Dansa Media Komunikasi Bagi Rakyat Timtim
Masyarakat Timtim dikenal sebagai masyarakat yang berwatak keras sebagaimana tertempa alamnya yang didominasi Montanhas de Pedras de Cal yi Pegunungan Batu Berkapur. Sejauh mata memandang, kita hanya melihat padang stepa dan sebagiannya lagi padang savana. Hanya di kantong-kantong tertentu seperti Los Palos ada hutan tapi tentu tak selebat hutan di Kalimantan atau Sumatera. Namun uniknya, masyarakat pada umumnya menyukai musik yang berirama gembira. Di masa Indonesia, pemancar radio swasta satu-satunya di Timtim yi Radio Suara Lorosae, setiap hari mengumandangkan lagu-lagu yang berirama gembira mulai dari musik Cha-Cha, Samba hingga musik Metal.
Kegemaran mendengarkan musik ini seiring dengan kedatangan orang Porto atau Portugis ratusan tahun lalu yang dalam pendudukannya kemudian memperkenalkan musik diatonik dan budaya dansa dari Eropa. Dalam perjalanan waktu, boleh dikata musik dan dansa telah menyatu dalam kebudayaan Timtim. Di seluruh pelosok Timtim, kl 36 suku bangsa yang ada di situ mengenal dengan baik kebiasaan dansa yang akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Timtim secara keseluruhan.
Dalam kegiatan perlombaan desa di daerah pedalaman misalnya, adalah menarik menyaksikan orang-orang gunung itu berdansa demikian trampilnya tak kalah dengan mereka yang berdisco di kota-kota besar di pulau Jawa.
Nia Ihromi dan Mario Carrascalao
Acara-acara besar, termasuk upacara kore metan (pelepasan kain hitam) biasanya diakhiri dan/atau berpuncak pada acara semalam suntuk. Seorang dokter Inpres yang pernah saya kenal dan bekerja di pedalaman Ermera, dr. Nia Ihromi, mempunyai pendapat yang unik bahwa dengan mengikuti acara dansa ini ia dapat berkomunikasi secara lebih akrab dan terbuka dengan masyarakat Timtim. Nia lebih cepat mengenal warga yang dilayaninya, sehingga mudah memahami bagaimana kebiasaan berkesehatan mereka sehari-hari dan apa saja aspirasi mereka tentang hidup sehat dan berkesehatan.
Di samping Nia Ihromi, dalam sebuah obrolan dengan Gubernur Mario Viegas Carrascalao saya pernah mendengar pendapat unik seperti itu bahwa untuk mengenal warga Timtim lebih dekat dan dekat anda terjun saja ke pasar-pasar tradisional. Meski pasar tradisional semakin ke pedalaman semakin mengecil, tapi anda akan mendapatkan pola serupa bahwa pasar tradisional adalah wadah informal bagi warga untuk berkomunikasi. Bisa dimulai dengan obrolan ringan tentang cuaca hari itu hingga berlanjut sampai ke langit ketika anda dikejutkan sebuah pendapat orang desa tentang politik yang pernah diketahui dan masih dirasakannya hingga saat itu.
Orang gunung berdansa
Ketika berkunjung ke Covalima di sebuah desa di gunung, usai acara perlombaan desa saya sempat ditarik berdansa oleh menina atau nona desa yang minta ampun pandai banget melingkarkan tangannya di pinggang saya dan kemudian menggerakkan tubuhnya seturut irama valsa yang mengiringi kami berdansa ketika itu. Dari gerakan kaku saya tiba-tiba jadi pintar mengikuti langkah dansa si gadis desa. Karena di gunung tak ada orkes dan musisinya, yang ada hanyalah kaset musik yang diputar dengan listrik dari genset Yamaha, tetapi itu sungguh menakjubkan bagi saya dkk. Bagaimana tidak, dalam suasana apa adanya tapi gembira, kami jadi cepat akrab dengan warga setempat, karena sampai jelang dini hari kami bermusik dan berdansa, meski hanya dari tape recorder sederhana, tapi sound systemnya keren.
Dansa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Timtim yang diadopsi dari Portugis. Di Timor barat Indonesia pun demikian, Belanda tentu yang membawanya dari Eropa. Dalam pesta pernikahan dan syukuran lainnya, dansa boleh dikata telah menjadi bagian yang wajib ada bahkan dianggap sebagai puncak acara syukuran. Pendeknya tak ada pesta tanpa dansa.
Hebatnya, kesenian warisan kolonial ini berkembang sangat cepat. Semua kalangan menikmatinya, mulai dari anak-anak hingga usia lanjut. Dalam pesta nikah misalnya, setelah petuah atau sambutan, pemotongan kue pengantin, resepsi dan lainnya yang hanya dilakukan selama 1,5-2 jam, sedangkan dansa dilakukan hingga pagi hari.
Dansa yang pernah saya lihat dan rasakan di Timtim adalah sebuah tarian dengan iringan musik diatonik Eropa. Dalam seni tari, Timtim jauh sebelumnya telah memiliki aneka ragam tari-tarian antara lain tari bidu dan tari likurai. Tarian tsb diikuti oleh perempuan yang memakai kain tais dan hiasan lainnya pada tangan kiri. Sambil membawa babadok (semacam perkusi atau gendang kecil) yang disisipkan pada ketiak sambil menari dan yang lainnya memukul kenong (gong kecil). Mereka berjalan bersama-sama sambil menari. Sementara laki-laki yang ikut menari memakai pakaian adat lengkap dengan ikat kepala yang diberi hiasan bulu-bulu ayam dan membawa surik (semacam pedang).
Lain halnya dengan tarian tebe (seperti tebe liurai, tebe bunak, dahur dll). Tari ini diikuti oleh laki-laki dan perempuan, tua muda bisa ikut menari dengan membentuk satu lingkaran, saling bergandengan tangan dan berputar dengan menghentak-hentakkan kaki sambil menyanyi bersahut-sahutan.
Nyanyian dan lagu daerah Timtim pada umumnya menggunakan bahasa Tetum dengan diiringi musik dari orkes kore metan, yaitu musik tradisional yang terdiri dari gitar, biola, ukuleie, mandolin dan gendang atau perkusi khas Timtim. Musik ini dimainkan dalam upacara pelepasan kain hitam yang dipakai oleh sanak saudara orang yang meninggal, sebagai tanda ikut berduka cita sesudah satu tahun dipakai.
Tak heran, dansa ala Porto begitu mudah menyatu dalam berkebudayaan, karena sudah dari sononya masyarakat Timtim bisa menari dalam ritual mereka yang bernafaskan animisme dan dinamisme jauh sebelum agama Katholik mereka kenal.
Tomas Correia dan Agha Svedco
Menurut Tomas Correia, obyek wisata budaya seperti tari dan ritual lokal pra-Katholik sudah sejak tempo doeloe menjadi potensi utama kepariwisataan Timtim. 13 distrik yang ada di Timtim rata-rata memiliki kekhasan budaya yang menarik. Sebagai contoh upacara panen raya di Maubisse, Ainaro; upacara panen ikan di Atabae, Bobonaro; upacara panen garam di Laga, Baucau; dan upacara panen "Metchi" (semacam cacing laut berwarna hijau) di Moro dan Lore, Los Palos, Lautem. Menurut Correia Timtim juga memiliki kesenian tradisional yang masih murni dan belum bercampur dengan kebudayaan Porto, seperti tarian Dahur (tebe-tebe). Seni tari ini terdapat di Timtim selatan mulai dari Viqueque, Manufahi hingga Covalima.
Agha Svedco yang adalah konsultan pariwisata Timtim di masa Indonesia pernah mengungkapkan di samping obyek wisata budaya, menyusul yang perlu dikembangkan adalah wisata sejarah, berupa elemen-elemen pra kolonial dan peninggalan kolonial Porto, termasuk peninggalan PD II dari Ausie dan Jepang. Dan setelah Timtim merdeka lepas dari NKRI, maka wisata sejarah berikutnya disini tentu adalah peninggalan Indonesia seperti Cristo Rei atau Patung Kristus Raja di bukit Meti Aut, Dili timur, termasuk kl 450 jembatan dan ribuan km jalan yang melintasi Timtim utara dan Timtim selatan, bakal dam Betano, Manufahi, termasuk kantong-kantong transmigrasi di Covalima dst, dan berbagai kuil Hindu peninggalan warga Bali, Indonesia.
Festival dan Lomba Dansa
Di Kabupaten TTU (Timor Tengah Utara) dan Kabupaten Belu Indonesia yang beribukota Atambua, yang berbatasan dengan Distrik Oekusi, Timor Leste, ada semacam internalisasi, dimana tradisi dansa sudah menguat dan mengakar dalam keseharian masyarakat. Masyarakat dari dua negara yang berbeda itu memiliki kesamaan atau corak dansa gaya Timor. Pesta nikah atau acara lainnya kerap dilakukan di perbatasan dan acaranya diwarnai dengan dansa bersama.
Adalah tepat menyelenggarakan lomba dansa di sana sebagai upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara khususnya pelintas batas dari distrik Oekusi. Melalui media dansa itu, diharapkan hubungan masyarakat antara kedua daerah yang memiliki kesamaan sosial kultural dan ikatan emosional yang kuat dapat menjadi atraksi wisata yang menggairahkan bagi kedua daerah, termasuk menjadi momentum unjuk kebolehan bagi para pencinta seni dansa -- lih travel.kompas.com dalam https://tinyurl.com/2kfjxuq4
Pemkab Belu pernah menyelenggarakan Festival Fulan Fehan beberapa waktu lalu. Kegiatan tsb merupakan program Pemkab Belu bekerjasama dengan Kemenparekraf Indonesia.
Festival unik itu berlangsung di padang Fulan Fehan di puncak gunung Lakaan, Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Timor Barat, wilayah perbatasan RI-Timor Leste.
Ribuan warga memadati hamparan padang savana yang berbukit itu. Festival Fulan Fehan menghadirkan sejumlah penari dari daerah Belu serta penari asal Timor Leste dengan menampilkan berbagai tarian daerah khas daerah Timor Barat dan Timor Leste.
Penari sanggar tatoli timor oan asal Timor Leste, klibur kultura loro oan aprezenta danca historical baluk rai Timor Leste husi tempu portugues ba to'o ukun an sebagai pembuka awal festival tsb.
Penampilan sanggar tatoli timor oan menggambarkan sejarah budaya timor sejak masuknya portugis dengan beragam tarian timor porto, dansa kore metan, tebe timor rasik dan klibur kultural timor oan, tarian timor leste.
Sementara penari Belu dengan tarian likura, kit-kit antama, tebe kolaborasi dengan adat meminta hujan serta tarian khas daerah Belu lainnya. Aksi para penari yang memiliki hubungan keluarga erat meski berbeda negara memukau ribuan warga yang memadati padang Fulan Fehan - lih nttonline.now.com dalam https://tinyurl.com/2l7gp7br
Gambaran di atas, memastikan aktivitas dansa merupakan warisan kolonial yang saat ini sudah diadopsi menjadi tradisi orang timor pada umumnya. Â Kita tahu bahwa setiap ada acara pesta pasti melekat acara dansa.
Kabupaten TTU adalah salah satu daerah perbatasan dengan distrik Oecusi, Timor Leste. Ada dua pintu perbatasan antara distrik Oecusi dan Timor barat Indonesia, tepatnya pintu masuk Napan, Hau Meni Ana dan Wini, serta pintu masuk di perbatasan Mota'ain.
Daerah ini memang merupakan salah satu destinasi wisata. Menjejakkan kaki di perbatasan ini ada sensasi tersendiri, khususnya ketika berada di garis demarkasi yang merupakan tempat netral atau garis Internasional yang membatasi kedua Negara.
Di sekitar garis demarkasi ini terdapat pemandangan unik, yi ada hari pasar dimana banyak warga Oecusi, Timor Leste, menjajakan barang dagangan di perbatasan ini seperti topi, tas, kaos, dan tais atau tenun ikat dengan berbagai macam motif yang bisa dibeli dengan mata uang rupiah.
Memanage perkembangan dansa
Menyelenggarakan pesta adalah hak tiap orang, dan di Timtim pesta bukan hanya sekedar ajang pertemuan antara kedua belah pihak (penyelenggara acara dan para tamu undangan) tapi pesta identik dengan acara dansa. Pesta di Timtim, bahkan Timor barat Indonesia yang berbatasan dengannya tidak akan seru bila tidak diakhiri dengan acara dansa.
Budaya ini sudah berlangsung lama. Model penyajian dansa pun berkembang sesuai zaman. Kalau dulu langgam dansa masih sederhana, begitu pula alat musik yang masih didominasi biola. Lain halnya zaman now yang serba digital dengan gaya dansa yang sangat berbeda pula.
Ada yang mengritiknya sebagai pemborosan, karena pesta dansa membutuhkan biaya yang tidak sedikit mulai dari penyewaan band pengiring dan sound system, hingga makanan sampai minuman, belum termasuk biaya sewa gedung dll.
Juga soal keamanan. Salah satu masalah yang sering terjadi pada saat acara pesta digelar adalah faktor keamanan selama acara pesta berlangsung. Tak jarang terjadi kekacauan dalam acara pesta, karena salah pengertian di antara undangan ataupun karena minuman beralkohol yang melampui batas, sehingga membuat si peminum menjadi mabuk dan kehilangan kontrol yang akhirnya bisa menyebabkan kekacauan di dalam acara pesta.
Adalah tugas pemerintah setempat untuk konsisten mensupervisi agar budaya ini tetap berjalan sesuai aturan yang wajar. Bernyanyi dan berdansa ria tanpa mempedulikan masyarakat sekitar tentu harus lebih disupervisi lagi.
Setiap masyarakat pastilah memiliki budaya yang berbeda satu sama lain, begitupun dengan masyakarat Timtim. Adalah salah kalau budaya yang bagus tidak dilestarikan, dan akan lebih salah lagi kalau kehadiran sepotong budaya adopsi lupa ditangani performa dan daya tariknya.
Dansa Timor sebagai asset Indonesia dan Asean
Bagaimanapun, dansa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayan Timor. Segala sesuatu yang tampak di depan mata, dan dilakukan secara terus-menerus dalam kegiatan apa pun. Disitulah arti dansa sebagai simbol kebudayaan Timor.
Dansa adalah hiburan universal. Siapa pun, pasti mengenal hiburan ini. Ntah pun kita mengenalnya hanya sebatas melalui tayangan TV, atau film layar lebar, sampai pada pengalaman langsung dalam acara-acara orang Timor di berbagai kesempatan.
Di Timtim Dansa adalah alat pemersatu. Orang Timtim, berasal dari distrik mana pun dia, ketika berada di dalam satu acara dansa, mereka akan langsung menyatu dalam acara tsb.
Juga dalam acara dansa, tidak ada ruang perbedaan bagi setiap orang. Karena semua yang hadir dalam acara tsb, menyatu dalam musik dan tarian.
Tak ada pesta di Timtim tanpa dansa. Hal unik disini adalah orang-orang Timtim akan menyesal, bila dalam acara apa pun tidak ada dansa.
Meskipun ada sebagian warga yang tidak tahu dansa. Namun, itu bukan kekecualian. Kisah mereka dalam acara tertentu adalah dansa. Karena sedari kecil, mereka sudah mengenal budaya ini.
Dansa itu bebas dan bertanggungjawab. Artinya, siapa pun yang hadir dalam acara tsb harus dansa, bila diminta oleh orang lain. Tidak peduli si A, B, C dst adalah suami, isteri, atau pun pacar orang lain. Karena budaya ini bebas, tetapi tentu dalam koridor bertanggungjawab sebagai makhluk yang berakal budi.
Demikian potret budaya dansa di Timtim, semoga bermanfaat dalam memaknai sejarah perjalanannya, dan bermanfaat bagi kepariwisataan Indonesia dan Asean. Setidaknya budaya ini dapat dipergelarkan pada KTT Asean 10-11 Mei yad di Labuan Bajo, Flores, NTT, Indonesia.
Joyogrand, Malang, Mon', May 01, 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H