Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjauhi Falsifikasi Diri, Bangsa dan Negara

2 Juni 2023   11:15 Diperbarui: 2 Juni 2023   11:41 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi teori falsifikasi Karl Popper. Foto : sciencedirect.com 

Perlu dikontraskan teori falsifikasi dengan konsep verifikasionisme, sehingga teori ilmiah atau sebuah kebenaran dapat diverifikasi atau dikonfirmasi melalui bukti empiris. Meskipun mungkin ditemukan bukti yang mendukung sebuah teori atau kebenaran, tidak mungkin untuk memverifikasinya secara meyakinkan, karena selalu ada bukti baru di masa depan yang bertentangan dengan kebenaran tsb.

Falsifikasionisme mempengaruhi perkembangan rasionalisme kritis. Ini memberikan kriteria untuk membedakan antara klaim ilmiah dan non-ilmiah dan menekankan pentingnya pengujian empiris dan keterbukaan terhadap sanggahan potensial dalam penyelidikan ilmiah. Banyak ilmuwan dan filsuf terus terlibat dengan ide-ide Popper hingga hari ini, meskipun pandangannya telah dikritik dan disempurnakan oleh para pemikir berikutnya di lapangan.

Beberapa ilmuwan yang telah menyempurnakan atau mengembangkan teori falsifikasi dari Karl Popper antara lain Imre Lakatos, seorang filsuf sains Hongaria Britania, yang mengembangkan gagasan falsifikasi dengan memperkenalkan konsep "program peningkatan penelitian". Imre berpendapat teori ilmiah harus dinilai berdasarkan kemampuannya untuk mengatasi anomali atau pertentangan dengan fakta-fakta yang ada. Ia juga menekankan pentingnya konteks sejarah dan sosial dalam pengujian teori ilmiah.

Thomas Kuhn, seorang fisikawan dan sejarawan sains Amerika, mengusulkan pandangan alternatif tentang perkembangan ilmiah yang dikenal sebagai "revolusi paradigma". Kuhn berpendapat ilmu pengetahuan tidak berkembang secara terus-menerus melalui falsifikasi, tetapi melalui perubahan paradigma. Menurutnya, sains mengalami periode normal dan periode revolusi di mana paradigma lama digantikan oleh yang baru.

Paul Feyerabend, seorang filsuf sains Austria, mengkritik pandangan Popper tentang metode ilmiah yang ketat. Dia berpendapat tidak ada metode ilmiah yang tunggal yang dapat menentukan validitas atau kebenaran sebuah teori. Feyerabend menekankan kebebasan dalam penyelidikan ilmiah dan mempertanyakan otoritas dari metode-metode yang mengklaim superioritas.

Meskipun mereka telah menyempurnakan atau mengembangkan teori falsifikasi Popper, pendapat mereka kenyataannya masih juga diperdebatkan dan ditantang oleh komunitas ilmiah lainnya. Pandangan tentang metode ilmiah dan teori-teori ini masih menjadi subjek perdebatan dan penelitian di kalangan filsuf dan ilmuwan.

Pengayaan gagasan besar Popper tentang falsifikasi oleh para pemikir yang dicontohkan di atas, setidaknya dapat digunakan dalam pemecahan masalah sosial, politik, dan kebudayaan dengan menggunakan pendekatan yang fokus pada falsifikasi, kritik, dan pembaharuan konseptual.

Beberapa langkah yang dapat diambil misalnya mengidentifikasi klaim atau teori yang akan diuji. Tentukan klaim atau teori tertentu yang mau diuji atau dievaluasi. Pastikan teori tsb cukup jelas sehingga dapat dipertanyakan dan diuji dengan menggunakan data dan bukti yang tersedia. Soal Sigodangpohul misalnya, tanya Profesor Uli Kozok, seorang Batakolog yang piawai dalam filologi Batak. Benarkah Sigodangpohul itu sebuah diksi khusus pada zaman warlord di tanah Batak tempo doeloe. Soal capres untuk Pilpres 2024, uji alibinya ketika kerusuhan Mei terjadi di Jakarta, uji mengapa dia diberhentikan dari kedinasan oleh Dewan Kehormatan Militer. Tentang LGBT, uji apakah ybs terlahir L, G, B dan T atau dibuat-buat. Kalau ybs terlahir seperti itu bisakah dinormalkan kembali oleh sains kedokteran. Dan kalau tidak, apa implikasinya bagi kalangan agama terutama yang dogmatis yang memutlakkan pesan yang seakan Ilahi tapi sesungguhnya manusiawi seperti LGBT adalah haram hukumnya dst. Tidakkah pesan yang pseudo-Ilahi itu harus disekularkan sejalan dengan konstitusi negara dst dst.

Tetapkan kriteria falsifikasi yang jelas untuk menguji atau menyangkal sebuah pembenaran. Kriteria ini harus spesifik dan dapat diverifikasi, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah klaim atau teori kebenaran tsb benar-benar diuji atau berhasil disangkal.

Lakukan pengumpulan data dan bukti yang relevan untuk menguji klaim atau teori yang sedang dianalisis. Data ini dapat berupa fakta-fakta empiris, hasil penelitian, informasi historis, atau sumber lain yang relevan dengan masalah yang diteliti.

Evaluasi dan analisis data yang telah dikumpulkan dengan menggunakan kriteria falsifikasi yang telah ditentukan. Tinjau apakah data tsb mendukung atau membantah klaim atau teori yang sedang diuji. Jika data tsb tidak mendukung klaim atau teori, maka kemungkinan besar klaim atau teori tsb harus direvisi atau ditolak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun