik dalam kontestasi politik di negara demokrasi sekaliber Amerika. Maka AS disini pastilah AS si pengkhianat Demokrasi Liberal, atau AS dengan segala Pragmatisme ala AS sekarang yang menghalalkan segala cara, meski aslinya pragmatisme itu berasal dari pemikir AS sendiri, yi John Dewey.
Dalam konteks dunia politik sekarang, tuduhan dan konflik antarpartai adalah hal yang umum terjadi di berbagai negara demokrasi, model apapun demokrasi yang dianut,  termasuk Amerika Serikat. Di luar thesis akhli-akhli politik sekarang, pertikaian politik sekarang cenderung menggunakan Lembaga dan elit hukum sebagai alat politik. Lihat misalnya Denny Indrayana, Wamenkumham di masa Esbeye, yang belum lama ini menyerang Jokowi dari arah Ausie sana, dan menyatakan dengan lantang bahwa carut-marut PD sekarang adalah intervensi pemerintah. Lihat bagaimana ngototnya PD tandingan membawa masalah internal PD hingga ke MK, lihat pula kasus Ponpes Al Zaytun yang menyeret-nyeret nama Moeldoko. Itu semua ada tali-temalinya. Ayo tariklah daku, seakan elit hukum dan  lembaga judikatif di negeri ini berkata demikian.
Tapi syukurlah Jokowi si gentleman asal Solo ini tak bergeming, karena toh orang akan tahu bahwa dia tak pernah sekalipun mencampuradukkan trias politika seenak udelnya. Kasus blasphemy Ahok terhadap umat Islam misalnya yang dituduhkan kalangan fundamentalis beberapa waktu lalu, apa Jokowi pernah mengintervensi masalah itu. Ternyata tidak dan lagi-lagi tidak dalam tendangan liar sekarang ini.
Kalaupun Biden atau Demokrat di AS sana menggunakan elit hukum dan lembaga judikatif sebagai alat politik dalam kontestasi politik, maka itu adalah pernyataan yang spesifik dan kompleks dalam sistem demokrasi AS sekarang. Bagi Trump dkk, tendangannya tentang Kokain di gedung putih harus dianalisis Timnya secara mendalam dan Timnya harus seperti FBI yang mampu mengumpulkan informasi yang akurat untuk dapat membuat kesimpulan yang tepat.
Sayang, kita hanya melihat kedangkalan Amerika akhir-akhir ini, ntah itu di internalnya sendiri, di teater Ukraina sekarang, di teater Aspac dst. Karena dunia akhirnya tahu bahwa kasus nepotisme Joe Biden dan anaknya Hunter Biden di Ukraina bisa ditutupi oleh Joe Biden baik selaku Ayah Hunter sekaligus selaku presiden Amerika Serikat, maka itu tentu berlaku pula di teater Eropa, sekalipun ia menepis belum lama ini bahwa ialah yang mendorong-dorong grup tentara bayaran Wagner di bawah Yevgeny Prigozhin berontak terhadap Moscow.
Kasus Hunter Biden di Ukraina di masa kontestasi Pilpres AS akhir 2020 lalu memang telah menjadi topik perdebatan dan sorotan publik. Dalam konteks nepotisme atau tuduhan penutupan kasus, para lawyer kedua belah pihak mengacu pada fakta dan informasi yang akurat serta melakukan penyelidikan yang mendalam. Itulah demokrasi liberal AS sekarang bahwa tuduhan politik apapun dan bagaimanapun, tetap harus diperiksa dan diverifikasi dengan sumber-sumber yang dapat dipercaya sebelum para pendegak hukum membuat kesimpulan akhir.
Demokrasi dunia sekarang bergradasi dengan model-model demokrasi sesuai habitatnya. Sistem yang dijagokan dunia itu tak sesempurna yang dibayangkan para akhli, karena terbukti masih berputar-putar di sekitar nepotisme dan konflik kepentingan antar individu, antar parpol, bahkan antar penegak hukum, dan ini saya kira merupakan masalah serius dalam kontestasi politik sekarang dimanapun dan perlu ditangani secara transparan dan adil.