Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Patung Kristus Raja (Cristo Rei) yang Tak Terlupakan di Fatucama Dili

10 Maret 2023   16:53 Diperbarui: 10 Maret 2023   17:43 1503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjalanan Yesus hingga pemakaman diukir dalam lempeng tembaga, dan itu akan kita dapatkan di setiap undakan tangga. Foto: Parlin Pakpahan.

Patung Kristus Raja (Cristo Rei) Yang Tak Terlupakan di Fatucama Dili

Diaryku memang tak setiap hari kuisi. Tapi yang terasa penting dalam hari-hari yang kulalui ya kucatat, seperti patung Kristus Raja di Fatucama Dili, Timorleste.

Beberapa waktu lalu aku berkesempatan ke Dili. Tak terasa Dili yang di masa Indonesia (1976-1999) adalah ibukota propinsi Timtim, kini adalah ibukota negara Timorleste.

Pintu masuk ke obyek wisata Cristo Rei, Fatucama, Dili. Foto: Parlin Pakpahan.
Pintu masuk ke obyek wisata Cristo Rei, Fatucama, Dili. Foto: Parlin Pakpahan.

Kota tepi pantai yang panjang sejarahnya itu sempat kukelilingi, mulai dari bekas kantor Gubernur Timtim yang kini menjadi kantor PM Timorleste, Mercado, Taibesi, Bairopite, Comoro, Tasitolu, dan balik lagi ke Jln Nicolau Lobato setelah melalui kantor Presidente Timorleste di Jalan raya Comoro yang dulu adalah landasan untuk helikopter ABRI.

Cukup lumayan perubahannya, seperti misalnya Universitas baru setelah Untim (Universitas negeri Timor Timur) di bilangan Caicoli peninggalan Indonesia, yi Unpaz (Universidade da Paz) atau Universitas Perdamaian di Dili Barat tak jauh dari bandara Comoro dimasa Indonesia yang sekarang menjadi bandara Presidente Nicolau Lobato.

Besoknya saya berkelana dalam sebuah perjalanan yang cukup melelahkan ke bukit Metinaro menemani Rudolf Santos Pangaribuan yang biasa dipanggil Dofu untuk urusan proyek air bersih dari Walikota Dili.

Bernard dan O. Nadine di Dili barat, tak jauh dari bandara Comoro (sekarang bandara Nicolau Lobato). Foto: Parlin Pakpahan.
Bernard dan O. Nadine di Dili barat, tak jauh dari bandara Comoro (sekarang bandara Nicolau Lobato). Foto: Parlin Pakpahan.

Dofu adalah putera semata wayangnya sobat jadulku Robert Pangaribuan. Ia tinggal di downtown Dili di Jln Presidente Nicolau Lobato (d/h Jln Jose Maria Marques). Robert dan isterinya  yang Indo Portugis Cesaltina Exposto Maria dos Santos mengelola usaha mereka Rocella Cafe sekaligus penginapan disitu sejak tahun 2000.

Rocella Cafe adalah salah satu cafe tertua di kota Dili sejak Timtim merdeka menjadi Timorleste. Lokasinya sangat strategis, dekat ke kantor PM yang dulunya adalah kantor Gubernur Timtim, juga dekat ke Pelabuhan laut dan bandara Nicolau  Lobato, dan sekitar 5-7 Km ke Cristo Rei, Areia Branca, Metiaut, Dili timur.

Hari Minggu keesokan harinya setelah fresh kembali, berdua Dofu saya berkesempatan melihat Areia Branca dan patung Kristus Raja di bukit Fatucama.

Patung Kristus Raja (Cristo Rei), Fatucama, Dili. Foto: Parlin Pakpahan.
Patung Kristus Raja (Cristo Rei), Fatucama, Dili. Foto: Parlin Pakpahan.

Kami mengakses dari pinggiran kota Dili bagian timur melewati sebuah jembatan yang sekarang dinamai jembatan Habibie untuk mengenang Habibie-lah salah satu tokoh nasional RI yang meloloskan jajak pendapat yang di kemudian hari orang tahu disalahgunakan AS dkk seakan referendum. Maklumlah AS superpower yang tengah berdigdaya ketika itu di saat China masih start bangkit, sementara Uni Soviet bubar jalan menjadi Rusia yang lemah.

Sepanjang kawasan Metiaut yang kami lalui menuju Fatucama, semuanya sudah berubah, ya nama ya bangunan yang serba pariwisata, termasuk itu tuh nama-nama asing yang ujung-ujungnya aku tahu itu adalah orang Ausie yang berinvestasi di Areia Branca.

Jalanan sudah mulus, dan hebatnya dilengkapi pathway untuk jogging suka-suka sepanjang 5-6 Km. Luarbiasa. Arsiteknya konon orang Ausie. Maklum Timorleste masih malu-malu kucing untuk meminta bantuan Arsitek Indonesia. He He ..

Undakan tangga yang berkelak-kelok menanjak menuju Cristo Rei. Foto: Parlin Pakpahan.
Undakan tangga yang berkelak-kelok menanjak menuju Cristo Rei. Foto: Parlin Pakpahan.

Setelah Dofu memarkirkan mobilnya di laman parkir yang cukup luas, kamipun mulai mendaki undakan tangga yang berkelak-kelok yang disetiap titik dilengkapi semacam shelter untuk istirahat, juga dihiasi ukiran Yesus dalam plat logam yang mengisahkan perjalanan Yesus hingga ke kayu Salib dan saat kebangkitannya. Syukurlah artefak penting eks Indonesia itu masih terawat rapi.

Nafas kami dua pun tersengal-sengal begitu sampai di puncak di mana patung itu berdiri. View dari ketinggian sungguh menakjubkan. Kota Dili di kejauhan terlihat jelas seakan sekelompok pelet yang siap dimangsa mulut Hiu yi Teluk Dili di depannya, juga terlihat di kejauhan pulau Atauro.

Angin laut berhembus meredakan panas menyengat ketika itu, dan yang nyaman dipandang tentu menatap ke bawah betapa arsitektur menuju Fatucama ini berujung di sebuah arena untuk keramaian, bisa untuk doa dan kebaktian massal, bisa untuk pergelaran band rock, bisa untuk senam pagi atau sore dll, dan sejauh mata memandang, mata kita akan sejuk nyaman terobati pemandangan laut Wetar yang tenang dan menghanyutkan.

Areia Branca (Pantai Pasir Putih) di lihat di ketinggian dari puncak Cristo Rei. Foto: Parlin Pakpahan.
Areia Branca (Pantai Pasir Putih) di lihat di ketinggian dari puncak Cristo Rei. Foto: Parlin Pakpahan.

Kami pun mengambil sesi foto di sekitar patung yang fenomenal itu. Cristo Rei berwarna cemerlang diterpa sinar Mentari. Ia tegak menjulang di atas bukit Tanjung Fatucama yang menjorok ke laut Wetar. Wajah Yesus yang teduh memandang jantung Timorleste, yi kota Dili, dan kedua belah tangannya terentang seakan mengundang : "datanglah kepada-Ku".

Itulah Cristo Rei atau patung Kristus Raja di Tanjung Fatucama, Areia Branca atau Pantai Pasir Putih Dili, dengan tinggi total 27 meter, termasuk pilar-pilar beton yang menyangganya. Ia menjadi patung Yesus kedua tertinggi di dunia, setelah patung Yesus di Rio de Janeiro Brazil setinggi 30 meter, di urutan ketiga baru patung Yesus di Portugal yang memiliki tinggi 20 meter.

Tanjung Fatucama yang menjorok ke Laut Wetar, bersebelahan dengan obyek wisata pantai Areia Branca. Patung itu akan terlihat mulai dari Hera sebelah timur, Dili dan Liquica sebelah barat. Dan hebatnya patung itu bisa terlihat lebih jauh lagi karena telah disemprot dengan cat khusus  yang memantulkan sinar apapun secara cemerlang.

Perjalanan Yesus hingga pemakaman diukir dalam lempeng tembaga, dan itu akan kita dapatkan di setiap undakan tangga. Foto: Parlin Pakpahan.
Perjalanan Yesus hingga pemakaman diukir dalam lempeng tembaga, dan itu akan kita dapatkan di setiap undakan tangga. Foto: Parlin Pakpahan.

Patung Yesus di Fatucama Dili adalah peninggalan Indonesia dari proyek bersama antara Pemprop Timtim, ABRI dan Garuda group, termasuk masyarakat dan pengusaha-pengusaha lokal. Peletakan batu pertama pada 17 Juli 1993, tepat pada peringatan hari Integrasi Timtim yang ke-17.

Struktur monumen bersejarah peninggalan Indonesia itu meliputi tiga lempengan tangga teras yang berarti Tri Tunggal Maha Kudus (Trinitas) yang menjadi fondasi bagi berdirinya patung Yesus. Di atas lempengan itu dipancangkan pilar beton dengan tinggi 10 meter mengandung makna 10 perintah Tuhan yang berfungsi sebagai dudukan lempengan beton tempat berdirinya patung Yesus.

Patung Yesus dibuat dari bahan tembaga dengan tinggi 17 meter, secara keseluruhan beratnya mencapai 27 ton. Tinggi 17 meter melambangkan hari integrasi Timtim yang jatuh pada tgl 17 Juli.

Tinggi pilar 10 meter, ditambah tinggi patung 17 meter, total 27 meter, menjelaskan Timtim sebagai propinsi ke-27 yang merupakan bagian integral dari NKRI. Tangga kecil tempat orang melangkah ke kaki patung Yesus juga berjumlah 27 buah mengandung arti yang sama.

Patung Yesus ini dikerjakan di Bandung, melibatkan enam seniman andal kota kembang yang benar-benar profesional dalam seni rupa patung. Mereka terdiri dari akhli las, ketok, perupa dll.

Secara keseluruhan konstruksi patung Yesus telah diperhitungkan matang dengan kondisi geologis Timtim yang tergolong rawan gempa. Maka yang dikedepankan disitu adalah konstruksi tahan gempa.

Karena patung Yesus di Fatucama tergolong tinggi menjulang dan berat, maka pada proses pembuatannya, patung Yesus itu dibuat menjadi 10 bagian, untuk memudahkan pengangkutan dan pemasangannya.

Siapa pematung Indonesia yang luarbiasa yang menempa patung ini? Setelah ditelisik lebih jauh, ia adalah Mochamad Syailillah dengan panggilan akrab yang terdengar lucu, yi Bolil. Ia pematung lulusan senirupa ITB. Bolil cukup lama di bawah asuhan master patung Indonesia, Rita Widagdo, kelahiran Rottweil, Jerman, 1938, yang adalah salah satu peletak dasar pendidikan seni patung di ITB.

Mungkin kita tak merasa asing jika mendengar pematung I Nyoman Nuarta kelahiran Bali yang membuat sculptur macam Arjuna Wijaya di Jakarta atau proyek besarnya Garuda Wisnu Kencana di Bali, kini bahkan desainnya istana negara di IKN Kaltim, atau seniman patung lainnya seperti Soenaryo yang mendirikan Galeri Selasar Soenaryo di Dago, Bandung.

Bolil sang pematung yang sederhana ini tak banyak bicara, tapi orang tahu karyanya Cristo Rei di Dili telah mendunia, warga Timorleste sendiri sangat menghormatinya meski kebanyakan tak tahu siapa Bolil. Bagaimanapun, pada masa tahun 1992 hingga 1996 Mochammad Syailillah atau Bolil adalah pematung penting di Indonesia.

Gagasan pembuatan patung Cristo Rei datang dari Gubernur Timor Timur Jose Abilio Osorio Soares. Gagasannya disampaikan kepada Presiden Soeharto yang langsung mengiyakannya. Yang sudah direstui Soeharto bagaimanapun sulitnya tentu susah ditolak. Toh Cristo Rei bukanlah diksi politik, melainkan murni memori keagamaan yang kuat. Bukankah mayoritas warga Timor Timur adalah penganut Katholik.

Membuka Kembali catatan my diary, Indonesia memasuki Timur Timur pada Desember 1975 setelah Deklarasi Balibo akhir Nopember sebelumnya. Namun kemudian Timor Timur merdeka dari Indonesia melalui jajak pendapat tahun 1999. Kini, wilayah seluas 14.615 km persegi ini menjadi negara Timor leste.

Perjalanan Yesus diukir dalam lempeng tembaga, dan itu akan kita dapatkan di setiap undakan tangga. Foto: Parlin Pakpahan.
Perjalanan Yesus diukir dalam lempeng tembaga, dan itu akan kita dapatkan di setiap undakan tangga. Foto: Parlin Pakpahan.

Yang ditunjuk Soeharto sebagai project officer adalah Direktur Garuda. Dengan demikian, Garuda group adalah penanggungjawab pembuatan patung, termasuk mencarikan modal. Garuda ketika itu hanya menyediakan dana sebesar Rp 1,1 miliar. Total biaya yang dibutuhkan kl 5 milyar.

Sekwilda Timor Timur Radjakarina Brahmana mencoba mengatasinya dengan mengeluarkan surat edaran kepada PNS, khususnya yang beragama Katholik, agar sudi menyumbangkan gajinya untuk mendanai pembangunan patung tsb.

Golongan I dikenai biaya sebesar Rp 1.000 dan Rp 5000 untuk golongan IV. Surat edaran ini menimbulkan polemik. Anggota DPRD Timor Timur ketika itu, Manuel Carrascalao meminta agar proyek ini dihentikan, demikian pula pihak asing yang membonceng atau persisnya menteror goodwill Indonesia ini.

Radjakarina menangkisnya dengan mengatakan Portugal ratusan tahun menjajah Timor Timur tak berbuat apa-apa, kita tidak seperti itu karena kita bukan penjajah. Ia secara halus mengingatkan bahwa Indonesia sudah menyumbang dan membantu Timor Timur jauh lebih baik ketimbang Portugis.

Selain PNS, pihak swasta khususnya para pengusaha yang berkiprah di Timtim diminta sumbangsihnya. Mereka diminta satu persen dari setiap nilai kontrak proyek. The show must go on. Jenderal Soeharto sudah memberikan restunya. Proyek mau tidak mau harus jalan.

Itulah catatan selayang pandang dari my diary tentang Bolil sang seniman yang  mendapat borongan dari Garuda group. Ia pun bersama teman-teman ITBnya berangkat dari Bandung menuju Timor Timur, dimana Bolil melakukan survei lokasi di Bukit Fatucama, sebuah bukit yang cantik, dengan pantai berpasir putih di hadapannya. Ombaknya tenang dan aman untuk wisata laut maupun pelayaran dan penangkapan ikan.

Di akhir diary ini, kenanganku pun kembali mengembara menjumpai Pak Abilio yang sudah mendahului kita. Pria kelahiran Villa Nova Ourique, Manatuto, 2 Juni 1947 itu, meninggal pada 17 Juni 2007 lalu. Kanker yang diidapnya belum lama akhirnya mengakhiri hidupnya.

Tks Pak Abilio, Be Free di alam kekal sana. Karya kepemimpinanmu takkan dilupakan begitu saja. Cristo Rei adalah salah satu pengingat yang terindah tentang dirimu yang full memori integrasi dengan NKRI.

Joyogrand, Malang, Fri', March 10, 2023.

Penulis ketika berkunjung ke mascot wisata Timorleste yi Patung Kristus Raja (Cristo Rei) di Fatucama Dili. Foto: Parlin Pakpahan.
Penulis ketika berkunjung ke mascot wisata Timorleste yi Patung Kristus Raja (Cristo Rei) di Fatucama Dili. Foto: Parlin Pakpahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun