Mengenang Diplomasi Budaya Halak Hita di Timor Leste
Dalam sebuah kesendirian tanpa detak jam dan suara nyamuk bernginging seperti di Jabodetabek sebagaimana yang kurasakan tadi malam di Joyogrand, Malang, ternyata bisa membawa pikiran ini melayang kemana-mana, hingga ke benua es Antartika sekalipun.
Soalnya baru saja sobat jadul sekaligus Laeku Robert Pangaribuan menelepon dari Dili menanyakan soal kesehatanku dan keluarga serta sekadar ini itu. Aku bilang sejauh ini okay bro, semoga di sanapun demikian, kataku.
Pikiran ini kemudian mengembara ke Timor Leste yang dulu dalam kenanganku adalah Timor Timur atau Timtim. Indonesia sudah banyak berbuat kebaikan disana, jalan lingkar utara dan selatan termasuk jalan sirip ikan yang menghubungkan pantai utara dan pantai selatan Timtim setahuku sudah selesai dibangun sebelum Indonesia angkat kaki dari Timtim pada akhir 1999. Itu semua dipersembahkan kepada rakyat Timtim yang sudah sangat lama miskin menderita di bawah sepatu lars penjajahan Portugis.
Timtim ketika itu ibarat noktah kecil di nusantara, dimana daratan Timtim ditambah 2 pulau yi pulau Atauro sebelah utara Dili, dan pulau mini di ujung timur Timtim yi pulau Jaco, hanya seluas 15.000 Km2.
Era Perang Dingin di masa lalu membuat Timtim menjadi permata berharga dalam geopolitik dunia. Bagi dunia barat ia dianggap sebagai "buffer zone" terhadap tusukan China dan Soviet dari arah utara ke Ausie, dimana barat menempatkan senjata-senjata strategisnya, meski Ausie tak pernah mengakuinya.Â
Dan bagi Indonesia, semua tahu Timtim adalah bagian yang tak terpisahkan dari The United Kingdom yang berpusat di Belu (sekarang Atambua) di masa lalu sebelum Portugis bercokol di Timtim dan Belanda bercokol di Timor Barat. Disinilah Maromak Oan atau yang dipertuan agung berpusat. Disini pulalah seluruh kerajaan di pulau Timor dikendalikan. Bahasa persatuan yang digunakan ketika itu bahkan sampai sekarang  adalah bahasa Tetum.
Di Dili bahasa Tetum yang digunakan disebut Tetum Maka atau bahasa Tetum yang sudah disisipi kosa kata Portugis, sedangkan di Atambua dan Timor Barat secara keseluruhan, bahasa Tetum yang digunakan masih tetap legacy tempo doeloe yang tak banyak berubah, maka disebut  bahasa Tetum Terik atau bahasa Tetum asli.
Itulah adanya bahwa Timtim adalah bagian dari nusantara kita di masa lalu. Ini bisa ditelusuri secara filologis, apalagilah ditelusuri melalui karya budaya lainnya seperti dancing, sculpture, woven product dst. Jadi tak ada itu yang namanya pendudukan Indonesia di masa lalu. Yang pasti Indonesia hanya menolong saudaranya yang sudah lama tertindas untuk bangkit berdiri agar terlihat manusiawi sebagaimana Indonesia bangkit berdiri pada 1945 lalu. Kalaupun ada statement di luar itu, itu hanyalah political diction yang dipompakan dunia barat tak kurang tak lebih. Bukti konkretnya topeng barat sudah dibuka paksa oleh Rusia di teater Ukraina sekarang. Pendekatan multipolar sudah dimulai  oleh Rusia dan China, lihat BRICS misalnya.