Bureaucratic Polity dan Birokrat Dalam Bola Kaca Bening
Pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo yang menjalani pemeriksaan KPK terkait LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) belum lama ini sudah pasti letih sebagaimana letihnya masyarakat di berbagai lapisan yang sehari-hari berpacu dengan waktu untuk sesuap nasi dan segenggam berlian di nampan keluarga.
Tadinya Rafael aman-aman saja dengan kekayaan konon Rp 50 milyar bahkan lebih dalam berbagai bentuk yang tentu sudah melalui proses pencucian rinso anti noda. Tapi begitu anaknya Mario Dandy Satrio bikin ulah berantem dengan David teman sekolahnya yang berakibat David koma beberapa hari. Publik yang tahu itu, langsung menggebernya di medsos bahwa Mario ternyata anak crazy rich. Setelah dicheck dan direcheck, oalah bangsa ini kaget bukan alang kepalang, karena ayah Mario ternyata hanya pejabat rendahan eselon III dengan jabatan Kabag Umum Ditjen Pajak Kanwil Jaksel. Tapi koq bisa jadi crazy rich begitu?
Tak perlu heran, karena birokrasi tempat dimana Rafael bekerja adalah Depkeu. Juga tak perlu heran, karena masalah ini bukan yang pertama atau yang terakhir di negeri ini. Tempo doeloe ada anak muda Gayus Tambunan yang juga pegawai pajak rendahan, tapi bisa wah. Di lain lembaga, yi legislatif, ada kasus besar Korupsi Sapi.
Tak mau ketinggalan lembaga tinggi lainnya, yi MK, Akil Mochtar sang ketua terpaksa dipecat karena amplop gendut dari sengketa pilkada di Banten, bahkan seakan berlomba kita dengar amplop-amplop serupa berseliweran untuk para Hakim di Pengadilan Tingkat I, sampai ke Hakim Agung di tingkat atas. Begitu juga di kepolisian, baru saja selesai kita ikuti kasus Sambo yang sangat menghebohkan itu. Sayang, begitu soal uang perjudian gelap di balik kekadivpropaman Sambo hendak ditelisik lebih jauh, sempritan wasit keburu berbunyi.
Itulah korupsi di negeri ini yang tak kunjung surut dari masa ke masa, padahal zaman now tuntutan untuk bersih-bersih aparatur negara itu perlu bahkan sangat strategis artinya bagi bangsa ini yang konon sudah punya visi jauh ke depan yi 100 tahun Indonesia merdeka atau Indonesia Jaya 2045.
Birokrasi pemerintahan yang sudah meluas menjadi birokrasi negara dimana Rafael, Gayus, Akil Mochtar dll bekerja, memang dan seharusnya tak boleh luput dari tinjauan sosiologis dari berbagai disiplin ilmu sosial, ntah itu hukum, ekonomi, politik dll. Prof Syed Hussein Alatas dari Singapore sudah lama menyorot ini dengan satu kata mascot bahwa korupsi tak bakalan hilang dari birokrasi negara sejauh budaya take and give masih hidup karena tetap diampuni oleh negara itu an-sich. Jasa aparat sedikit saja seperti ganti meteran listrik, urusannya duit.
Tukang yang lagi repair rumah kita harus disogok makanan, rokok dan kudapan yang enak agar tak males-malesan bekerja; tukang sampah yang mungutin sampah kita harus dibaiki sekadar uang rokok dan jajanan agar rajin mungutin sampah, meski Pak RT sudah memberinya upah. Nah, bagaimana tidak buat Rafael, Akil, Gayus dan sebangsanya. Lha wong uangnya guede, bahkan bisa jadi crazy rich seperti Rafael. Ayoo ..
Max Weber dan Bureaucratic Polity
Birokrasi dalam organisasi modern sekarang konsep dasarnya pertama kali dikembangkan oleh Sosiolog Jerman Max Weber. Birokrasi, demikian Weber, merupakan bentuk organisasi rasional yang ideal yang sepenuhnya diserahkan kepada aparat pemerintah yang memiliki syarat-syarat tertentu bagi bekerjanya sistem administrasi pemerintahan.