Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Nyruput Kopi di Giyanti Coffee dan Pemanusiawian Warkop Kaki Lima

12 Juni 2023   15:57 Diperbarui: 12 Juni 2023   16:43 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi dan camilan ala Giyanti Coffee. Foto: my daughter Ofira Pakpahan.

Salah satu andalan Giyanti Coffee saya kira adalah coffee bean Bali Kintamani yang bisa dipesan dalam beragam racikan mulai dari cappucino hingga picollo yang kental dengan perpaduan rasa pahit dan enak-enak herbal. Untuk sekadar nyamil ala Giyanti juga ada, seperti Glutten Free Chocolate Brownies dan Almond Croisant yang katanya sih wajib dicicipi.

Kafe Giyanti berpolesan vintage ini terletak di Jalan Surabaya No. 21, Menteng, Jakarta Pusat. Gampang diinget karena di depannya berjejer rapi oulet penjaja barang loakan Jln Surabaya yang sudah lama kesohor itu.

Sambil nyruput Americano yang aku yakin adalah Robusta bean yang berasal dari Dampit Malang, aku berpikir ndikit bahwa perkopian di Jakarta terlepas dari apa dan bagaimana sejarahnya, adalah perlu.

Jakarta yang menurut databoks.katadata.co.id kini berpopulasi kl 10 juta jiwa dan diproyeksikan bakal 12 juta jiwa pada 2045 yad itu struktur kependudukannya kini didominasi kaum muda mulai dari generasi milenial kelahiran 1980-an, hingga generasi Z atau Generasi Internet yang mahir dengan berbagai aplikasi kelahiran 1997-2012. Bayangkan anak ingusan berusia 11 - 40-an mendominasi struktur kependudukan DKI Jakarta.

Jakarta dengan segala aktivitas dan hiruk pikuknya yang khas, mulai dari aktivitas anak-anak sekolah yang mengerjakan tugas-tugas sekolah atau kuliah, para profesional muda dst. Mereka tentunya memiliki rasa bosan karena rutinitas yang berpacu dengan waktu, ditambah stres karena lalu lintas ibukota megapolitan Jakarta yang kian hari semakin padat. Mereka pastilah membutuhkan semacam piknik lokal, atau staycation bagi mereka yang pengen romantis frequently. Kalau piknik yang lebih jauh tak tergapai, hanya nyangkut sebagai angan-angan thoq. Ini sekurangnya bisa diobati dengan secangkir kopi sembari ngobrol bareng girl friend atau boy friend atau teman atau sahabat atau saudara katakanlah saudara sepupu. Kedai kopi kekinian di Jakarta buanyak banget. Pemicu utama pertama kali saya kira adalah Starbucks. Haqul yaqien, kata seorang kawan, stres si milenial dan si Z bisa langsung hilang di kedai-kedai kopi semacam ini.

Kopi konon pertama kali diperkenalkan ke Indonesia oleh orang Belanda pada abad ke-17, dan kalau sekarang menjadi minuman populer bahkan bagian dari gaya hidup generasi sekarang, itu semua bukan salah bunda mengandung, tapi yang pasti trend tsb sangat menjanjikan bagi siapapun yang ingin berwirausaha di bidang perkopian. Tapi jangan lupa "sinau" atau belajar dulu bagaimana memoles kedai itu sehingga memiliki magnitudo khusus bagi generasi muda yang mendominasi struktur kependudukan DKI Jakarta, jangan pula lupa bahwa kaum "geriatric milenial" usia-50-70-an pun suka "cangkruk" atau nongkrong di kafe-kafe seperti ini, sejauh ada sekurangnya senandung Frank Sinatra, atau Matt Monroe, atau Nat King en Nathalie Cole, atau Tom Jones, atau Mochtar Embut, Bill Saragih dst.

Soal doku, ambillah standard Starbuck yang menjajakan Kopi Americano per gelas Rp 50 ribuan dan camilan sebangsa pastry katakanlah Croisant Rp 50 ribu-an juga. Ini tentu sangat menjanjikan ketimbang capek banting tulang buka warkop 24 jam di kaki lima berharga kaki lima dan berkomunitas kaki lima yi para pekerja kelas bawah yang cukup diumpani secangkur kopi hitam 3 ribu perak-an, dan tahu dan tempe goreng 2 ribu perak-an dengan sekadar saos. Saya pikir sampai langit runtuh pun doku bergepok-gepok yang kebayang nggak bakal kesampaian.

Kopi dan camilan ala Giyanti Coffee. Foto: my daughter Ofira Pakpahan.
Kopi dan camilan ala Giyanti Coffee. Foto: my daughter Ofira Pakpahan.

Bukannya mengecilkan warkop kaki lima ndul, tapi hanya sekadar pengingat bahwa warkop para pekerja lapis bawah ini bagaimanapun memang harus ada, karena kalau tidak, komunitas kaki lima bakal berontak. Lha kami koq dianaktirikan.

Biarlah si empunya duit lebih nongkrong di katakanlah Giyanti Coffee dkk, dan biar pulalah si Warkop kaki lima tetap survive, tapi dengan catatan pemerintah kota dan stake holder di mana si warkop kaki lima berada harus bertanggungjawab selayaknya seperti bagaimana memfasilitasi mereka agar lebih manusiawi baik tempat, penampilan, cara meracik kopi dan meracik camilan bergizi, maupun perputaran usaha kelas mikro itu tanpa harus 24 jam yang sama sekali nggak manusiawi.

Mencari sebuah kedai kopi di Jakarta dan dimana pun saya kira, sejauh itu di kota-kota besar, sangatlah mudah sekarang ini. Carilah via mbah google dan pilihlah exposure yang menyampaikan pesan apa adanya dan bukan mengada-ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun