Kami tiba di Ege, 14 Km setelah Namata. Kami berhenti sebentar, karena sepertinya ada upacara. O ternyata ada seorang perempuan tua yang meninggal dan akan dimakamkan menurut tradisi lama. Hampir semua pelayat adalah orang Kristen, tetapi mereka tetap menghormati perempuan tua yang tidak pernah pindah agama itu, dan mereka memakamkannya dengan cara lama.
Jenazah sudah terbungkus kain dengan pola yang rumit. Di belakangnya, terlihat puterinya menunjukkan kesedihannya dengan menangis. Dialah satu-satunya yang melakukannya, karena tampilan kesedihan di depan umum adalah langkah yang diperlukan dalam proses tsb. Seperti yang bisa dilihat, sejumlah besar tekstil lainnya digantung di belakang.
Kepala jenazah juga dibungkus, kemudian dimasukkan ke liang lahat yang digali tepat di depan rumah. Almarhum dimakamkan dengan banyak potongan pakaian serta beberapa barang lainnya seperti batok kelapa, beberapa tanaman lainnya dst. Kemudian lubang itu ditimbun dan semua sisa bahan yang digunakan selama upacara dibawa ke sebuah pohon di belakang rumah.
Kesan saya tekstil yang dikubur bersama jenazah dianggap sakral dan ampuh. Itu penting untuk kesejahteraan almarhumah di akhirat. Itulah ritual Jingi tiu yang sempat saya saksikan di pulau Sabu.
Puas di Ege, atas tuntunan peta wisata, kami langsung meluncur ke obyek wisata alam di Kelabba Madja di Sabu barat tak jauh dari pantai selatan Sabu. Dari Ege hanya 9,3 Km.
Kelabba Madja boleh dibilang unik, bahkan amazing. Kawasan itu seakan tersihir peristiwa alam jadul yang membentuk formasi batuan yang sangat indah di pantai Selatan Sabu. Kami cukup lama menikmati suasana alam seperti di planet lain ini. Ricky sibuk jeprat-jepret dengan kameranya. Tak ada yang ia lewatkan disitu. Alam sekitar membuat saya hanyut dalam sebuah fantasi yang katakanlah kedalam sebuah terowongan waktu dan tiba-tiba terpental ke dunia lain seperti pemandangan alam yang terpampang di hadapan kami sekarang.
Balik ke timur kembali ke Seba, kami juga melewati formasi batu serupa yang disebut Wadu Mea yang menjorok ke laut lepas. Setelah jeprat-jepret disini, kami baru tahu bahwa di belakang obyek wisata alam yang memukau ini, ada perkampungan yang sangat tradisional dengan sebagian penduduknya belum memeluk agama Kristen. Batu-batu alam di Wadumea memiliki makna spiritual bagi mereka dan mereka tidak ingin difoto disini. Ok.
Setelah berbincang-bincang sejenak dengan penganut kepercayaan Jingi tiu disini, kami pun kembali ke Seba, kl 22 Km dari Waddu Mea. Tak ada masalah di jalan meskipun Mentari hampir tenggelam  di ufuk barat. Seraya menarik nafas lega karena aman-aman saja dalam perjalanan, terbayang besok pagi kami harus sudah di Pelabuhan Seba menuju Kupang. Belasan jam penyeberangan ASDP ke Tenau Kupang akan kami arungi.