Sikap a-politis di kalangan teknokrat dan birokrat muda biasanya terkait ketidakpastian masa depan. Ini sudah dimulai ketika mereka masih berstatus pencari kerja dan belum muncul sebagai elite baru dalam jajaran birokrasi. Dan ketidakpastian itu sendiri merupakan warna dari lingkungan administrasi negara yang kini tengah berada dalam pusaran perubahan yang sangat cepat. Ketidakpastian itu menohok mereka dari dalam, sebab birokrasi itu pada kenyataannya adalah arena konflik untuk memperebutkan akses ke atas. Karenanya ketidakjujuran intelektual merupakan bagian dari konflik internal dalam bureaucratic polity.Â
Bagaimana LAN dan Pendayagunaan Aparatur Negara berpikir kreatif mencarikan solusi jitu untuk meredam konflik internal ini. Tentu waskat yang sudah ada sejak zaman Soeharto harus dilengkapi instrumen baru, bisa AI atau Artificial Intelligence yang dingin tak punya emosi, bisa kamera James Bond yang ada station keepingnya, bisa soal reward dan punishment, dan iming-iming promosi dalam fairly competition yang jauh dari budaya feudal yang jilat-menjilat tak berkeputusan.
Konformitas para birokrat dalam hal sikap, tingkahlaku, cara berpakaian dll, sesungguhnya hanyalah kesan luar yang menyelubungi berbagai keresahan latent dalam kepribadian mereka. Keunikan dan kreatifitas mereka sebagai pribadi untuk sementara disaput oleh konformitas yang dituntut oleh birokrasi.
Agenda tersembunyi (hidden agenda) seorang birokrat boleh dikatakan sedikit sekali dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Di sudut belakang birokrasi banyak dijumpai persetujuan gila bawah meja, konspirasi dst yang dimungkinkan oleh adanya hubungan antar individu maupun hubungan antar kelompok. Tujuan mereka adalah tujuan pribadi dan tujuan kelompok yang tidak selalu sejalan dengan tujuan birokrasi. Dalam kesempatan tertentu seperti pesta/resepsi dinas, arus terpendam dari inner structure individu-individu dan kelompok-kelompok ini muncul ke permukaan dalam bentuk satire, gossip pohon anggur, bahkan parodi.
Gambaran di atas merupakan gejala umum dalam birokrasi di negara sedang berkembang. Formalisme demikian tinggi dalam birokrasi. Tak heran banyak delusi disitu. Lain praxis, lain pula tindakan. Dan mereka akan tetap berkepribadian rangkap ibarat dr Jeckyll and sister Hyde selama birokrasi enggan melakukan otokritik dan enggan pula membuka dialog terbuka dengan masyarakat.
Birokrat dalam Bola Kaca
Para birokrat itu sesungguhnya tidak lagi hidup dan berkarier di lingkungan yang tidak atau kurang cerdas. Masyarakat Indonesia semakin lama semakin kritis.
Dalam konteks inilah negara perlu kalangan intelektual bebas yang bersosok politis dan kritis, dan mereka harus diberi akses kedalam birokrasi. Posisi mereka yang marginal selama ini hanya mengandalkan pers dan wakil-wakil rakyat yang vokal serta proses alternatif yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Gaungnya pastilah tidak terlalu besar bukan.
Dalam masyarakat yang semakin lama semakin cerdas, para birokrat sudah saatnya ditertibkan agar tidak lagi hidup dan berkarier dalam "bola kaca hitam" yang tidak tembus pandang. Tindakan-tindakannya harus transparan di hadapan masyarakat yang semakin kritis itu dan setiap saat mereka siap apabila wibawa mereka merosot. Mereka tak perlu lagi ngeles soal ini, melainkan semakin menyadari bahwa menyeleweng dalam melakukan diskresi administrasi seperti kasus Rafael, Akil Mochtar, Gayus dan sebangsanya adalah wan prestasi birokrat yang tidak akan ditolerir bahkan tidak bakal diampuni lagi.
Kalau birokrat ini tetap beranggapan bahwa birokrasi adalah kepanjangan tangan politik penguasa, maka mereka telah salah menafsir arti dan makna bureaucratic polity dengan birokrat-birokrat yang ditempatkan dalam bola kaca bening transparan.