Serangga, kupu-kupu, lebah, hewan pencari makan, burung, semuanya bergantung pada dan, dalam semacam tarian yang rumit, berinteraksi dengan serbuk sari, biji, daun, kacang, dan bunga pohon.
Boleh jadi ketika akhir Pebruari lalu aku dan sobat jadulku Andang Kosasih beserta isterinya Rita jalan-jalan jelajah alam ke Bromo-Tengger, pohon-pohon kanopi yang kulihat sebelum memasuki padang savana Bromo Tengger, tidak sama lagi dengan yang kurasakan jauh sebelum itu.
Seiring perjalanan waktu, Peter mengembangkan cara baru dalam mengelola hutan yang lebih produktif dan lebih menguntungkan, atau rimba yang lebih manusiawi.
Hanya, ketika dia melangkah lebih jauh dengan berbicara tentang cinta di antara pepohonan, sejumlah orang mungkin keberatan dengan antropomorfisasi seperti itu, tetapi sebagai sebuah pesan penting untuk dunia, kita patut membuka kembali cerita untuk anak-anak dari penulis Denmark Hans Christian Andersen. Hans sudah melangkah lebih jauh sebelumnya dengan sebuah karya tentang alam yi The Fir Tree atau Pohon Cemara.
Dalam narasinya, Andersen menggambarkan mentari bersinar, udara lembut mengibaskan daunnya ketika itu, dan anak-anak petani lewat, berceloteh riang, tetapi pohon cemara tidak mengindahkan mereka.
Ia begitu gelisah, bahkan, tidak menikmati sinar mentari yang hangat, burung-burung, atau awan kemerahan yang melayang di atasnya setiap pagi dan sore.
Di musim dingin, ketika salju berkilauan di tanah, pohon cemara melihat ada pohon-pohon lain yang lebih besar dipilih untuk ditebang dan dibawa pergi oleh sekelompok orang yang bersukaria.
Oh, andai saja aku bisa terus bertambah tinggi dan tua, pikir pohon cemara, tentu tidak ada lagi yang patut diperhatikan di dunia ini!
Beberapa waktu kemudian, keinginan pohon itu dikabulkan. Pada Malam Natal, ia menemukan dirinya berada di rumah mewah, dihiasi dengan apel emas, buah ara, mainan, dan lilin yang menyala. Anak-anak menikmati pesta makanan dan hadiah mereka semalaman. Keesokan harinya pohon itu diturunkan ke sudut gelap loteng, dimana ia kemudian layu menguning, mengering, dan akhirnya ditarik keluar, dipotong kecil-kecil begitu saja, dan dibakar.
Cita-cita untuk menjadi pohon yang besar dan indah, karena tidak puas dengan apa yang telah dicapainya, membuat pohon cemara kecil itu selalu merindukan gemerlap dunia luar.
Barulah setelah dipotong dan dijadikan pohon Natal, sang pohon cemara akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang penampilan luar atau kekayaan, melainkan tentang menghargai apa yang kita miliki dan menemukan kebahagiaan dalam kehidupan sederhana.