Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ngaca: Starbucks dan Pendapatan Kitorang

15 Mei 2023   16:58 Diperbarui: 15 Mei 2023   17:15 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jelas bahwa dengan ketentuan UMP seperti disinggung di muka, maka barisan antri mayoritas haruslah dibedakan dengan barisan antri minoritas, sebab yang berpendapatan di atas UMP itu dipastikan adalah manajer-manajer khusus di perusahaan swasta yang itu pun harus dilihat apakah perusahaan itu perusahaan menengah ke atas atau bukan. Kalau bukan, maka mereka tentu harus ngantri dalam barisan UMP Jakarta, Surabaya, Medan, Makasar. Kalau pun ada dari barisan ini yang memaksa diri harus ke Starbucks, ke Fore, Ke Excelso dst, itu tentu sekedar latah atau ada si tukang traktir baginya.

Dari hitung-hitungan sederhana tsb kita tahu jika upah pekerja di Indonesia sangat murah dan jauh dari kata sejahtera. Kalau kita melihat secara keseluruhan dari 38 Propinsi, upah yang menyentuh angka Rp 4.5 juta ke atas tidak sampai setengah. Sedangkan yang berupah Rp 10 juta per bulan atau katakanlah mendekati Rp 45 juta seperti di Amerika. Kita belum bisa mengatakan bahwa harga secangkir Starbucks di negeri ini murah bagi mereka. Tetap saja tekor. Kalau sampai ada yang mengatakan ramainya gerai starbucks dan kopi kekinian ala Indonesia yang dikunjungi orang. Itu bukanlah karena pendapatan rata-rata di negeri ini sudah meningkat, atau negara ini sudah makmur sejahtera. Tidak.

Kita harus berani ngaca, yang punya perusahaan di Amerika, mengapa harus membebani gaya hidup kitorang. Okelah pendapatan rata-rata orang Amerika jauh lebih tinggi dari kita. Mengapa bisa begitu. Ini tentu berpulang kepada pemerintah dan para pelaku usaha dan pemikir ekonomi kita. Ada apa dengan nilai tukar kita. Apakah karena nilai tukarnya bertumpu pada mata uang $ US, seperti hari ini misalnya Rp 14.826 per US $. Lalu bagaimana kita menyikapinya, apakah kita terlalu bodoh dengan kurs seperti itu atau bagaimana.

Teori ekonomi akan selalu berkembang dan berkembang tak pernah berujung. Dan pastinya kita akan selalu dibohongi disitu, karena AS dkk-lah yang terbenar dan harus diikuti.

Coba segarkan sebentar saja ingatan kita tentang Ekonom Ragnar Nurkse tempo doeloe yang percaya bahwa negara-negara yang belum sejahtera seperti kitorang sekarang ini sesungguhnya belum terlepas dari lingkaran setan kemiskinan, yang tentu merugikan pembangunan ekonomi.

Lingkaran setan dimaksud bekerja pada sisi permintaan dan penawaran. Di sisi penawaran, kapasitas menabung kecil karena tingkat pendapatan rendah, tingkat pendapatan rendah mengakibatkan produktivitas rendah yang lagi-lagi karena kekurangan modal yang merupakan efek dari rendahnya kapasitas menabung. Sebaliknya, di sisi permintaan, dorongan untuk berinvestasi rendah karena rendahnya permintaan dalam perekonomian, yang disebabkan oleh rendahnya pendapatan. Begitulah lingkaran setan bekerja di sisi penawaran dan permintaan. Tak heran lingkaran setan kemiskinan membatasi ukuran pasar di negara-negara belum makmur sejahtera seperti Indonesia.

Lingkaran setan kemiskinan itu hanya dapat diputus melalui pertumbuhan yang seimbang, atau dengan memperbesar ukuran pasar yang tidak dapat dilakukan oleh investor individu. Ini hanya dimungkinkan dengan bantuan sekelompok investor dan hanya dapat diperluas dengan pembangunan infrastruktur, keahlian menjual dan advertising modern yang berskala luas. Sebagian dari itu sudah dikerjakan oleh pemerintahan Jokowi sekalipun masih juga dibully kaum neolib.

Konstelasi kekuatan negara-negara hegemonis yang melingkari kita, cenderung bertindak dan bereaksi satu sama lain sedemikian rupa untuk tetap menjitak Indonesia selaku negara periferi dalam keadaan miskin. Lingkaran setan kemiskinan ini berdampak buruk pada akumulasi modal nasional. Jika lingkaran setan kemiskinan ini diputus maka pembangunan akan berjalan lancar.

Perluasan pasar, hanya dapat diwujudkan melalui proses pertumbuhan yang seimbang, di mana orang-orang di berbagai negara, bekerja dengan alat baru dan lebih baik, menjadi konsumen satu sama lain.

Dalam konteks pergeseran geopolitik dan geoekonomi sekarang, mengapa kita tidak mengantisipasi perkembangannya dengan fokus kepada nilai tukar, mengapa tidak kalau Asean membuat mata uang sendiri dan bagaimanapun harus berusaha keras untuk bercerai dari US $. Toh, China, Rusia, Brazil, Afsel dan beberapa negara lainnya sudah mencobanya, seperti China sekarang yang sudah bisa mengandalkan Yuan-nya. Sudah saatnya negeri ini tidak lagi membebek kepada AS dan barat sebagaimana membebeknya Singapore, Korea selatan dan Jepang.

Ke depan dunia harus dipandang sebagai dunia yang multipolar yang tidak lagi berkiblat pada sebuah negara dan blok hegemonis seperti AS dkk. Nilai tukar sebuah negara tidak bisa didikte dengan gelembung ekonomi sebagaimana sering didesain di AS. Nilai tukar sebuah negara ditentukan oleh kekayaannya yang setiap tahun diproyeksikan dalam APBN seperti APBN kita 2023 yang bernilai Rp 2.463 trilyun yang bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.021,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 441,4 triliun -- lih kemenkeu ri dalam https://tinyurl.com/2lry2x6p

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun