Yang perlu ditegaskan disini bahwa insiden bumi hangus Timtim adalah dari kalangan pro integrasi 24 tahun lalu dan bukan dari kalangan militer Indonesia, apalagilah petinggi Indonesia. Ini tidak bisa dicegah begitu saja. Itu sebuah spontanitas alami merasa dipermainkan barat.
Tidak hanya di Timor Leste, kenangan kelam itu tetap membekas bagi komunitas pro integrasi yang sekarang bermukim di NTT dan sebagian lainnya terpencar ke seluruh nusantara. Mereka menyesalkan bahwa Indonesia lemah tak memprotes keras AS dan barat yang telah memperalat PBB sedemikian rupa, hingga pemberian nobel perdamaian versi barat kepada Horta dan uskup Belo, meski kemudian terbukti bahwa Belo adalah the ordinary man yang menjadikan agama sebagai tool politik, dan fakta yang benar kemudian, ia adalah seorang Pedofil sejati yang kini disembunyikan Vatikan di Maputo, Mozambique.
Lalu soal bagaimana Horta demikian enteng menuding seakan Indonesia mempersulit keanggotaan penuh Timor Leste di Asean. Itu jelas prasangka karena kacamata kuda barat yang terlalu lama dipakainya. Asean bukanlah milik Indonesia. Asean adalah wadah berhimpun bagi negara-negara Asia tenggara. Ada Singapore dan Malaysia dan lainnya yang tak sudi dimasuki anggota baru begitu saja. Diterima sebagai anggota baru iya, tapi tidak untuk sebuah pemaksaan, kecuali kalau persyaratan teknis sudah terpenuhi, al GDP, indeks Human Development dst.
Indonesia jelas sejak awal sudah menyiapkan kader dari putera-puteri Timor Leste sendiri, bahkan sampai sekarang masih banyak putera-puteri Timor Leste pasca merdeka yang belajar di Indonesia, tidak seperti pada 10 tahun pertama merdeka, dimana Timor Leste masih enggan berkomunikasi dengan Indonesia. Timor Leste merdeka lebih memilih Ausie sebagai tempat pengkaderan putera-puteri terbaiknya, tapi dalam perjalanan waktu akhirnya bubar jalan juga. Mengapa. Ya segala sesuatu dari dunia barat terbukti mahal dan mahal. Tak ada yang gratis disitu. Maka satu per satu berpulanganlah mereka ke tanah air, termasuk yang kemarin ber-euphoria di Portugal, Inggeris dan Eropa.
Mana tindak lanjut Porto pasca duel PM-nya dengan Dubes Indonesia untuk PBB yi Nugroho Wisnumurti di masa lalu. Mana. Sungguh tak ada. Karena Porto jelas anggota Nato yang terkebelakang. Tak bisa diharap, kecuali celometan di masa lalu bahkan hingga kini.
Bahasa Porto mau dihidupkan lagi di Timor Leste, jelas tak mudah. Meski hanya 24 tahun di Timtim, Indonesia berpengaruh sangat signifikan baik dalam makanan pokok, apalagilah lingua franca atau bahasa pergaulan atau pemersatu. Sedangkan media TV, siapa yang mau nonton TV Porto. Ada, tapi hanya secuil. Pemirsa Timor Leste lebih merindukan Indonesia. Inilah yang sangat disadari Xanana Gusmao. Lain halnya dengan Ramos Horta yang tak pernah mau menyadarinya sepenuh hati.
Kita hanya dapat berharap kepada Xanana Gusmao yang pada tahun 2007 mendirikan CNRT. Tahun itu pula dia menjadi perdana menteri dan memegang jabatan itu hingga 2015.
Ketika dia mengundurkan diri, Xanana mengatakan sudah waktunya bagi generasi yang lebih muda ungtuk memimpin Timor Leste. Perjalanan waktu ternyata tak semulus itu. Alih generasi ternyata tak segampang membalik tangan.
Xanana tahu CNRT harus besar terlebih dahulu, sebelum ia dan Horta mengundurkan diri dari panggung politik Timor Leste. Mengapa. Fretilin terlalu banyak meninggalkan luka di pentas Timor Leste mulai dari Dekolonisai Porto hingga integrasi Timtim dengan NKRI, dan mencapai klimaks dengan lepasnya Timtim dari NKRI karena rekayasa AS dan dunia barat, dan bukan karena revolusi rakyat.