Jika klaim atau teori yang sedang diuji dibantah, gunakan hasil analisis untuk mengusulkan alternatif atau revisi yang lebih baik. Berdasarkan bukti dan data yang ada, kembangkan gagasan-gagasan baru atau pemikiran yang dapat mengatasi kekurangan dari klaim atau teori yang sedang dievaluasi.
Lanjutkan pengujian, evaluasi, dan revisi secara berulang. Proses ini harus berlangsung terus menerus, dengan menggunakan metode falsifikasi dan kritik terhadap klaim atau teori yang ada, serta mengusulkan alternatif yang lebih baik.
Dalam konteks masalah sosial, politik, dan kebudayaan, penting untuk mendorong dialog dan keterbukaan terhadap berbagai pandangan dan pendapat. Buka ruang bagi kritik dan pemikiran alternatif yang dapat membantu memperbaiki pemecahan masalah yang ada. Apakah Demokrasi Pancasila itu benar adanya, apakah penyederhanaan partai tidak bisa direkayasa, melainkan harus menunggu seleksi alam terlebih dahulu, apakah Dewan Kehormatan Adat itu perlu adanya dalam menjaga dan merawat legacy leluhur dst.
Penggunaan teori falsifikasi dalam pemecahan masalah sosial, politik, dan kebudayaan bukanlah proses yang mudah. Hal ini melibatkan keterbukaan terhadap kritik, kemauan untuk merevisi dan mengubah pendekatan yang ada, serta komitmen untuk mencari solusi yang lebih baik berdasarkan bukti dan data yang ada.
Teori falsifikasi, pada dasarnya, berkaitan dengan metode ilmiah dan pengujian klaim atau teori ilmiah. Dalam konteks permenungan teologis atau pertanyaan yang bersifat filosofis dan moral, teori falsifikasi Popper mungkin tidak langsung dapat diterapkan dengan cara yang sama seperti dalam ilmu pengetahuan tentang alam.
Permenungan teologis dan pertanyaan filosofis sering kali melibatkan isu-isu yang lebih subjektif dan kompleks, yang sulit untuk diuji atau dibantah secara langsung dengan menggunakan metode falsifikasi. Sebagai contoh, pernyataan seperti "kita adalah satu meski berbeda-beda" atau "perang tak menyelesaikan masalah, kecuali kehancuran dan penderitaan". Itu adalah pernyataan yang bersifat moral, etis, atau filosofis, dan sulit untuk diuji secara empiris.
Kendati demikian, teori falsifikasi dapat mempengaruhi pemikiran kritis dan pendekatan terhadap pertanyaan-pertanyaan teologis dan filosofis. Dalam konteks tsb, teori falsifikasi dapat mendorong pemikiran kritis, skeptisisme, dan keterbukaan terhadap berbagai pandangan. Kita dapat saja menerapkan prinsip falsifikasi untuk menguji argumen-argumen atau keyakinan-keyakinan dalam permenungan teologis dengan menggunakan logika, pemikiran rasional, dan pertanyaan kritis. Misalnya soal memilih pemimpin dan kepemimpinan. Apakah ini melampaui ras dan dogma atau sekular belaka bahwa siapapun dapat menjadi pemimpin sejauh teruji tracknya dalam berpolitik dan teruji kepemimpinannya dalam sebuah organisasi.
Pendekatan pemecahan masalah dalam konteks ini mungkin lebih kompleks daripada hanya mengandalkan metode falsifikasi. Yang terpenting bagi kita disini adalah menghormati keragaman pandangan dan keyakinan, serta mempertimbangkan konteks budaya, historis, dan sosial dalam permenungan tsb.
Wahai rakyat jelata yang adalah mayoritas di negeri ini, falsifikasilah Capres yad, jangan sampai Lembu menjadi Raja, dan Raja malah jadi Lembu; falsifikasilah permargaan di tano Batak, apakah marga itu perlu dilestarikan atau diamputasi saja agar membuat marga-marga baru, mumpung AI dapat dimanfaatkan untuk kecerdasan sebuah marga tanpa sejumput friksi apapun di dalamnya di masa yad.
Last but not least, menjauhlah dari falsifikasi diri, bangsa dan negara ..
Referensi utama :