Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Plus-Minus Exposure dalam Dunia Perdagangan Kita

11 April 2023   14:19 Diperbarui: 27 April 2023   03:56 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi exposure dari seorang influencer. Sumber: Shutterstock via kompas.com

Plus-Minus Exposure dalam Dunia Perdagangan Kita

Orang berbisnis apapun jenis dan bentuknya tentu perlu marketing bagaimana agar dagangannya laku dan berputar semakin keras. Apabila kiat ini berhasil, bisa dipastikan positioning produk itu sudah mendapat pijakan yang pasti di lautan pasar. Katakanlah begitu, karena pasar zaman now tak ubahnya lautan. Item yang diperdagangkan dari berbagai kategori disitu sungguh tak terhitung lagi ragam dan kegunaannya di lautan yang kita sebut pasar itu.

Jangan pula dilupakan perkembangan perdagangan sekarang tak lepas dari perkembangan medsos dan informatika yang luarbiasa pesatnya yang boleh dikata tiada hari tanpa perubahan karena inovasi tiada henti dari medsos dan aplikasi berbasis komputasi yang mengiringinya.

Medsos yang jadi instrumen utama disini dipenuhi oleh para pemain yang menjadi influencer dengan tolok ukur kepengikutannya di medsos. Ini pun masih dibagi-bagi. Kalau facebook kebanyakan diisi umur 40 tahunan ke atas, dan ada juga klas umur di bawahnya meski tak banyak. Maka influencer yang ngetrend disini adalah para pensiunan top swasta dan pemerintahan. 

Twitter lebih fokus pada isu-isu politik. Influencer disini  terbagi antara pejabat senior pemerintahan yang aktif dan para politisi muda yang gemar adu isu untuk cari pengaruh yang kelak diperjualbelikan dalam kontestasi politik. Sedangkan anak muda sekarang lebih banyak menjadi influencer di Instagram yang disebut sebagai selebgram. 

Dan puncak dari pada penayangan audio visual adalah youtube yang dipenuhi pemain baik umur 40 tahunan ke atas maupun ke bawah. Dan yang ngetrend sekarang adalah reel atau video pendek yang komunikatif dan langsung heboh. Sedangkan media telegram cenderung sangat politis seakan tak ada lagi tempat bagi youtuber maupun selebgram.

Brand di dunia perdagangan dan Medsos terus berkembang unlimited. Inilah yang menuntut komunitas bisnis untuk beradaptasi agar bisa bertahan dan berkembang di era yang sudah serba digital. Strategi pemasaran perlu disesuaikan dengan cara-cara baru yang menarik agar setiap brand bisa memenangkan kompetisi di pasar, salah satunya ya melalui influencer marketing ini.

Influencer marketing adalah strategi yang tidak terbatas pada penggunaan selebriti atau publik figur, melainkan bisa melibatkan siapa saja yang memiliki "influence" atau pengaruh untuk mencapai tujuan pemasaran sebuah brand. Dengan kata lain influencer adalah figur yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan pembelian orang di lautan pasar karena otoritas, pengetahuan, posisi, atau hubungannya dengan audiensnya.

Sebagai alat promosi, seorang influencer tentu harus dibayar oleh pengguna jasanya, karena influencerlah dalam hal ini yang mempengaruhi, mengubah opini, dan mengubah perilaku audiencenya melalui online, dengan kemenonjolan dan karakter Influencer itu sendiri.

Masalahnya begitu tiba di lapangan untuk katakanlah bisnis kuliner, para pemain disini berlapis-lapis. Di papan atas yang bermodal global seperti McDee, Kentucky, Dominos Pizza, Ralph Lauren, dst itu tak masalah. Positioning mereka sudah sangat bagus. 

Contoh, seorang anak kecil merengek pada Mamanya pengen diulangtahunin di McDee. Yang melekat di benak sang bocil disini adalah gambar McDee itu sendiri yang didominasi warna kuning dan merah. Pendeknya gambar atau patung Om Bebek ini sudah terkunci habis di benaknya dan sangat menggemaskan baginya. Itulah positioning pemain papan atas yang sudah mengglobal.

Bagaimana dengan brand dalam negeri. Ini pun sudah bagus. Katakanlah untuk perbusanaan sudah lama ada nama Harry Dharsono, dan sekarang ini ada Merdi Sihombing dan Anne Avantie. Mereka sudah bukan lagi kreator semata di bidang busana, tapi sudah termasuk influencer papan atas di negeri ini. 

Harry Dharsono misalnya adalah pencetus adibusana di Indonesia, dan Anne Avantie adalah pemain adibusana papan atas penerus Dharsono, khususnya busana pengantin yang wah, sedangkan Merdi terkenal karena motif tenun ikat nusantaranya dalam sentuhan modern.

Ilustrasi menggunakan Influencer untuk menggerakkan followernya. Foto: beloved-brands.com
Ilustrasi menggunakan Influencer untuk menggerakkan followernya. Foto: beloved-brands.com

Sedangkan pemain medium, medium bawah dan strata rendah dan terendah dari dunia bisnis ini belum memiliki influencer yang pasti. Sementara bisnis di strata inilah yang memerlukan influencer untuk hari depan bisnisnya.

Mengkhusus pada dunia perkulineran. Pertanyaannya sekarang bukan soal si influencer harus dilayani habis oleh dunia perkulineran yang berhasil dijajakannya melalui pengaruhnya di medsos. Bukan. Tapi apakah ada understanding dan kerjasama untuk itu. Untuk perkulineran kelas medium dan medium bawah. Itu sudah pasti. 

Entah tertulis ataupun tidak, dan ini tentu tak lepas dari durasi atau berapa lama dagangan itu akan ditayangkan, karena disini akan dihitung juga tenaga profesional seperti writer, videografer dan fotografer yang dibutuhkan. Sedangkan pesona si influencer itu soal lain, syukur-syukur kalau ia sekaligus akhli dalam tulis-menulis, termasuk akhli dalam fotografi dan videografi.

Sejauh ini saya melihat dunia perkulineran hanya dijajakan secara terbatas di facebook. Jarang ada influencer papan atas yang menjajakannya disini. Kebanyakan hanya dijajakan melalui akun si pedagang itu sendiri. Kalaupun ada videografi di facebook. Itu ditarik dari Youtube oleh pemedsos yang ingin tahu cara menjadi barista perkopian misalnya, atau seorang pemedsos yang ingin tahu cara menjahit yang benar.  

Tapi ini pun jarang terjadi. Mereka kebanyakan nyebur langsung ke dunia Youtube saja. Apa saja yang menarik perhatian mereka disana. Itulah yang mereka tonton. 

Sebaliknya di Instagram. Cukup lumayan influencer yang mencantolkan brand tertentu untuk dibranding ke followernya. Lain halnya dengan Youtuber yang memang pandai membuat videografi soal food and beverages. Mereka cukup banyak yang mempostingnya di medsos khusus video ini tanpa harus kulonuwun kepada si pemilik brand. Kalau banyak pengunjung, pihak google akan mendigitalisasinya menjadi uang. Itulah yang terjadi pada Atta Halilintar dkk.

Medan pembrandingan memang ruwet. Apa mau dikata, dunia bisnis zaman now memang bising dengan periklanan, karena semua beradu untuk menjadi terdepan. Tahun 1970-an pembrandingan mudah saja. Melalui media TV , bahkan radio, sudah terjadi pemasaran sebuah brand entah brand apapun itu. Yang penting ada cukup money untuk membayarnya. Dan pembayarannya, itu bergantung berapa lama penayangannya, sebulan, dua bulan, atau bagaimana, juga berapa lama durasi iklan yang ditayangkan. Di zaman jadul seperti itupun pemasaran sebuah brand sudah menjadi kebisingan sendiri. Semuanya beradu di layar kaca, yang pada akhirnya membuat kita menjadi muak saking bisingnya.

Barulah pada era sekarang saat media TV sudah semakin dijauhi apalagi media radio dan persuratkabaran cetak, para influencer yang berselancar di dunia maya menjadi incaran. Itulah yang melahirkan influencer marketing sekarang ini, nggak di dunia politik, nggak di dunia perbusanaan, apalagilah di dunia perkulineran.

So kalau influencer tetaplah influencer tanpa harus melihat patronase masyarakat luas yang mengidolakannya atau tidak, maka influencer semacam ini tentu harus beranggapan bahwa mempromosikan sebuah makanan di dunia medsos adalah ajang latihannya sehingga kelak mencapai rating tertinggi sebagai patron masyarakat dalam perkulineran. Jadi soal dia dilayani si pedagang atau tidak. Itu urusan lain, bahkan kalaupun ia hanya dibayar dengan hanya sekadar exposure thoq. Ya, jangan sampai sakit hatilah.

Mengapa urusan exposure ini digemakan Kompasiana. Itu memang perlu agar para perespon bisa menegaskan bahwa influencer di dunia medos kita itu ada yang berbayar bagus karena tingkat pengaruhnya terhadap publik luas adalah wajar karena keterkenalannya sebagai figur di kalangan publik luas.

Hanya di masa transisi panjang dalam proses perubahan sosial sekarang, keterkenalan seorang secara sosiologis tetaplah bergantung bagaimana kekayaan dia. Kalau secara material wah, atau secara jabatan juga wah, atau secara bintang hiburan juga wah. Itulah dia influencer versi Indonesia. 

Sebaliknya semakin minim kekayaan materialnya, maka dia bukanlah influencer yang harus didengar, sekalipun ybs pandai dalam tulis-menulis, pandai mandok hata atau bertutur dalam videografi maupun fotografi dst. Suka atau tidak suka itulah masyarakat kita yang sedang bertransisi panjang untuk bisa mengidolakan mereka yang benar-benar profesional, entah di bidang tulis-menulis, videografi, fotografi dan bertutur tentang sebuah brand yang harus dipasarkan.

Sekarang berpulang kepada para pedagang kuliner kelas medium, medium bawah, strata rendah dan terendah. Merekalah yang harus benar-benar memahami apakah mereka sendiri yang harus menjadi influencer, atau menggunakan inluencer lain. Tapi bagaimanapun tetaplah konsisten bahwa pembrandingan sebuah brand itu tak lepas dari keakhlian dalam menarasikannya, termasuk membuat video dan gambar yang terbaik untuk membrandingnya, sebab untuk urusan yang satu itu tak mungkinlah kita menggunakan patronase dari seorang Luhut Binsar Panjaitan, atau katakanlah Jokowi misalnya.

Soal si Influencer hanya dibayar dengan exposure, pada tahapan membesarkan diri sebagai Influencer okelah, karena menjadi influencer untuk mempengaruhi publik luas dalam rangka pembrandingan sebuah produk, itu butuh ketelitian dari kedua belah pihak ya pedagang, ya si bakal calon influencer.

Joyogrand, Malang, Tue', Apr' 11, 2023.

Ilustrasi Influencer pada kurva adopsi konsumen sebuah brand. Foto: beloved-brands.com  
Ilustrasi Influencer pada kurva adopsi konsumen sebuah brand. Foto: beloved-brands.com  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun