Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Nyruput Kopi di Giyanti Coffee dan Pemanusiawian Warkop Kaki Lima

12 Juni 2023   15:57 Diperbarui: 12 Juni 2023   16:43 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyruput Kopi di Giyanti Coffee dan Pemanusiawian Warkop Kaki Lima

Musim panas kali ini medio 2023 memang musim panas yang tak ada duanya di Jakarta. Setibanya dari Malang pagi 11 Juni 2023, tengah hari aku terpaksa bersembunyi di pondokan my daughter di bilangan Karet, Semanggi, Setiabudi, Jaksel. Ada mesin pelembut bagus ciptaan wong bule disini, yi AC.

Mesin jadul yang terus dipermodern itu kini jadi tumpuan warga di musim panas menyengat di Jakarta. Sekurangnya mereka akan sembunyi di Indomaret atau bila perlu nongkrong di mal-mal yang ada di lingkungannya masing-masing seperti GI atau Grand Indonesia shopping mall, apalagi kalau bukan menyejukkan diri sesaat, meski hanya "ngeskrim", yang penting kulit sawo matang terpanggang Mentari puanas Juni didinginkan dulu. Turis-turis bule yang terpanggang Mentari, kelihatannya cuek saja, tak heran mereka sedang nyoklatin badan, tapi bagaimanapun terlihat "letek kemringatan begitu". No problem, kata si bule. Itu katanya, tapi kata kita lain halnya, puanass rek.

Lain tengah hari, dan lain pula sore jelang malam. Di tengah suhu yang semakin melunak saya diajak my daughter dan boy friend-nya "nyarkop" atau nyari kopi di kafe-kafe seantero Jakpus. Dari sekian banyak kafe di bilangan itu, kami pun nyangkut di Giyanti Coffee, Jln Surabaya yang berdekatan dengan komunitas penjaja barang loakan yang kesohor sejak lama dan banyak dikunjungi turis yang siapa tahu dapet barang kuno yang didambakannya ntah itu Keris Jawa atau Radio Philips jadul berwarna coklat tua buatan Belanda tempo doeloe yang bentuknya lucu keq roti tawar jadul, dan setahuku radio jadul merk Philips itu banyak didambakan turis Belanda. Why? tanyaku suatu ketika, lha di negeriku "Londo" radio Philips berbentuk roti tawar itu sudah jadi barang antik karena super langkanya. O gitu tah.

Koridor unik menuju Giyanti Coffee dari sisi kiri gedung ramping 2 lantai Giyanti Coffee. Foto: Parlin Pakpahan.
Koridor unik menuju Giyanti Coffee dari sisi kiri gedung ramping 2 lantai Giyanti Coffee. Foto: Parlin Pakpahan.

Ketika memarkir mobil, terbaca agak samar di sebelah kiri yi Giyanti Coffee. Kesan pertama, parkirannya mediumlah, maklum daerah padat. Tampak depan sepertinya gedung lama yang nggak tua-tua banget, dan bangunan 2 lantai itu terlihat langsing begitu, dan ketika masuk kedalamnya harus melewati gang kecil di sisi kiri si ramping. Yang tadinya kepikiran macem-macem, sontak berubah, ketika semakin kedalam, interiornya ternyata sudah divintage jadi kafe bernuansa jadul tapi lumayan menarik.

Setelah celingak-celinguk dimana nih dimana nih, kami pun pilih bagian tengah Giyanti yang memang dikhususkan bagi penghisap sigaro, sedangkan ke samping kanan dan seterusnya hingga ke lantai dua, itu dikhususkan buat mereka yang pengen nyepi dan jauh dari asap pemadatan ntah itu Dji Sam Soe, ntah itu Lucky Strike, ntah itu rokok kemenyan dst.

Singkat kata, di Giyanti Coffee yang dinakhodai Cino Jowo berdialek Semarang-an ini, kita bisa menikmati sejumlah kopi Indonesia yang diracik secara modern.

Melihat sekilas daftar menu, aku sepertinya lagi mood sama Americano yang strong. Ada memang espresso yang biasa bertakaran kecil tapi diekstraksi dengan mesin kopi yang oke punya, sehingga bisa menghasilkan sebuah intipati kopi hitam yang ngeri-ngeri sedap, tapi sore itu nggaklah. Lain kali ntahlah, misal nih lagi mikirin yang dalem-dalem seperti visi Pak Jokowi tentang Indonesia Jaya 2045. Espresso ala Giyanti Coffee keqnya bisa memicu dopamine kita lebih seru, ntah itu soal Prabowo alias Wowok, ntah itu soal Anies alias Nis-Nis, ntah itu soal Ganjar alias Juragan sedang belajar dst dst.

Cangkruk ala Giyanti Coffee di outdoor bagian belakang. Foto: Parlin Pakpahan.
Cangkruk ala Giyanti Coffee di outdoor bagian belakang. Foto: Parlin Pakpahan.

Salah satu andalan Giyanti Coffee saya kira adalah coffee bean Bali Kintamani yang bisa dipesan dalam beragam racikan mulai dari cappucino hingga picollo yang kental dengan perpaduan rasa pahit dan enak-enak herbal. Untuk sekadar nyamil ala Giyanti juga ada, seperti Glutten Free Chocolate Brownies dan Almond Croisant yang katanya sih wajib dicicipi.

Kafe Giyanti berpolesan vintage ini terletak di Jalan Surabaya No. 21, Menteng, Jakarta Pusat. Gampang diinget karena di depannya berjejer rapi oulet penjaja barang loakan Jln Surabaya yang sudah lama kesohor itu.

Sambil nyruput Americano yang aku yakin adalah Robusta bean yang berasal dari Dampit Malang, aku berpikir ndikit bahwa perkopian di Jakarta terlepas dari apa dan bagaimana sejarahnya, adalah perlu.

Jakarta yang menurut databoks.katadata.co.id kini berpopulasi kl 10 juta jiwa dan diproyeksikan bakal 12 juta jiwa pada 2045 yad itu struktur kependudukannya kini didominasi kaum muda mulai dari generasi milenial kelahiran 1980-an, hingga generasi Z atau Generasi Internet yang mahir dengan berbagai aplikasi kelahiran 1997-2012. Bayangkan anak ingusan berusia 11 - 40-an mendominasi struktur kependudukan DKI Jakarta.

Jakarta dengan segala aktivitas dan hiruk pikuknya yang khas, mulai dari aktivitas anak-anak sekolah yang mengerjakan tugas-tugas sekolah atau kuliah, para profesional muda dst. Mereka tentunya memiliki rasa bosan karena rutinitas yang berpacu dengan waktu, ditambah stres karena lalu lintas ibukota megapolitan Jakarta yang kian hari semakin padat. Mereka pastilah membutuhkan semacam piknik lokal, atau staycation bagi mereka yang pengen romantis frequently. Kalau piknik yang lebih jauh tak tergapai, hanya nyangkut sebagai angan-angan thoq. Ini sekurangnya bisa diobati dengan secangkir kopi sembari ngobrol bareng girl friend atau boy friend atau teman atau sahabat atau saudara katakanlah saudara sepupu. Kedai kopi kekinian di Jakarta buanyak banget. Pemicu utama pertama kali saya kira adalah Starbucks. Haqul yaqien, kata seorang kawan, stres si milenial dan si Z bisa langsung hilang di kedai-kedai kopi semacam ini.

Kopi konon pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh orang Belanda pada abad ke-17, dan kalau sekarang menjadi minuman populer bahkan bagian dari gaya hidup generasi sekarang, itu semua bukan salah bunda mengandung, tapi yang pasti trend tsb sangat menjanjikan bagi siapapun yang ingin berwirausaha di bidang perkopian. Tapi jangan lupa "sinau" atau belajar dulu bagaimana memoles kedai itu sehingga memiliki magnitudo khusus bagi generasi muda yang mendominasi struktur kependudukan DKI Jakarta, jangan pula lupa bahwa kaum "geriatric milenial" usia-50-70-an pun suka "cangkruk" atau nongkrong di kafe-kafe seperti ini, sejauh ada sekurangnya senandung Frank Sinatra, atau Matt Monroe, atau Nat King en Nathalie Cole, atau Tom Jones, atau Mochtar Embut, Bill Saragih dst.

Soal doku, ambillah standard Starbuck yang menjajakan Kopi Americano per gelas Rp 50 ribuan dan camilan sebangsa pastry katakanlah Croisant Rp 50 ribu-an juga. Ini tentu sangat menjanjikan ketimbang capek banting tulang buka warkop 24 jam di kaki lima berharga kaki lima dan berkomunitas kaki lima yi para pekerja kelas bawah yang cukup diumpani secangkur kopi hitam 3 ribu perak-an, dan tahu dan tempe goreng 2 ribu perak-an dengan sekadar saos. Saya pikir sampai langit runtuh pun doku bergepok-gepok yang kebayang nggak bakal kesampaian.

Kopi dan camilan ala Giyanti Coffee. Foto: my daughter Ofira Pakpahan.
Kopi dan camilan ala Giyanti Coffee. Foto: my daughter Ofira Pakpahan.

Bukannya mengecilkan warkop kaki lima ndul, tapi hanya sekadar pengingat bahwa warkop para pekerja lapis bawah ini bagaimanapun memang harus ada, karena kalau tidak, komunitas kaki lima bakal berontak. Lha kami koq dianaktirikan.

Biarlah si empunya duit lebih nongkrong di katakanlah Giyanti Coffee dkk, dan biar pulalah si Warkop kaki lima tetap survive, tapi dengan catatan pemerintah kota dan stake holder di mana si warkop kaki lima berada harus bertanggungjawab selayaknya seperti bagaimana memfasilitasi mereka agar lebih manusiawi baik tempat, penampilan, cara meracik kopi dan meracik camilan bergizi, maupun perputaran usaha kelas mikro itu tanpa harus 24 jam yang sama sekali nggak manusiawi.

Mencari sebuah kedai kopi di Jakarta dan dimana pun saya kira, sejauh itu di kota-kota besar, sangatlah mudah sekarang ini. Carilah via mbah google dan pilihlah exposure yang menyampaikan pesan apa adanya dan bukan mengada-ada.

Giyanti Coffee misalnya yang saya exposure disini hanya beroperasi dari pukul 9.30 - 17.30. Selebihnya mereka melakukan pekerjaan coffee roastery atau menggiling biji kopi sebagai mata dagangan lain, soalnya jelas bahwa tak cukup cash flow perusahaan kalau hanya dari kedai yang ditongkrongin penyecap kopi dan penggembira lainnya, tapi harus dilanjutkan dengan mata dagangan lain yang bercash-flow jauh lebih besar dari itu. Namanya saja Business and Money.

Asyik dalam obrolan sore akhirnya Mentari pun semakin surut ke ufuk barat, dan jika ingin cangkruk ngopi bareng teman-teman dan sahabat, sebaiknya datanglah kesini 2-3 jam menjelang tutup. Kalian pilih tempat cangkruk di bagian outdoor saja, karena lebih luas, bebas bagi si penghisap sigaro, sehingga bisa lebih nyaman.

Setelah ngopi yang asyik usai, lanjutkan membeli kopi bubuk made in Giyanti Coffee yang dapat diseduh di rumah, Giyanti Coffee Roastery menjual kopi racikan dan kemasannya sendiri seperti Kopi Arabika Batak atau Kopi Sigararutang atau Kopi Lintong yang disini disebut Siraja biak-biak dengan harga Rp 332.000 per 500 gram, lebih mahal ndikit dibandingkan kopi bubuk serupa hasil gilingan Otten Coffee.

Giyanti Coffee adalah salah satu tempat cangkruk yang lumayan Cozy-lah di bilangan Jakpus, dan jangan lupa sesampainya di kampung halaman anda, cari jugalah kopi kaki lima bahkan starling atau starbuck keliling, apakah mereka sudah manusiawi atau belum.

Kalau ternyata belum, tetaplah suarakan agar mereka segera difasilitasi lebih jauh oleh Pemkot setempat untuk dimanusiawikan.

Samanea Hill, Bogor Barat, Mon', June 12, 2023.

Foto kolase tampak depan Giyanti Coffee, Jln Surabaya 21, Menteng, Jakpus. Foto: Dikolase dari koleksi Parlin Pakpahan dan PergiKuliner.com
Foto kolase tampak depan Giyanti Coffee, Jln Surabaya 21, Menteng, Jakpus. Foto: Dikolase dari koleksi Parlin Pakpahan dan PergiKuliner.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun