Menjauhi Falsifikasi Diri, Bangsa dan Negara
Ranah publik ibarat sebuah pasar bebas. Semua ide ada disana, mulai dari kreseh-peseh seperti bagaimana pola asuh anak yang tepat untuk Indonesia now, masalah LGBT, hingga masalah pilpres 2024 yad.
Tidak semua transaksi dalam pasar bebas itu memenuhi syarat layak ditindaklanjuti. Belum lama ini misalnya menggelinding pendapat seorang fesbuker yang mewanti-wanti kita agar waspada dalam memilih capres pada pilpres 2024 yad. Intinya jangan sampai kita memilih yang abu-abu yang belum teruji penuh tracknya di masa lalu, khususnya di penghujung era Orba.
Apa itu? Peristiwa kelam Mei 1998, pemerkosaan keji terhadap WNI keturunan dan penculikan para aktivis yang sampai sekarang sebagian dari aktivis dimaksud belum pernah kembaIi ke pangkuan keluarganya masing-masing, mulai dari Widji Thukul dll. Siapa sosok capres yang dicurigai. Silakan memfalsifikasi klaim gue nggak tau apa-apa dan pastinya nggak bersalah. Ujilah secara optimal pembenaran diri itu, dan apabila hasilnya signifikan, maka langkah selanjutnya dapat dipastikan ybs memang tak layak dicapreskan.
Juga ada cukup banyak di pasar bebas ini kasus budaya yang rada aneh, misalnya klaim marga atau clan di kalangan komunitas Batak. Marga adalah sesuatu yang wajar dalam perjalanan sejarah orang Batak. Permargaan baru dikenal 400-500 tahun lalu. Untuk mudahnya Ompu Raja Sonang misalnya. Ia melahirkan 4 marga yang kemudian menjadi kakak-beradik yi Gultom, Samosir, Pakpahan dan Sitinjak. Kalau ditarik garis alih generasi pada rata-rata usia kawin 20. Maka yang terdapat sekarang adalah generasi atau turunan yang ke-20.
Pakpahan pertama yang mempunyai anak 3 pada keturunan ke-13-14 sudah berkonflik. Ada yang ntah kenapa menyisipkan the strangers dengan nama yang juga strangers yi Sigodangpohul sebagai keturunan Pakpahan pertama, ada yang mempelorotkan abangnya jadi si adik-an, ada yang mengklaim bahwa si nomor dua Hutanamora sebetulnya tidak ada, karena itu adalah keturunan si nomor satu yang hilang dari peredaran, ada yang mengatakan Hutaraja anak sulung Pakpahan pertama sekarang bukan lagi yang harus dirajakan, melainkan raja keong atau tak berpendirian atau plin plan yang tak perlu digugu oleh siapapun.
Sigodangpohul dalam khasanah Batak. Itu tak lepas dari nama yang dipungut dari zaman warlord atau perang antar puak tempo doeloe. Secara filologis itu hanya bermakna anak pungut yang rakus dan tak tahu diri. Diksi ini ada dalam penamaan Kecamatan Sipanganbolon, sebuah wilayah di tapal batas Toba dan Simalungun. Gontok-gontokan model begini pastinya bakal panjang dan takkan pernah berujung, karena yang terjadi disini adalah adu suara dan bukan adu falsifikasi dan/atau penyangkalan untuk sebuah kebenaran.
Teori falsifikasi Karl Popper, atau falsifikasionisme, adalah konsep yang berpengaruh dalam pengujian sesuatu yang dianggap sains atau kebenaran. Cara berfikir yang harus digunakan dalam konteks ini adalah membedakan suatu pembenaran dari kebenaran. Ini adalah cara kita untuk membatasi antara kaidah ilmiah yang ber-metode, ber-obyek dan dapat dibuktikan secara sistematis untuk menggugurkan segala spekulasi terkait permargaan dimaksud, terkait capres dimaksud dst.
Karakteristik kunci dari sebuah teori tentang kebenaran adalah potensinya untuk difalsifikasi atau disangkal. Pengetahuan ilmiah tidak akan pernah berkembang melalui akumulasi bukti yang mendukung teori melainkan melalui pengujian terus menerus dan upaya falsifikasi teori. Sebuah pandangan yang seakan itulah yang terbenar harus membuat prediksi spesifik yang dapat diuji kebenarannya.
Sebuah teori pembenaran, haruslah dapat dirumuskan dengan cara yang memungkinkan untuk dibuktikan salah. Dengan kata lain, sebuah pembenaran harus membuat prediksi yang, jika tidak didukung oleh bukti empiris, akan menyangkal atau menyanggah kebenaran tsb. Jika sebuah kebenaran tidak dapat difalsifikasi, maka itu berada di luar ranah sains dan masuk ke ranah pseudosains atau ilmu semu atau kebenaran semu atau metafisika.